Ekonom Sebut Tak Amnesty Era Jokowi Bentuk 'Legalisasi Pencucian Uang Kotor' oleh Negara

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 22 November 2024 12:03 WIB
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan [Foto: Repro]
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan [Foto: Repro]

Jakarta, MI - Kebijakan ekonomi dan sosial era pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali menuai kritik tajam dari berbagai pihak. 

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyampaikan pandangan keras terhadap sejumlah kebijakan yang dinilai merugikan kelompok masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.

"kebijakan ekonomi dan sosial Jokowi selama menjabat Presiden sangat lalim, sangat jahat, sangat kejam, khususnya terhadap kelompok masyarakat menengah bawah," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Jumat (22/11/2024).

Beberapa kebijakan kontroversial yang disebutkan Anthony termasuk pemangkasan subsidi BBM pada akhir 2014, meskipun harga minyak dunia sedang anjlok hingga 50 persen. Subsidi kereta ekonomi juga dihapus pada awal 2015, menyebabkan harga tiket melonjak dua hingga tiga kali lipat.

Subsidi yang dialihkan untuk proyek infrastruktur, menurut Anthony, sering kali berujung pada kegagalan atau menjadi ladang korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

Anggaran subsidi tersebut dialihkan ke berbagai proyek, yang semestinya untuk masyarakat justru terbengkalai atau dikorupsi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam jumlah tidak terbayangkan besarnya.

Kejahatan kebijakan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat kecil ini melibatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
 
Pengampunan Pajak 

Program pengampunan pajak (tax amnesty) menjadi salah satu sorotan utama. Anthony menyebutnya sebagai bentuk "legalisasi pencucian uang kotor"oleh negara: Legalized money laundering. Pemerintah memberikan fasilitas ini dua kali dalam lima tahun, yakni pada 2016/2017 dan 2022, yang dinilainya sebagai langkah tidak lazim di dunia internasional.

Ia juga mengaitkan kebijakan ini dengan potensi pencucian uang hasil korupsi, tambang ilegal, judi online, dan kegiatan ilegal lainnya.

"Uang kotor 2020-2021 hasil korupsi COVID-19, proyek APBN, tambang ilegal, dan lainnya, sepertinya ingin segera dicuci kembali," kata Anthony.

Selama tahun 2020 dan 2021, defisit APBN tercatat mencapai lebih dari Rp1.700 triliun, dengan total belanja negara melebihi Rp5.300 triliun. Namun, pengelolaan anggaran ini dinilai tidak transparan dan terindikasi tingkat kebocoran yang sangat besar, bisa mencapai ratusan triliun rupiah.

Skandal Korupsi dan Proyek Bermasalah

"Salah satu kasus besar yang mencuat adalah korupsi proyek BTS Kominfo senilai Rp10 triliun, di mana Rp8 triliun diduga dikorupsi. Kasus ini menimbulkan kekecewaan publik karena yang tertangkap hanya pelaku kelas bawah, sementara kelas kakap disebut masih bebas berkeliaran" tutur Anthony.

Anthony menambahkan, selain itu, proyek Kartu Prakerja, penanganan COVID-19, dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC PEN) juga menjadi perhatian. Tahun 2020, realisasi pengeluaran untuk PC PEN mencapai Rp695 triliun, namun efektivitas dan transparansi penggunaannya dipertanyakan.

Proyek infrastruktur besar, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung, turut masuk dalam daftar kritik karena dianggap menguras anggaran negara tanpa hasil yang maksimal.

Anthony Budiawan, menyebut kebijakan pemerintah pada tahun 2022 sebagai salah satu yang paling memberatkan rakyat kecil, seperti:

Kenaikan PPN: Tarif Pajak Pertambahan Nilai naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022.

Kenaikan Harga BBM: Pada 3 September 2022, harga Pertalite melonjak dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, sementara harga Solar naik dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter.

Kenaikan ini terjadi dengan alasan subsidi BBM yang membengkak hingga Rp502 triliun. Namun, menurut Anthony, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Anthony mengungkapkan bahwa pendapatan negara tahun 2022 sebenarnya naik sebesar Rp623 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, defisit APBN yang dianggarkan Rp868 triliun hanya terealisasi sebesar Rp464 triliun, memberikan ruang fiskal lebih dari Rp1.000 triliun.

“Ruang fiskal yang besar itu tidak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, rakyat dikenakan kenaikan PPN dan harga BBM,” tegas Anthony.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 dinilai sebagai beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah. Anthony menyebut kebijakan ini mengabaikan kondisi ekonomi rakyat yang semakin tertekan.

“Rakyat sudah dibebani kenaikan PPN menjadi 11 persen pada 2022, dan sekarang mereka dihadapkan pada kenaikan lebih tinggi lagi,” jelasnya.

Di sisi lain, DPR sedang membahas program pengampunan pajak baru, yang jika disahkan, akan menjadi program ketiga setelah pengampunan pada 2016/2017 dan 2022. 

Anthony menyebut Indonesia telah menjadi "surga bagi para koruptor." Program pengampunan pajak yang berulang dianggap memberikan perlindungan bagi pelaku kejahatan finansial, sementara masyarakat kecil harus menanggung beban ekonomi.

“Selamat datang di negeri para bandit,” ujarnya.

Topik:

pencucian-uang-kotor kejahatan-ekonomi anthony-budiawan pemerintahan-jokowi