218 Anak-anak Indonesia Tewas, BPOM harus Diseret ke Pengadilan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 15 Januari 2024 03:39 WIB
Kasus gagal ginjal akut menewaskan ratusan anak, orang tua minta semua pihak terlibat diseret ke pengadilan (Foto: Istimewa)
Kasus gagal ginjal akut menewaskan ratusan anak, orang tua minta semua pihak terlibat diseret ke pengadilan (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Meski pemerintah telah memberikan santunan dan bantuan kepada korban gagal ginjal akut progresif atifikal (GGAPA), baik yang meninggal dunia maupun yang masih mendapatkan perawatan intensif.

Namun bukan berarti proses bukum dalam kasus ini dapat dihentikan begitu saja.

"Pemberian santunan ini murni bentuk empati dari pemerintah, tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah hukum. Biar hukum diselesaikan sesuaikan koridornya," kata Menko PMK, Muhadjir Effendi dalam konferensi pers pemberian bantuan dan santunan korban kasus gagal ginjal akut di Kantor Kemenko PMK di Jakarta, Rabu (10/1) lalu.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan per 26 September 2023 tercatat jumlah korban GGAPA sebanyak 326 anak, baik yang meninggal maupun yang dirawat.

Setelah dilakukan verifikasi dan validasi, terdapat 312 korban yang valid dan diberikan bantuan serta santunan. Adapun rinciannya, 218 korban meninggal dunia dan 94 korban sembuh/dirawat jalan.

Perubahan jumlah ini karena ditemukan data ganda dan atau bukan merupakan korban GGAPA.

Sementara itu, sebelumnya sudah ada lima perusahaan sebagai tersangka dalam kasus ini yakni PT Afi Farma, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Anugrah Perdana Gemilang, serta PT Fari Jaya Pratama.

Selain tersangka perusahaan, polisi menetapkan Direktur Utama CV Samudera Chemical berinisial E, direktur berinisial AR, Alvio Ignasio Gustan (AIG) selaku Dirut CV Anugrah Perdana Gemilang, serta direkturnya, Aris Sanjaya (AS).

Berkas perkara kasus tersebut juga sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum (JPU). Pelimpahan dilakukan setelah tim penyidik melengkapi berkas yang dibutuhkan.

Dalam perkembangannya, Bareskrim Polri melakukan penyidikan baru yang salah satunya mengusut dugaan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Diduga ada kaitannya dengan prosedur penerbitan izin edar oleh BPOM yang dinilai tidak sesuai standar

Pada konferensi pers di Jakarta, Kamis (20/12) lalu, sejumlah keluarga korban anak gagal ginjal akut mendesak Bareskrim Polri segera menyeret pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirop beracun ke pengadilan.

Sebab selain produsen atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) patut dianggap lalai mengawasi bahan baku obat sirop hingga diterbitkannya nomor izin edar.

Safitri Puspa Rani, ibu dari Panghegar - bocah delapan tahun yang meninggal karena mengonsumsi obat batuk sirop beracun - tak bisa menyembunyikan amarahnya.

Dengan suara lantang, dia ingin semua orang yang tersangkut dalam peredaran obat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diseret ke pengadilan.

Sebab menurutnya, mereka lalai mengawasi dan kalau dibiarkan persoalan yang sama kemungkinan akan terulang kembali lantaran tidak ada perbaikan sistem pengawasan.

"Mereka tidak menghargai nyawa anak kami, jadi kami harap mereka membusuk di penjara. Hukum secara maksimal sebagai efek jera agar ke depan pembuat kebijakan sadar berharganya nyawa manusia," tegas Safitri.

Safitri kehilangan anak laki-lakinya pada Oktober 2022 silam karena menderita gagal ginjal akut progresif atipikal.

Kasus anaknya bermula dari demam yang berulang pada 26 September tahun lalu, hingga dokter menyatakan sang anak menderita gagal ginjal akut progresif atipikak pada 5 Oktober 2022.

Sepuluh hari kemudian, kondisi anaknya memburuk. Di sekujur tubuh tertempel berbagai alat medis untuk menunjang hidup sang anak karena seluruh organnya meradang dan terinfeksi racun yang tersumbat di saluran kemih.

Safitri bercerita, anaknya terus mengalami pendarahan. Saraf pada matanya juga tak berfungsi. Sampai akhirnya Hegar tak bisa diselamatkan.

Safitri terang-terangan menyebut peristiwa ini sebagai "kejahatan besar" karena ada pihak-pihak yang disebutnya lalai.

"Di titik ini saya mau menyebut anak saya dibunuh oleh sistem. Karena kesalahannya jelas tidak perlu orang dengan keilmuan tinggi melihat bagaimana kasus ini terjadi. Ingat kejadian ini akan berulang kalau sistem tidak diperbaiki," tutupnya.

BPOM Tak Mau Disalahkan

BPOM justru menyalahkan pelaku industri farmasi. Dari mantan Kepala BPOM Penny K Lukito hingga Plt Kepala BPOM Lucia Rizka Andalusia tidak ingin lembaganya disalahkan.

Lucia yang belum lama ditunjuk sebagai Plt Kepala BPOM ini menyatakan bahwa berdasarkan pengawasan yang dilakukan, penyebab utama kasus gagal ginjal itu disebabkan para pelaku industri farmasi itu tidak mematuhi standar persyaratan yang telah ditetapkan.

"Kita juga mengimbau kepada seluruh industri untuk patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Karena berdasarkan pengawasan itu ada ketidakpatuhan dari industri untuk memenuhi standar persyaratan," kata Lucia kepada di Kemenko PMK, Jakarta dikutip pada Minggu (14/1).

Pun Lucia menyatakan BPOM memperketat pengawasan terhadap produk obat dan makanan. Namun, ia menyebut cakupan wilayah dan produk yang harus diawasi oleh BPOM sangat banyak. 

"Kalau ada yang dengan sengaja melakukan hal tersebut (tidak patuh) itu di luar kendali kita. Kita tidak bisa mengantisipasi hal tersebut dan itu sudah diselesaikan oleh pihak yang berwenang," bebernya.

Lucia juga membantah adanya keterlibatan pegawai BPOM dalam kasus gagal ginjal akut yang saat ini diusut Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. "Enggak ada," jawabnya singkat.

Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan, pihak yang melakukan tindak pidana ialah mereka yang dengan sengaja memproduksi obat tidak sesuai ketentuan. Lucia berpendapat kasus ini sudah diselesaikan pemerintah.

"Tidak ada tindak pidana (BPOM) terkait hal tersebut. Tindak pidana sesuai UU kesehatan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi obat yang tidak memenuhi ketentuan. Itulah yang kita kenakan tindak pidana dan sudah diselesaikan oleh pemerintah," tandasnya.

Jauh sebelum Lucia, Penny K Lukito juga kekeuh menyalahkan industri farmasi. Saat itu, Penny bahkan tak ingin BPOM juga disalahkan terkait dengan beredarnya obat sirop yang megandung pelarut berbahaya.

Menurut dia, beredarnya obat sirop yang memicu kasus gagal ginjal juga merupakan tanggung jawab dari produsen. "Jadi jangan minta tanggung jawab kepada BPOM karena BPOM telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya dalam kendala sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang ada," jelas Penny Lukito dalam konferensi persnya pada Kamis (27/10/2022) lalu.

Meski demikian, dia memastikan lembaganya akan memperkuat kembali pengawasan terhadap produsen. Selain itu juga dia meminta semua pihak untuk tidak saling menyalahkan terkait beredarnya obat dengan pelarut berbahaya itu.

Dia mengajak semua pihak untuk melakukan perbaikan secara bersama-sama. "Kalau mau jadi bangsa yg kuat, tidak menutupi gap yang ada. Mari kita bersama lakukan perbaikan secara bersama-sama. Kita harap ini bisa segera reda," jelas dia.

Adapun buntut kasus yang diduga disebabkan obat sirop mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) ini, sejumlah orang tua yang anaknya jadi korban mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Mereka menuntut pertanggungjawaban 11 tergugat, yang di antaranya adalah BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan. (wan )