Jerat Pidana Gagal Ginjal Akut, BPOM Terseret?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Desember 2023 14:15 WIB
Gedung Bareskrim Polri (Foto: MI/Aswan)
Gedung Bareskrim Polri (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Kasus gagal ginjal anak perlu dilihat dalam kacamata hukum. Di mana anak yang menjadi korban perlu dilindungi. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka 12 jo, Pasal 4 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dimana hak anak bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dipenuhi oleh orang tua, keluarga, dan pemerintah. 

Mereka juga harus dilindungi haknya sebagai konsumen yang juga mendapatkan perlindungan sesuai Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Kemudian, berdasarkan Pasal 188 ayat (3) jo Pasal 196 UU Kesehatan, produsen hingga penyedia obat cair atau bagi setiap orang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak penuhi persyaratan keamanan di pidana paling lama 10 tahun dan denda 1 miliar rupiah. 

Sedangkan dalam hal perlindungan konsumen, perusahaan farmasi diduga telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Pasal 8 jo Pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 

Dalam pasal tersebut, sangat jelas melarang pelaku usaha menjual barang yang tidak sesuai ketentuan dan tercemar tanpa informasi benar serta tidak menarik dari peredaran, maka bisa dikenai sanksi pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Apabila mengakibatkan kematian, pelaku dapat dikenakan tambahan hukuman yakni pemberian ganti rugi kepada konsumen dan dicabut izin produksinya.

Tidak hanya itu, BPOM, Kemenkes, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian yang karena lalai menjalankan fungsinya dapat dijerat Pasal 359 dan 360 KUHP pula.

Pasal ini mengatur tentang kelalaian dan kesalahan yang menyebabkan luka berat hingga kematian orang lain. Sedangkan, jika ada unsur kesengajaan, pihak yang terbukti harus dipidanakan dalam Pasal 338 dan 340.

Perlu digaribawahi, bahwa keselamatan rakyat (anak) adalah hukum tertinggi, maka pemerintah melalu aparat penegak hukum (APH) diminta segera mengambil langkah darurat yang serius dan cepat agar kasus ini bisa segera ditangani. 

"Kasus ini harus dibuktikan, tudingannya kan kepada BPOM, tapi ini kan kita belum tahu juga misalnya ini kesalahan BPOM ya. Tapi mungkin setelah diselidiki kok ada kesalahan. Misalnya masalah pengawasan dan lain-lain. Tentu pertama hukum harus ditegakan," tegas Retno Listyarti Pemerhati Pendidikan dan Anak saat ditemui Monitorindonesia.com, Kamis (22/12).

Komisioner KPAI Periode 2017-2022 menambahkan bahwa, pihak kepolisian harus menelisik lebih dalam apakah BPOM ini diduga terlibat.

"Harus ditelisiklah, betul apa tidak, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab, apakah BPOM? Tapi yang diatas segalanya memang melindungi anak-anak adalah kewajiban kita semua. Termasuk hak atas kesehatan," tukas Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini.

Adapun sepanjang tahun 2022, Kemensos mencatat ada 326 orang penderita gagal ginjal akut akibat keracunan obat sirup. Dengan rincian, sebanyak 204 orang yang meninggal akibat kasus itu. Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023.

Dalam perkara gagal ginjal ini, Bareskrim telah menetapkan 5 perusahan sebagai tersangka korporasi. Yakni PT Afi Pharma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang dan CV Samudra Chemical. 

Selain itu, Polri juga telah menetapkan dua orang petinggi CV Samudra Chemical sebagai tersangka. Mereka berinisial E yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus Direktur Utama perusahaan tersebut dan AR selaku Direktur

Dalam perkembangannya, Bareskrim Polri menemukan adanya unsur pidana terkait keterlibatan pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan ratusan anak meninggal dunia.

Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Nunung Saifuddin, mengatakan perkara itu kini telah dinaikkan statusnya ke tahap penyidikan.

"Udah naik sidik (penyidikan). Belum ada penetapan tersangka," ujar Nunung, Rabu (20/12) kemarin.

Pengusutan adanya keterlibatan pihak BPOM dalam kasus ini, merupakan pengembangan dari pengungkapan sebelumnya.

Sementara itu, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, belum mau mengungkapkan pihak yang disebut melanggar tersebut.
Tapi yang pasti, terkait dengan penerbitan izin edar yang tidak sesuai standar.

"Betul akan ada tersangka dari proses penyidikan akan mengurucut pada pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Itu yang kita tentukan sebagai tersangka. Namun untuk keterlibatan atau siapa pihak yang bertanggung jawab untuk itu, sedang kami dalami," katanya.

Sejauh ini, polisi telah memeriksa sejumlah saksi mulai dari industri farmasi, distributor bahan baku farmasi, petugas BPOM Serang, petugas BPO Surabaya, dan petugas BPOM pusat. Termasuk lima saksi ahli. Selanjutnya, polisi akan memanggil tiga saksi ahli tambahan dan setelahnya melakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka.

Tersangka baru ini akan dijerat dengan pasal 56 KUHP yakni mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan. Kemudian pasal 196 UU Kesehatan dan pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. (Wan)