Penyalahgunaan Dana Operasional Menteri Terulang di Era Joko Widodo, Pengawasan Tumpul?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Mei 2024 21:03 WIB
Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Joko Widodo (kanan) (Foto: Ist)
Syahrul Yasin Limpo (kiri) dan Joko Widodo (kanan) (Foto: Ist)
Jakarta, MI - Kasus dugaan penyalahgunaan dana operasional menteri (DOM) terulang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Sebelumnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bernama Jero Wacik terjerat kasus dugaan pemerasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia ditersangkakan KPK pada Rabu (3/9/2014) silam. Jero Wacik telah divonis empat tahun penjara dan harus bayar denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan. 

Mantan Menteri ESDM  Jero Wacik
Jero Wacik

Jero Wacik terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyalahgunakan DOM, memaksa anak buah mengumpulkan uang timbal balik dari rekanan serta menerima gratifikasi. Penyalahgunaan dana tersebut ia gunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, hingga mencapai Rp8,4 miliar.

Pada tahun yang sama, ada pula kasus mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji dan menyalahgunakan DOM.

Ia dihukum dengan enam tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidiar tiga bulan kurungan serta uang pengganti Rp1,8 miliar. Akibat perbuatan Suryadharma tersebut, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp27 miliar.

Berdasarkan hasil pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW), pada 2022 terdapat sebanyak 303 kasus penyalahgunaan anggaran dan 24 pungutan liar atau pemerasan dari 578 kasus korupsi yang diproses secara hukum. Sementara pada 2021, terdapat 133 kasus penyalahgunaan anggaran dan 12 kasus pungutan liar atau pemerasan dari total 533 kasus korupsi.

Kini di era Presiden Joko Widodo terulang. Salah satu mantan menterinya juga terseret kasus dugaan penyalahgunaan DOM. Yakni Syahrul Yasin Limpo (SYL) mantan Menteri Pertanian (Mentan).

Sebagaimana kesaksian sejumlah saksi dalam sidang kasus dugaan gratifikasi dan pemerasan, dengan terdakwa SYL mengaku ketika menjabat sebagai menteri SYL menggunakan anggaran kementerian serta uang patungan dari bawahannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, termasuk membeli emas untuk kondangan, pembelian skincare, hingga membayar biduan dangdut untuk hiburan.

JPU KPK Sebut Terdakwa Syahrul Yasin Limpo Alirkan Uang Rp 40,1 Juta ke Partai NasDem
Syahrul Yasin Limpo

Kendati demikian, tim hukum SYL mengatakan bahwa pernyataan para saksi tentang pemberian uang itu tidak konsisten dan tidak semua hal yang dilakukan oleh bawahan merupakan perintah langsung dari menteri.

“Ada semacam sifat perbuatan yang ingin menunjukkan mereka baik dan perhatian kepada keluarga menteri. Harus jelas siapa yang meminta uang itu,” kata Ketua Tim Pengacara SYL, Djamaludin Kudubun.

Adapun Jaksa KPK menduga SYL menerima uang sebesar Rp44,5 miliar hasil memeras bawahan-bawahannya dan direktorat di Kementan yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Rincian pengeluaran uang Kementan yang diduga digunakan SYL untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, yakni Mobil merek Toyota Innova untuk anak SYL seharga Rp500 juta; Umrah keluarga Rp1,35 miliar; Kurban Rp1,6 miliar; Cicilan mobil Alphard Rp43 juta dan Sunatan cucu.

Lalu, Skincare anak dan cucu; Hadiah emas untuk kondangan Rp7 juta - Rp8 juta; Kacamata SYL dan istri; Kebutuhan operasional rumah dinas (termasuk beli makan-minum) Rp3 juta per hari; Membayar biduan Rp100 juta; Parfum Rp5 juta; Uang jajan istri Rp25 juta - Rp30 juta per bulan; dan Beli dollar di bank US$4.000 (atau setara Rp64 juta).

Selanjutnya, Biaya pemeliharaan apartemen milik SYL Rp300 juta; Uang makan Rp3 juta per hari; Cicilan kartu kredit Rp215 juta; Biaya dokter kecantikan anak SYL; dan Kado undangan Rp381 juta.

Pengawasan tumpul!
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Sahel Alhabsyi, mengatakan bahwa pemerasan di dalam institusi pemerintah sudah menjadi rahasia umum dan ada beberapa kasus di masa lalu yang menunjukkan tren serupa terjadi pula di deretan kementerian.

Ia merujuk pada kaitannya dengan meritokrasi, yakni penempatan orang di satu posisi tidak berdasarkan kompetensi atau rekam jejak. Selain itu, ada pula ongkos politik yang ditangguh oleh pemegang kuasa.

“Karena keluar ongkos politik yang besar untuk menempati satu posisi, maka atasan itu akan berusaha menutupi ongkosnya dengan meminta upeti pada bawahan-bawahannya. Semua ini terjadi dan mengakibatkan praktik [pemungutan] upeti di dalam birokrasi menjadi lazim,” katanya.

Sementara itu, menurut Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zaenur Rochman, pengawasan terhadap penggunaan DOM dianggap tumpul.

“Menurut saya sebanyak apa pun yang diberikan, bahkan sudah ditutupi oleh DOM, nyatanya juga masih meminta kepada vendor. Artinya, di sini masalah pengawasannya tumpul,” kata Zaenur Rochman. (wan)