Pernyataan Safaruddin "Jangan Hantam DPR" ke Calon Hakim MK Memalukan: Seperti Membongkar Selimut Tebal yang Menutup Misi DPR


Jakarta, MI - Pernyataan Safaruddin di hadapan calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Inosentius Samsul "jangan hantam DPR" sangat memalukan.
Menurut Peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, pernyataan ini seperti membongkar selimut tebal yang menutup misi DPR melakukan pemilihan hakim konstitusi kali ini.
"Ya maksud tersembunyi yang menjelaskan kenapa DPR nampak begitu tertutup dalam proses seleksi calon hakim konstitusi sebelum akhirnya melakukan fit and proper test," kata Lucius saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Kamis (21/8/2025) dini hari.
"Ini kan calonnya hanya satu, dan tiba-tiba saja sudah fit and proper.Seharusnya ada proses seleksi terbuka sebelum DPR memutuskan sejumlah nama untuk di-fit and proper. Ini kok tiba-tiba fit and proper test, tanpa ada proses menyeleksi beberapa kandidat potensial sebelumnya," sambung Lucius.
Semestinya, tegasnya, fit and proper test ini yang menjadi momentum puncak bagi DPR untuk mempertimbangkan dan memutuskan para calon yang layak sesuai dengan penilaian selama fit and proper test.

"Kalau prosesnya seperti yang dilakukan Komisi III dengan hanya satu calon, ya bukan seleksi itu namanya. Calon kok cuma satu. Fit and proper akhirnya cuma formalitas, cuma basa-basi saja. DPR sudah memutuskan hakim MK terpilih sebelum fit and proper," jelas Lucius.
"Dan proses instan ala DPR seperti ini nampaknya didorong oleh keinginan agar hakim MK terpilih harus membawa dan membela kepentingan DPR." timpalnya.
Motif DPR seperti itu, kata dia, bukan baru kali ini saja terjadi. Pada pemilihan hakim MK sebelumnya, Komisi III DPR RI juga melakukan hal yang sama, yakni memilih seseorang tanpa seleksi terlebih dahulu untuk mengganti hakim MK lain.
Saat itu Komisi III juga menyampaikan alasan bahwa proses penggantian itu dilakukan Komisi III karena menilai hakim yang digantikan tidak menghormati DPR yang memilihnya. DPR menilai hakim MK yang mereka pilih justru melawan atau ikut merubah UU yang sudah diputuskan atau tidak sesuai dengan keinginan DPR.
"Yah, kalau DPR ingin ada hakim yang menjadi penjaga kepentingan mereka di MK, harusnya sih kedepannya DPR ngga dibolehkan mengusulkan calon. Karena memang rawan konflik kepentingan," bebernya.
Karena, ujar Lucius, MK hampir pasti akan selalu menguji UU bikinan DPR, maka sangat mungkin DPR merasa dirugikan sebagai pembuat UU. Dengan semua cara berpikir seperti yang dilontarkan anggota Komisi III di atas, tanpa terasa, DPR sebenarnya menyumbang krisis kelembagaan di MK.
DPR membantu pelemahan MK, dan membuat para hakimnya tidak cukup independen lagi. "Bahaya serius mengintai. Kerja MK yang harus menguji konstitusionalitas UU bisa dirusak oleh politik pragmatis ala DPR, dengan menjual murah konstitusi," ucapnya.
Kalau logika berpikir DPR seperti yang diungkapkan anggota Komisi III, katanya, rusak betul tata negara Indonesia, karena hampir semua pejabat di banyak lembaga negara dipilih oleh DPR.
"Bayangkan kalau DPR menginginkan agar mereka yang dipilih itu harus membela kepentingan DPR. Maka sifat lembaga yang harusnya independen jadi oportunis semua. Rusak lembaga-lembaga kita, rusak juga demokrasi," demikian Lucius Karus mengakhiri perbincangan.
Diketahui bahwa Komisi III DPR menggelar fit and proper test untuk calon Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pengganti Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang akan memasuki usia pensiun pada Februari 2026.
Fit and proper test ini dilakukan karena Hakim Arief merupakan Hakim MK yang berasal dari unsur DPR. Sehingga, penggantinya pun harus diusulkan dari DPR.
Calon Hakim MK yang dilakukan uji kelayakan hanya satu orang yakni Inosentius Samsul. Saat ini, dia menjabat Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Utama DPR.
“Biasanya sih Pak, kalau kita fit and proper di sini, pokoknya kami akan memperjuangkan sebagai utusan DPR. Tapi setelah sampai di sana, lupa Pak bahwa Bapak itu dipilih dari DPR,” ujar Safaruddin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Politisi PDIP itu lantas mengatakan bahwa hakim yang dipilih DPR harus memiliki keteguhan dan keyakinan untuk memutus sebuah gugatan. Di sisi lain, ia juga meminta agar hakim yang dipilih DPR jangan menjadi terpengaruh justru menyerang produk hukum dari DPR.
“Bapak jangan lupa bahwa Bapak dipilih itu dari DPR, jangan kembali menghantam DPR. Saya mengingatkan kembali kepada Bapak, kalau kompetensi Bapak saya pikir kita yakin. Cuma kadang-kadang nanti di sana ada pengaruh kiri kanan Bapak bisa goyang-goyang, dan saya minta Bapak teguh dalam pendirian menghadapi hakim-hakim yang lain,” kata mantan Kapolda Kalimantan Timur itu.
Adapun Inosentius Samsul adalah satu-satunya calon yang diusulkan DPR untuk menggantikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, yang akan pensiun pada Februari 2026.
Pada 3 Februari 2026 nanti, ia akan berusia 70 tahun dan sesuai UU MK sudah saatnya ia pensiun. Arief Hidayat juga merupakan Hakim Konstitusi usulan DPR.
Dia mengaku sudah 35 tahun bekerja di DPR. Pernah menjabat sebagai Kepala Badan Keahlian DPR. Saat ini, dia menjabat Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Utama DPR.
Topik:
DPR Hakim MK MK Hakim Konstitusi