‘Perintah Ibu’ di Kasus Harun Masiku

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 26 April 2025 11:40 WIB
Suasana sidang putusan praperadilan di Pengadialan Negeri Jaksel, Kamis 13 Februari 2025 - DPO Harun Masiku - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kanan) (Foto: Kolase MI)
Suasana sidang putusan praperadilan di Pengadialan Negeri Jaksel, Kamis 13 Februari 2025 - DPO Harun Masiku - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kanan) (Foto: Kolase MI)

Jakarta, MI - Dalam sidang kasus dugaan suap Harun Masiku ihwal pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang menyeret Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto muncul sebuah frasa yang mengguncang banyak pihak yakni "Perintah Ibu." 

Frasa ini kembali mencuat ketika Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, diduga melalui seorang eks kader partai, Saeful Bahri, menitipkan pesan kepada Wahyu Setiawan untuk mengurus proses pergantian antar waktu (PAW) Harun Masiku ke DPR. 

Terlebih, Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Bawaslu yang menjadi saksi dalam kasus ini, mengungkapkan bahwa ada percakapan mengenai pesan Hasto yang berisi perintah "Ini perintah dari Ibu."

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan alasan baru membuka rekaman sadapan terkait kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dalam persidangan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. 

Pihaknya menyebut bahwa barang itu belum dibutuhkan untuk pembuktian pada persidangan kasus terdahulu. “Kalau pertanyaannya kenapa di persidangan yang lalu tidak disajikan, jawabannya sudah paham ya, karena pada saat itu memang tidak dibutuhkan atau belum dibutuhkan untuk disajikan,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto, Sabtu (26/4/2025).

Menurut Tessa, barang bukti biasa dipaparkan dalam persidangan untuk kebutuhan pembuktian jaksa. Penuntut umum yang menentukan informasi yang mau disajikan kepada majelis hakim, termasuk, jika hasil sadapan mau dibongkar di pengadilan. “Jadi, kalau pertanyaannya kenapa (baru dibuka), ya karena memang saat ini rekaman tersebut diperlukan untuk disajikan dalam perkara yang sedang disidangkan,” jelas Tessa.

Pemilihan bukti di persidangan merupakan hak jaksa. KPK tidak bisa mengatur karena penuntut umum yang mengetahui strategi pembuktian. “Jadi kapan alat bukti itu disajikan di persidangan tentunya yang memiliki penilaian dan kewenangan adalah jaksa penuntut umum,” kata Tessa.

Respons PDIP

Hasto yang juga merupakan terdakwa dugaan suap dan perintangan penyidikan pengurusan PAW Harun Masiku, irit bicara soal `perintah ibu` dalam rekaman percakapan antara Eks Komisioner Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dengan Eks Kader PDIP Saeful Bahri itu.

"Nanti, kita lihat," kata Hasto di sela-sela persidangan di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (24/4/2025).

Sementara itu, pengacara Hasto, Ronny Talapessy mengklaim apa yang dikatakan Saeful Bahri soal `perintah ibu` tersebut hanya sekadar mencatut tanpa dasar. Dia menyebut Saeful Bahri memiliki kebiasaan mencatut nama seseorang sebagaimana yang sering diungkapkan oleh Agustiani Tio.

"Itulah yang kita sebut mencatut nama. Mencatut nama. Sering mencatut-mencatut nama. Kan itu keterangan berdiri sendiri. Kan terbukti. Tadi saudari Tio menyampaikan saudara Saeful ini kebiasaannya adalah membawa nama orang. Dan itu sudah terbukti," beber Ronny.

Ronny berharap perkataan `perintah ibu` tersebut tidak digiring seolah-olah berkaitan dengan perintah pimpinan partai PDIP. Mantan pengacara Bharada E itu mengklaim bahwa sosok `ibu` yang dikatakan Saeful Bahri bukan merujuk kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

"Jadi menurut saya janganlah kita framing-framing bahwa seolah-olah ini sudah terkait dengan pimpinan-pimpinan partai. Ini adalah perintah dari partai. Secara organisasi, ya, karena menjalankan putusan dari Mahkamah Agung. Itu clear. Bukan (Megawati)," jelasnya.

Sebelumnya, JPU KPK memutarkan rekaman telepon antara Saeful Bahri dengan Agustiani Tio yang terjadi pada 6 Januari 2020 lalu. Rekaman telepon yang diputar saat Agustiani Tio bersaksi untuk Hasto itu mengungkap perkataan Saeful soal pesan yang diberikan Hasto untuk disampaikan kepada Eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait proses PAW ini.

"Tadi Mas Hasto telepon lagi bilang ke Wahyu ini garansi saya, ini perintah dari Ibu dan garansi saya. Jadi bagaimana caranya supaya ini terjadi," kata Saeful kepada Agustiani dalam rekaman itu.

Namun, Saeful tak menjelaskan siapa sosok `Ibu` yang dimaksud oleh Hasto dalam pesannya kepada Wahyu Setiawan itu.

Dalam kasus ini, Hasto diadili atas kasus dugaan perintangan penyidikan terkait penanganan perkara Harun Masiku selaku mantan calon legislatif PDIP.

Hasto disebut menghalangi KPK menangkap Harun Masiku yang sudah buron sejak tahun 2020 lalu. Selain itu, Hasto juga didakwa menyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan Rp600 juta. Suap diberikan agar Wahyu yang sempat menjadi kader PDIP mengurus penetapan PAW anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku.

Hasto didakwa memberi suap bersama-sama orang kepercayaannya, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri kemudian juga Harun Masiku. Donny saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka tetapi belum diproses, lalu Saeful Bahri telah divonis bersalah dan Harun Masiku masih menjadi buron.

Jejak Harun Masiku

Kurang lebih 5 tahun, Harun Masiku menjadi target Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Harun Masiku diduga kuat menyuap Wahyu Setiawan agar bisa lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Sejak menghilang usai lolos dari OTT, ia terus bersembunyi. Ia sempat dilaporkan bersembunyi di Kamboja atau Singapura dan beberapa menyebut ia ada di Indonesia.

Kasus bermula pada 20 September 2018, KPU RI telah menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) yang akan mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR dari PDIP untuk Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1 (Dapil Sumsel 1). 

Meliputi wilayah Palembang, Lubuklinggau, Banyuasin, Musi Rawas serta Musi Rawas Utara. Terdapat 8 nama calon anggota legislatif pada saat itu.

Sebelum pelaksanaan Pemilu, KPU mendapatkan informasi bahwa caleg DPR dari PDIP bernama Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada tanggal 26 Maret 2019. 

Alhasil, KPU meminta klarifikasi kepada PDIP yang dibenarkan sebagaimana surat dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Nomor 2334/EX/DPP/IV/2019 tanggal 11 April 2019.

Atas jawaban tersebut KPU mengeluarkan Keputusan Nomor 896/PL.01.4- Kpt/06/KPU/IV/2019 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1129/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Daftar Calon Tetap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan Umum Tahun 2019 tanggal 15 April 2019.

Pada intinya adalah valeg DPR dari PDIP bernama Nazarudin Kiemas dicoret dari DCT. 

Pasalnya, Nazarudin Kiemas tidak memenuhi syarat (meninggal, red). Selain itu menginformasikan pencoretan tersebut kepada KPU Provinsi Sumatera Selatan untuk diteruskan hingga ke tingkat KPPS. 

Tujuannya agar menindaklanjuti pada semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) Dapil Sumsel 1, dikarenakan Nazarudin Kiemas masih tercantum dalam lembar surat suara pemilu.

Pada Juli 2019, dilaksanakan Rapat Pleno DPP PDIP yang memutuskan Harun Masiku ditetapkan sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazaruddin kiemas dari dapil sumsel-1.

Alasannya, meski telah dicoret KPU dari DCT dapil sumsel 1 (meninggal dunia), namun Nazarudin Kiemas sebenarnya mendapat perolehan suara sejumlah 34.276 suara dalam pemilu.

Atas keputusan rapat pleno tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP menugaskan Donny Tri Istiqomah selaku tim hukum PDIP mengajukan surat permohonan ke KPU RI.

Dalam kasus ini, Harun Harun mengupayakan dirinya menjadi pengganti Nazarudin Kiemas, caleg DPR RI terpilih dari PDIP yang meninggal dunia pada Maret 2019. 

Posisi Nazarudin semestinya digantikan oleh Rizky Aprilia yang menempati posisi kedua di Pileg 2019 Dapil I Sumatera Selatan.

Namun, PDIP justru mengajukan Harun Masiku yang menempati posisi keenam. Harun diajukan sebagai pengganti Nazarudin melalui proses Pergantian Antar Waktu (PAW).

PDIP bahkan sempat mengajukan fatwa ke MA dan menyurati KPU agar melantik Harun.

Tapi KPU keukeuh dengan keputusan untuk melantik Reizky lantaran Harun tidak memenuhi syarat menggantikan Nazaruddin.

Selanjutnya, Harun Masiku mencoba melobi komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan untuk membatalkan keputusan KPU. 

Pun Wahyu menyanggupi permintaan Harun. Tapi dengan catatan, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta.

Kemudian, Harun Masiku mengirimkan uang sebesar Rp850 juta kepada Wahyu melalui staf sekretariat DPP PDIP bernama Saeful Bahri. 

Uang tersebut diterima Wahyu melalui anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang juga merupakan orang kepercayaan Wahyu.

Bertempat di sebuah restoran di Mall Pejaten Village, Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina melakukan pertemuan dengan Saeful Bahri. 

Dalam pertemuan itu Saeful Bahri meminta bantuan Wahyu Setiawan agar dapat mengupayakan kepentingan Harun Masiku terkait proses PAW dari Riezky Aprilia sebagai anggota DPR Dapil Sumsel I kepada Harun Masiku sesuai surat permohonan DPP PDIP. Wahyu pun juga menyanggupinya.

Pada tanggal 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan menghubungi Agustiani Tio Fridelina agar mentransfer sebagian uang yang telah diterima dari Saeful Bahri sebesar Rp50 juta ke rekening Bank Negara Indonesia (BNI) atas nama Wahyu Setiawan.

Namun sebelum mentransfer uang tersebut, Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina dicokok penyidik KPK beserta barang bukti sejumlah uang dalam bentuk Sing$ 38,350 dari Agustiani Tio Fridelina. 

Sementara orang yang diburu penyidik KPK, Harun Masiku berada di Singapura.

Harun melakukan perjalanan ke Singapura dua hari sebelum penangkapan Wahyu dan Agustiani. 

Buntut kasus ini, Wahyu divonis 7 tahun penjara dan masuk bui terhitung sejak Januari 2020. 

Majelis hakim menilai Wahyu terbukti menerima uang senilai total Rp600 juta terkait penetapan PAW anggota DPR RI periode 2019-2024, sebagaimana dakwaan primair. 

Namun setelah menjalani masa tahanan 3 tahun 9 bulan, atau pada Oktober 2023, Wahyu mendapat pembebasan bersyarat.

Belakangan penyidik KPK melanjutkan proses penyidikan dengan memeriksa saksi. 

Diantaranya Hasto Kristiyanto diperiksa semula dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam perkara suap yang melibatkan Harun Masiku.

Merespons pemeriksaan tersebut, Hasto menegaskan bakal memenuhi panggilan penyidik KPK. 

Sebagai Sekjen PDIP, Hasto menegaskan partai tempatnya bernaung bakal taat pada supremasi hukum. Sementara sebagai warga negara, Hasto bakal merespons serius panggilan penyidik KPK.

Tak lama kemudian, Hasto memenuhi panggilan penyidik pada 10 Juni 2024. Saat pemeriksaan, ponsel Hasto disita penyidik. 

Penyidik KPK mengambil barang Hasto yang dibawa sang asisten, Kusnadi, kala sedang menunggu di lobi Gedung Merah Putih. Hal itu membuat PDIP protes.

Kini, Hasto Kristiyanto dan kader PDIP bernama Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka.  Donny menjadi pihak yang diperintahkan Hasto untuk melobi Wahyu Setiawan agar KPU menetapkan Harun sebagai pihak yang menggantikan Nazarudin. 

Donny diumumkan sebagai tersangka setelah menyerahkan uang suap kepada Wahyu atas perintah Hasto.

Menurut Ketua KPK Setyo Budiyanto, uang tersebut diserahkan melalui Agustina sebagai eks Anggota Badan Pengawas Pemilu. KPK menjerat Hasto dengan dua perkara, yaitu perkara suap dan perintangan penyidikan atau obstruction of justice. KPK menjerat Sekjen PDIP tersebut dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Untuk pelanggaran terhadap kasus perintangan penyidikan, Hasto dikenai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (wan)

Topik:

Perintah Ibu PDIP Harun Masiku Hasto Megawati