Penerima Vaksin AstraZeneca Alami Cedera Otak Permanen, Apakah Efek Samping Serupa Terjadi di Indonesia?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Mei 2024 11:15 WIB
Vaksin AstraZeneca (Foto: Dok MI/Reuters)
Vaksin AstraZeneca (Foto: Dok MI/Reuters)

Jakarta, MI - Penerima vaksin virus Covid-19, AstraZeneca, mengakui bahwa vaksin yang mereka produksi secara umum dapat menyebabkan efek samping yang sangat jarang terjadi. Hal itu mereka utarakan melalui dokumen pengadilan dalam kasus gugatan perwakilan kelompok (class action) yang dilayangkan oleh 51 korban di Inggris.

Pengacara yang mendampingi salah satu korban seorang ayah yang mengalami kerusakan otak setelah divaksin menggunakan AstraZeneca mengatakan bahwa pernyataan tersebut menunjukkan AstraZeneca telah mengubah pendirian hukumnya secara signifikan.

Sejumlah penggugat mengklaim mereka telah kehilangan keluarga dan kerabat mereka akibat efek samping ini. Dalam kasus-kasus lainnya, vaksin ini dituduh menyebabkan cedera serius.

Meskipun secara umum, penelitian menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 termasuk AstraZeneca telah menyelamatkan jutaan nyawa selama pandemi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengonfirmasi bahwa Covishield dapat menimbulkan efek samping yang mengancam jiwa. "Efek samping sangat langka yang disebut Sindrom Trombosis dengan Trombositopenia, melibatkan kejadian pembekuan darah yang tidak biasa dan parah terkait dengan jumlah trombosit rendah, telah dilaporkan setelah vaksinasi dengan vaksin ini," ungkap WHO.

Bahkan menurut Dewan Organisasi Ilmu Kedokteran Internasional, efek samping yang "sangat jarang" dilaporkan terjadi pada kurang dari 1 dalam 10 ribu kasus.

Sementara di Indonesia, Kementerian Kesehatan dan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) menyatakan tidak ada laporan kasus dengan efek samping serupa. Pembekuan darah yang berujung kerusakan otak.

Adapun orang pertama yang mengklaim mengalami efek samping dari vaksin AstraZeneca adalah Jamie Scott, seorang ayah beranak dua. Jamie Scott mengalami pembekuan darah yang berujung pada kerusakan otak. Kondisi ini membuat Scott tidak bisa bekerja setelah divaksinasi pada April 2021.

Mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris, para penggugat menuduh vaksin tersebut cacat, karena kurang aman dibandingkan yang diperkirakan oleh masyarakat.

Meskipun AstraZeneca telah membantah klaim ini, namun pihaknya sempat mengakui bahwa "dalam kasus yang sangat jarang dapat menyebabkan TTS atau Sindrom Trombosis dengan Trombositopenia yang ditandai dengan pembekuan darah dan trombosit darah rendah pada manusia". 

Hal itu diungkapkan dalam salah satu dokumen pengadilan. "Diakui bahwa vaksin AZ, dalam kasus yang sangat jarang, dapat menyebabkan TTS. Mekanisme penyebabnya tidak diketahui," kata AstraZeneca dalam dokumen pengadilan pada Februari, dikutip dari laporan The Telegraph, dikutip Minggu (5/5/2024).

Lebih lanjut, TTS juga dapat terjadi tanpa adanya vaksin AZ (atau vaksin apapun). "Penyebab dalam setiap kasus akan bergantung pada bukti ahli," lanjut dokumen tersebut.

Pengakuan terbaru AstraZeneca dilaporkan bertentangan dengan desakan perusahaan pada 2023 yang menyebutkan bahwa mereka tidak akan menerima bahwa TTS disebabkan oleh vaksin pada tingkat generik.

Adapun TTS merupakan singkatan dari Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome, yang juga disebut sebagai Vaccine Immune Thrombosis with Thrombocytopenia ((VITT) yang terjadi setelah vaksinasi. TTS/VITT adalah sindrom langka yang ditandai dengan terjadinya trombosis (pembekuan darah) dan trombositopenia (jumlah trombosit rendah).

Orang yang mengalami TTS/VITT berpotensi mengalami stroke, kerusakan otak, serangan jantung, emboli paru, dan amputasi, kata para pengacara. Pembekuan darah juga dapat terjadi pada orang-orang yang tidak divaksinasi. Akan tetapi, sindrom langka TTS/VITT hanya terjadi pada trombosis setelah vaksinasi.

Sementara itu, pengacara Scott menegaskan bahwa AstraZeneca pada Mei 2023 lalu mengatakan kepada mereka. “Kami tidak terima bahwa TTS disebabkan oleh vaksin pada tingkat generik (dalam skala yang besar)," katanya.

Pengacara yang mewakili total 51 penggugat ini menyatakan bahwa dokumen tersebut telah menandai perubahan signifikan terkait posisi AstraZeneca dalam kasus ini.

“Ini adalah pengakuan penting mengenai penyebab umum yaitu fakta bahwa vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan TTS dan VITT secara spesifik. Ini penting bahwa mereka sudah mengubah pendirian mereka mengenai hal ini dalam pembelaan formal,” kata Sarah Moore dari firma hukum Leigh Day.

Pengakuan tersebut berpeluang membuka jalan bagi kompensasi lebih lanjut yang adil bagi para penggugat agar kondisi finansial mereka kembali stabil.

Pada tanggal 7 April 2021, Komite Gabungan Vaksinasi dan Imunisasi menyarankan orang dewasa berusia di bawah 30 tahun untuk ditawari alternatif lain dari vaksin AstraZeneca sebagai tindak lanjut dari “laporan tentang pembekuan darah yang sangat jarang terjadi pada sejumlah kecil orang”.

AstraZeneca juga menyatakan bahwa mereka telah merekomendasikan agar saran medis pada label pada kotak vaksinnya diubah mengikuti hal itu.

Pada tanggal 7 Mei 2021, saran medis itupun diubah agar berlaku bagi orang dewasa berusia di bawah 40 tahun. “Sampai saat ini, lebih dari 30 gugatan perdata secara global telah ditarik, diabaikan atau menghasilkan putusan yang menguntungkan AstraZeneca,” kata perusahaan.

Istri dari Jamie, Kate Scott, sebelumnya mengatakan bahwa suaminya “telah menjalani lebih dari 250 sesi rehabilitasi dengan para spesialis. Dia harus belajar berjalan lagi, belajar menelan, berbicara. [Dia juga mengalami] gangguan ingatan. Dia memiliki masalah kognisi, dia menderita afasia [kondisi ketika seseorang kesulitan dengan bahasa atau ucapan], sakit kepala parah, dan kebutaan,” ujar Kate.

“Kami membutuhkan pemerintah [Inggris] untuk mereformasi skema untuk mereformasi skema pembiayaan akibat efek samping vaksin. Ini tidak efisien dan tidak adil, dan [kami menginginkan] kompensasi yang adil,” tambahnya.

Lantas apakah efek samping serupa terjadi di Indonesia?

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari mengatakan, tidak ada kejadian TTS setelah pemakaian vaksin AstraZeneca di Indonesia.

Hal itu berdasar pada surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih dilakukan oleh Komnas KIPI.

Survei mereka lakukan di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun dari Maret 2021 hingga Juli 2022.

“Sampai [surveilans aktif] kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Hinky melalui keterangan tertulis pada Kamis (2/5/2024).

“Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin Covid-19,” sambungnya.

Dari 453 juta dosis vaksin yang telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, sebanyak 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Sampai saat ini, Hinky mengatakan surveilans pasif untuk memantau efek samping vaksin masih berjalan. Namun berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan kasus TTS.

"Kejadian ikutan pasca-imunisasi itu kalau ditemukan penyakit atau gejala antara empat sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan," kata dia.

"Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin Covid-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadiannya," jelas Hinky.

"Kalau sekarang terjadi ya kemungkinan besar karena penyebab lain, bukan karena vaksin."

Apa kata Kemenkes?

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi juga mengutarakan bahwa tidak ada laporan soal efek samping TTS di Indonesia.

"Ini kejadian sangat jarang dan bisa dipengaruhi faktor ras, genetik. Di Indonesia belum ada laporan terkait TTS ini," ujar Nadia.

Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca memiliki manfaat yang jauh lebih besar daripada risiko efek samping yang mungkin terjadi pada aspek kesehatan penerima vaksin.

“Tetapi dilihat oleh dunia medis, WHO kan yang meng-approve langsung, vaksin ini dibilang bahwa benefitnya lebih besar daripada risiko, sehingga waktu itu diberikan izin untuk dijalankan di seluruh dunia,” katanya usai memenuhi undangan rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat kemarin.

Di lain kesempatan, Menkes Budi menyatakan bahwa ada kemungkinan TTS yang dapat menyebabkan pembekuan darah, yang sebelumnya terungkap dalam persidangan class action di Inggris.

 "Itu sudah lama teridentifikasi dan sudah dilakukan penelitian juga oleh AstraZeneca, ada memang dampak-dampaknya soal vaksin tersebut, tapi minimal sekali," kata Menkes Budi mengatakan saat ditemui di Jakarta Barat, Kamis (2/5/2024).

Menurut Menkes Budi, setiap vaksin pasti memiliki efek samping yang akan dialami oleh tubuh, tetapi yang paling penting adalah bagaimana mengatasi efek samping tersebut.

Pun dia mengklaim bahwa penelitian tersebut telah berlangsung sejak lama dan saat ini hanya menunggu hasilnya untuk diambil tindakan. 

Namun, sampai saat ini, laporan dari ITAGI (Indonesia Technical Advisory Group of Immunization) belum menunjukkan dampak tersebut.

Di Inggris, sekitar lima puluh orang melaporkan kejadian tersebut. Ada laporan bahwa kasus TTS muncul dalam empat hingga 24 jam setelah vaksinasi.

Hal ini menunjukkan bahwa individu yang diberi vaksinasi oleh AstraZeneca secara bulanan atau tahunan tidak menunjukkan gejala TTS.