Fuad Bawazier: Kenaikan PPN 12% Bebani Masyarakat


Jakarta, MI - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025 masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan.
Mantan Menteri Keuangan di era pemerintahan Presiden Soeharto, Fuad Bawazier, angkat bicara terkait penolakan masyarakat terhadap rencana pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada Januari 2025
Fuad, yang juga merupakan politikus Partai Gerindra, mengungkapkan bahwa ia telah mendengar banyak penolakan terkait rencana kenaikan tarif PPN. Penolakan tersebut, menurutnya, datang dari berbagai kalangan, termasuk mantan pejabat negara, akademisi, hingga para ekonom.
"Ya hampir semuanya tidak ada yang setuju kenaikan. Dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025," kata Fuad, dikutip Selasa (26/11/2024).
Fuad menjelaskan bahwa penolakan ini wajar mengingat kondisi ekonomi masyarakat saat ini sedang tertekan, terutama terkait daya beli. Ia menyoroti tren deflasi selama lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, sebelum akhirnya inflasi sedikit pada Oktober 2024 sebesar 0,08%.
"Artinya banyak yang menilai ini adalah penurunan daya beli. Apalagi ke penduduk kelas menengah. Itu bisa dilihat dari macam-macam indikasi. Antara lain ada yang deposito di bank-bank itu depositnya kemungkinan menurun, sementara yang atas malah naik," tutur Fuad.
Permasalahan ini akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau kembali rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Fuad, keputusan tersebut kemungkinan besar akan dipertimbangkan setelah Presiden Prabowo kembali dari lawatannya ke luar negeri.
Fuad menekankan bahwa kenaikan tarif PPN sesuai UU HPP bukanlah hal yang mutlak harus diterapkan pada Januari 2025, mengingat undang-undang tersebut memungkinkan adanya penundaan jika kondisi ekonomi di dalam negeri tidak mendukung.
Ia menambahkan, penundaan implementasi amanat UU pernah dilakukan pada tahun 1985 ketika pemerintah memutuskan untuk menunda penerapan tarif PPN sebesar 10%. Kala itu, kondisi ekonomi masyarakat dianggap belum siap untuk menanggung beban tambahan dari pajak yang dikenakan pada setiap transaksi barang dan jasa. Langkah serupa, menurutnya, dapat menjadi pilihan untuk meringankan beban ekonomi rakyat saat ini.
"Salah satunya saat itu PPN, yang mustinya berlaku Januari 1984 ditunda menjadi Januari 1985. Nah ini bisa saja. Misalnya apakah ditunda itu kan sebelumnya ada enggak ada pemerintahan baru ataupun tidak memang sudah harus berlaku tahun 2025, ada undang-undang," kata Fuad.
Fuad juga mengakui bahwa pemerintah memang akan memperoleh dana segar dari kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025, dengan estimasi kisaran Rp 70 hingga 100 triliun.
Namun, ia menegaskan bahwa beban bagi masyarakat akan semakin berat, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dinilai akan menambah tekanan pada daya beli masyarakat dengan kenaikan dari 11% menjadi 12% tentu akan memberatkan tat kala aktivitas ekonomi tengah lesu dan pendapatan masyarakat tengah tertekan.
"Itu tentunya akan mendapatkan perhatian, jadi bahan untuk mungkin akan dipertimbangkan kembali. Mudah-mudahan gitu kan. Kita juga mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut itu bagaimanapun juga itu adalah menjadi keperhatinan kita lah deflasi," tuturnya.
Topik:
ppn-12 kenaikan-ppn fuad-bawazier