Operasi Senyap Revisi UU MK: Pembalasan terhadap Hakim Dissenting Opinion?


Jakarta, MI - Perubahan keempat Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi MK dinilai menunjukkan iktikad buruk pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan perubahan itu disusun melalui proses yang senyap, tertutup, tergesa-gesa, minim partisipasi publik, serta substansinya kental dengan kepentingan politik.
Perencanaan perubahan keempat UU MK yang tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dan tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2024 ataupun dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024
RUU ini pun dinilai sebagai pembalasan terhadap hakim-hakim yang sudah menjatuhkan putusan ataupun yang mengeluarkan pertimbangan dalam bentuk dissenting opinion.
"Itu merupakan bentuk pembalasan terhadap hakim-hakim yang sudah menjatuhkan putusan ataupun yang mengeluarkan pertimbangan dalam bentuk dissenting opinion, yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang mengusulkan hakim-hakim tersebut,“ kata Susi Dwi Harijanti, Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera kepada wartawan dikutip pada Sabtu (18/5/2024).
Merujuk perubahan pada pasal 87, lima hakim MK yang saat ini tengah menjabat akan terdampak secara langsung. Tiga di antara mereka adalah hakim yang memberikan pendapat berbeda pada putusan sengketa Pilpres. Tiga hakim itu adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.
Saldi dan Enny, masing-masing telah menjabat selama tujuh dan enam tahun. Oleh karena itu, jika revisi UU MK disahkan di rapat paripurna DPR, mereka harus meminta persetujuan presiden agar dapat meneruskan jabatan sampai 10 tahun.
Dalam putusan sengketa pilpres lalu, Saldi menyatakan bantuan sosial dan mobilisasi aparatur negara melanggar asas jujur dan adil dalam pemilu karena mempengaruhi hasil suara.
Saldi membenarkan dalil pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Dia memandang, pemungutan suara ulang harus dilakukan KPU di Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

Enny juga menyatakan pendapat serupa soal adanya ketidaknetralan penjabat kepala dearah dalam Pilpres. Dia menyatakan pemungutan suara ulang harus dilakukan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.
Adapun, hakim Arief Hidayat berpotensi harus meminta persetujuan dari DPR untuk bisa meneruskan jabatannya hingga usia pensiun. Arief telah berkarier sebagai hakim konsitusi selama 13 tahun.
Dalam putusan sengketa Pilpres 2024, Arief menyatakan presiden dan sejumlah aparatur negara tidak netral karena mendukung salah satu pasangan capres-cawapres.
Dua hakim lainnya yang berpotensi terdampak revisi UU MK adalah Suhartoyo dan Anwar Usman.
Suhartoyo berpeluang terdampak aturan yang sama seperti Saldi dan Enny karena telah menjabat sembilan tahun. Sementara itu, Anwar berpotensi terdampak aturan seperti Arief karena sudah menjadi hakim MK selama 13 tahun.
Memojokan hakim disseting opinion?
Pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai revisi RUU ini 'memojokan' hakim-hakim MK yang melakukan disseting opinion dalam Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres kemarin.
"Ini bentuk upaya mendiskreditkan hakim-hakim MK yang melakukan disseting opinion dalam PHPU Pilpres kemarin," ujar Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, Jum',at (17/5/2024) malam.
Dia pun menyinggung preseden buruk ketika DPR menarik hakim konstitusi Aswanto dengan alasan banyak membatalkan legislasi DPR. "Ini jelas tidak adil. Kewenangan telah digunakan dengan sewenang-wenang. Apakah itu ingin diulangi lagi?" tanyanya.
Dari sembilan hakim konstitusi, mereka yang menjabat lebih dari lima tahun, namun di bawah 10 tahun adalah hakim Saldi Isra yang telah menjabat tujuh tahun satu bulan, Enny Nurbaningsih menjabat selama lima tahun delapan bulan, dan Suhartoyo sembilan tahun empat bulan.
"Jika revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disahkan, maka ketiganya harus kembali mendapat persetujuan lembaga pengusul untuk dapat melanjutkan masa jabatan," kata Fickar.
Hakim Saldi, Enny dan seorang hakim lainnya, Arief Hidayat, merupakan tiga hakim konstitusi yang kerap menyampaikan dissenting opinion dalam sejumlah kasus besar di MK termasuk perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024. “Ada konspirasi jahat antara oknum legislatif dan eksekutif,” tandas Fickar.
Ancam independensi hakim
Mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, menilai bahwa perubahan regulasi soal masa jabatan itu mengancam independensi hakim. Karena harus mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul di tengah masa jabatan.
Palguna menilai para hakim berpotensi membuat putusan yang selalu menguntungkan lembaga pengusulnya. “Karena kalau anda tidak ‘baik-baik’ di lima tahun berkuasa menjadi hakim konstitusi, walaupun ayat 1 mengatakan masa jabatan 10 tahun".
"‘kami punya kewenangan loh untuk mengeluarkan anda, kami mempunyai kewenangan untuk mengganti Anda dengan hakim yang baru’. Kan seolah-olah mau menyampaikan begitu,” ungkap Palguna.
Operasi senyap?
Komisi III DPR bersama pemerintah sepakat mengesahkan pembahasan tingkat pertama perubahan UU 24/2003 tentang MK pada Senin (13/5/2024).
Dalam rapat tersebut, pemerintah diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM) Asep Mulyana. Adapun DPR mengirimkan perwakilan dari 8 fraksi, minus fraksi PDI-P.
Rapat itu digelar tertutup. Situasi itu tentunya berbeda dengan proses penyusunan UU pada umumnya yang mengacu pada asas keterbukaan.
Selain rapat digelar tertutup, rapat pengambilan keputusan tingkat I digelar pada hari terakhir masa reses. Anehnya, sebagian anggota Komisi III bahkan tidak mengetahui adanya rapat pembahasan dan pengambilan keputusan terkait RUU MK.

Menurut Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto, proses pengambilan keputusan semacam itu mengabaikan partisipasi publik yang bermakna sebagai diamanahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. DPR dan pemerintah seharusnya melibatkan dan meminta masukan dari masyarakat dalam proses revisi itu.
Syarat partisipasi yang bermakna dalam menyusun undang-undang, kata Agus, juga sudah diatur dalam Putusan MK No.91/PUU- XVIII/2020. Dalam putusan itu, publik memiliki hak untuk didengar pandangannya dan dipertimbangkan pandangannya. "Kalau ini tidak dilakukan, maka legislasi bisa cacat prosedural," jelasnya.
Agus juga mempersoalkan substansi Pasal 87 huruf a dalam draf RUU MK yang mewajibkan hakim konstitusi "melapor" ke lembaga pengusul jika ingin kembali menjabat. Ketentuan itu dinilai menyalahi isi Putusan MK 81 Tahun 2023 tentang UU MK.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan pada 29 November 2023, MK memberikan pedoman bila perubahan UU MK tidak berlaku bagi hakim MK yang sedang menjabat.
Kewajiban meminta restu dari lembaga pengusul menyebabkan revisi UU menjadi berlaku bagi hakim-hakim konstitusi aktif. "Ini juga aneh. Menurut saya, itu tidak tepat. Putusan MK No 81/2023 memberi batasan (revisi UU MK) tidak boleh merugikan hakim yang saat ini menjabat".
Jadi, perubahan atas UU MK berlaku untuk ke depan, bukan berlaku hakim MK yang diangkat dengan undang-undang yang lama," beber Agus.
Pun, Agus berpendapat revisi UU MK sebaiknya dibatalkan atau ditunda pengesahannya. DPR memiliki pengalaman menunda pengesahan undang- undang pada saat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpolemik pada 2019.
Ketika itu, DPR menunda pengesahan setelah protes besar-besaran dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. "Pada saat itu, RKUHP (diprotes) karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Akhirnya, DPR mencabut dan tidak jadi disahkan," kata Agus.
Pakar hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama juga sepakat pembahasan revisi UU MK sebaiknya dihentikan.
Apalagi, substansi revisi UU MK mempengaruhi hakim-hakim MK yang saat ini tengah bertugas menyidangkan dan mengadili PHPU Pileg 2024. "Jadi, tidak pas pembahasan aturan di kala orang yang mempunyai legitimasi memberikan putusan sedang dibahas statusnya. Sebaiknya dibahas setelah selesai PHPU legislatif agar menjauhkan dari conflict of interest," ucap Suwardi, Rabu (15/5/2024).
Suwardi sepakat revisi UU MK juga potensial cacat secara prosedural karena dibahas pada masa reses serta tanpa melibatkan partisipasi publik. "Pembahasan secara diam-diam bisa memberikan dugaan tidak melewati proses yang seharusnya," tandas Suwardi.
Pernyataan DPR sebelumnya
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan tidak ada agenda pengesahan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rapat paripurna terdekat. Hal ini disampaikannya menjawab pertanyaan wartawan di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Ia menambahkan pembahasan revisi UU MK sudah berjalan namun mempertimbangkan kemungkinan munculnya isu politisasi dalam pembahasannya, seluruh fraksi sepakat untuk menunda pembuatan keputusan. Politisi fraksi Partai Gerindra ini menekankan keputusan pengesahan diambil apabila sudah ada kesepakatan.
“Kalau keputusan nanti sesuai dengan kesepakatan lagi dengan teman-teman fraksi, yang pasti tanggal 5 Desember besok itu tidak ada Paripurna revisi UU MK,” tegasnya.
Di sisi lain, Sufmi Dasco membenarkan Pimpinan DPR telah menerima surat dari Menko Polhukam yang meminta penundaan pengambilan putusan tingkat II tentang Perubahan Keempat UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Ia menyebut surat tersebut datang setelah fraksi-fraksi sepakat untuk menunda. "Hari ini Pak Menko Polhukam mengirimkan surat kepada Pimpinan DPR, dan walaupun sudah disepakati antara pihak pemerintah dalam hal ini Kemenkumham dan sembilan fraksi di DPR, namun atas kesepakatan dari kawan-kawan fraksi (ditunda). Ini bukan karena surat yang dikirim, memang dari kemarin sudah ada kesepakatan,” bebernya.
Pun dia berpandangan keputusan penundaan lebih baik dilakukan agar tidak muncul narasi publik yang menggiring persetujuan atas RUU MK tersebut merugikan pihak tertentu dan mengandung unsur politisasi. Menurutnya penundaan adalah keputusan terbaik.
Topik:
Revisi UU MK Hakim MK Dissenting Opinion