Kasus Gagal Ginjal Akut: Dari Penny Lukito hingga Lucia Rizka Kekeuh Salahkan Industri Farmasi!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 14 Januari 2024 16:13 WIB
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Foto: Istimewa)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tetap kekeuh menyalahkan pelaku industri farmasi terkait dengan kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atifikal (GGAPA) yang membuat ratusan anak meninggal dunia. Dari mantan Kepala BPOM Penny K Lukito hingga Plt Kepala BPOM Lucia Rizka Andalusia tidak ingin lembaganya disalahkan.

Lucia yang belum lama ditunjuk sebagai Plt Kepala BPOM ini menyatakan bahwa berdasarkan pengawasan yang dilakukan, penyebab utama kasus gagal ginjal itu disebabkan para pelaku industri farmasi itu tidak mematuhi standar persyaratan yang telah ditetapkan.

"Kita juga mengimbau kepada seluruh industri untuk patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Karena berdasarkan pengawasan itu ada ketidakpatuhan dari industri untuk memenuhi standar persyaratan," kata Lucia kepada di Kemenko PMK, Jakarta dikutip pada Minggu (14/1).

Pun Lucia menyatakan BPOM memperketat pengawasan terhadap produk obat dan makanan. Namun, ia menyebut cakupan wilayah dan produk yang harus diawasi oleh BPOM sangat banyak. "Kalau ada yang dengan sengaja melakukan hal tersebut (tidak patuh) itu di luar kendali kita. Kita tidak bisa mengantisipasi hal tersebut dan itu sudah diselesaikan oleh pihak yang berwenang," bebernya.

Lucia juga membantah adanya keterlibatan pegawai BPOM dalam kasus gagal ginjal akut yang saat ini diusut Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. "Enggak ada," jawabnya singkat.

Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan, pihak yang melakukan tindak pidana ialah mereka yang dengan sengaja memproduksi obat tidak sesuai ketentuan. Lucia berpendapat kasus ini sudah diselesaikan pemerintah.

"Tidak ada tindak pidana (BPOM) terkait hal tersebut. Tindak pidana sesuai UU kesehatan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi obat yang tidak memenuhi ketentuan. Itulah yang kita kenakan tindak pidana dan sudah diselesaikan oleh pemerintah," tandasnya.

Jauh sebelum Lucia, Penny K Lukito juga kekeuh menyalahkan industri farmasi. Saat itu, Penny bahkan tak ingin  BPOM juga disalahkan terkait dengan beredarnya obat sirop yang megandung pelarut berbahaya.

Menurut dia, beredarnya obat sirop yang memicu kasus gagal ginjal juga merupakan tanggung jawab dari produsen. "Jadi jangan minta tanggung jawab kepada BPOM karena BPOM telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya dalam kendala sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang ada," jelas Penny Lukito dalam konferensi persnya pada Kamis (27/10/2022) lalu.

Meski demikian, dia memastikan lembaganya akan memperkuat kembali pengawasan terhadap produsen. Selain itu juga dia meminta semua pihak untuk tidak saling menyalahkan terkait beredarnya obat dengan pelarut berbahaya itu.

Dia mengajak semua pihak untuk melakukan perbaikan secara bersama-sama. "Kalau mau jadi bangsa yg kuat, tidak menutupi gap yang ada. Mari kita bersama lakukan perbaikan secara bersama-sama. Kita harap ini bisa segera reda," jelas dia.

Adapun buntut kasus yang diduga disebabkan obat sirop mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) ini, sejumlah orang tua yang anaknya jadi korban mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat, yang di antaranya adalah BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan.

BPOM Diduga Terlibat

Saat ini, Bareskrim Polri telah meningkatkan kasus GGAPA yang diduga melibatkan BPOM ke tahap penyidikan. Penyidik menemukan unsur pidana dalam kasus yang membuat ratusan anak meninggal dunia itu. "Sudah naik penyidikan, tapi belum ada penetapan tersangka," ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Saifuddin saat dihubungi, Rabu (20/12).

Nunung menyebut kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dari pihak BPOM hingga perusahaan produsen obat sirop penyebab gagal ginjal. Ia juga memastikan penyidik bersikap profesional dan tidak akan diintervensi oleh siapapun.

Tersangka

Bareskrim telah menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi, yakni PT Afi Pharma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang dan CV Samudra Chemical.

Selain itu, Polri juga telah menetapkan dua orang petinggi CV Samudra Chemical sebagai tersangka. Mereka berinisial E yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus Direktur Utama dan AR selaku Direktur.

Atas perbuatannya, seluruh tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Subsider, Pasal 60 Angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Selain itu, mereka juga dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Juncto Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 56 Ayat 2 KUHP. (wan)