Ahli Psikologi Forensik Sebut Otak Richard Kalah dengan Takut Saat Diperintahkan Tembak Brigadir J 

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Desember 2022 18:18 WIB
Jakarta, MI - Saksi Ahli psikologi forensik (Apsifor), Reni Kusumowardhani, yang dihadirkan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/12) mengatakan kondisi psikologis Bharada Richard Eliezer sebelum menembak Brigadir N Yosua Hutabarat. Kata dia, Eliezer dalam kondisi ketakutan saat diperintahkan untuk menembak Yosua. Duduk sebagai terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'ruf. Tim pengacara Richard Eliezer awalnya bertanya kepada saksi ahli soal kondisi Eliezer menjelang menembak Yosua. Reni mengatakan Richard Eliezer mengaku dalam kondisi ketakutan jika tidak menuruti perintah Ferdy Sambo. "Bagaimana analisis psikologi terhadap kejiwaan Bharada E pada detik-detik sebelum terjadinya penembakan terhadap Yosua, khususnya saat FS perintahkan dengan kata-kata 'Woi kamu tembak cepat'. Bagaimana kondisinya?" tanya pengacara Richard Eliezer. "Kondisi psikologisnya saat itu memang diakui dalam keadaan ketakutan oleh Saudara Richard, dalam situasi ketakutan. Ada satu kondisi emosi yang memuncak kalau kita bicara emosi, emosi itu bisa mengarahkan satu perilaku seseorang, reaksi emosional ini dapat mengaktivasi daerah otak lain untuk memulai aktivitas perilaku," jawab Reni. [caption id="attachment_510139" align="alignnone" width="656"] Pengacara para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir[/caption] Reni mengatakan kondisi ini juga diperkuat soal karakter Richard Eliezer yang sangat penurut terhadap pemilik otoritas. Dia mengatakan sikap Richard Eliezer itu masuk kategori kepatuhan yang efeknya merusak. "Dalam hal ini, kondisi Richard Eliezer ketakutan yang luar biasa, namun ciri kepribadian yang memang belum matang keputusan perilakunya mematuhi. Ini yang disebut obedience destruktif. Jadi ada kepatuhan yang efeknya memang merusak," tutur Reni. Pengacara Richard Eliezer kemudian bertanya apakah kliennya bisa dikategorikan sebagai korban dalam perspektif psikologi. Pengacara Richard Eliezer mengungkit kliennya mengalami tekanan mental saat menerima perintah Ferdy Sambo. "Dalam perspektif psikologi, apakah Bharada E masuk dalam kategori korban atau fiktif, dalam hal ini korban tekanan mental atau kejiwaan, dalam istilah sekarang kena mental, dari kemarahan FS yang seorang jenderal. Kemarin ahli kriminologi menjelaskan bahwa Bharada E masuk dalam kategori korban, bagaimana menurut Saudara?" tanya pengacara Richard Eliezer. "Dalam relasi kuasa memang dia bisa jadi korban, namun dalam proses psikologi ada free will atau keinginan bebas yang menjadi milik masing-masing orang. Maka saya sampaikan sehingga ada perbedaan dari respons Ricky dan Richard yang memang kondisi emosinya lebih tidak stabil dibanding Ricky," terang Reni. "Jadi ada keinginan bebas, saat itulah seseorang mengambil keputusan apakah menuruti atau tidak menuruti. Betul saat itu ada ketakutan yang luar biasa, di free will itu ada controlling emosi atau tidak, ada regulasi emosi atau tidak. Itu tergantung pada kepribadian masing-masing orang," tambahnya. Pengacara Richard Eliezer lalu bertanya apakah faktor perintah Sambo selaku atasan membuat Eliezer tak bisa menolak meski mengetahui perintah itu melawan hukum. Reni pun membenarkan hal itu. "Faktor perintah dari atasan lebih tinggi itu yang membuat Richard terkondisikan tidak bisa menolak meskipun melawan hukum?" tanya pengacara Richard Eliezer. "Betul, jadi ada kepatuhan yang tinggi kemudian ada satu motivasi diri untuk bisa berkembang dalam kariernya dan saat itu sosok yang beri perintah atasannya itu mempengaruhi otak emosi dan rasional, dan otak rasionalnya dikalahkan ketakutan sehingga ketakutan itu yang lebih menonjol," jawab Reni. Dalam kasus ini, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada E, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf didakwa turut secara bersama-sama terlibat dengan perkara pembunuhan berencana bersama-sama untuk merencanakan penembakan pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga No. 46, Jakarta Selatan. Atas perbuatannya, kelima terdakwa didakwa sebagaimana terancam Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP yang menjerat dengan hukuman maksimal mencapai hukuman mati. Tak hanya itu, terdakwa Ferdy Sambo yang turut didakwa secara kumulatif atas perkara dugaan obstruction of justice (OOJ) untuk menghilangkan jejak pembunuhan berencana. Atas hal tersebut, mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP. #Saksi Ahli Psikologi Forensik