Mengetuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai
Ismail Hasani, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute dan Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
SURVEI adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia. Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini seringkali barjarak.
Oleh karenanya survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik. Bahkan jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik. Kritik hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika.
Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi, yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei.
Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi.
Dalam situasi yang demikian, maka kita menyayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya.
Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi.
Agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangkampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.
Ada dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini, (1) berharap bandwagon effect, agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan dan (2) menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat.
Sejalan dengan sajian aneka survei, kampanye pemilu damai dan teduh terus disuarakan tetapi dengan nada suara yang menakutkan. Ajakan damai menjadi isu demokrasi dan keadilan Pemilu, karena mengkritik kandidat dianggap bikin gaduh, mendorong netralitas berpotensi berhadapan dengan hukum, mengoreksi dan menjadikan isu pelanggaran konstitusi dan politik dinasti dianggap bikin gaduh dan menebar hoax. Lalu situasi damai dan teduh itu ditujukan untuk apa?
Berbagai keprihatinan ini menjadi kegelisahan publik dan terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil.
Transformasi destruktif ini akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu, sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral, sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama.
Setara Institute, sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei, mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya. Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan.
Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi.
Penafian: Monitorindonesia.com tidak bertanggung-jawab atas kiriman artikel langsung dari pembaca dalam rubrikasi forum atau opini.
Opini Sebelumnya
Opini Selanjutnya
SETARA Sebut Aturan HGU IKN untuk Investor sampai 190 Tahun Berpotensi Langgar HAM Berkelanjutan
17 Juli 2024 19:25 WIB
Eks Ketua KPU Hasyim Asy'ari Ditantang Bongkar Kecurangan Pemilu 2024 - 'Kalau dia berani, ya lawan!'
4 Juli 2024 12:49 WIB
Pemecatan Ketua KPU, Bukti Kegagalan Tim Pansel dalam Menyaring Calon Anggota Penyelenggara Pemilu
4 Juli 2024 10:20 WIB
Bawaslu RI Tekankan Seluruh Jajaran Bawaslu Daerah untuk Segera Tindaklanjuti Informasi Awal Pelanggaran Pemilu
27 Juni 2024 13:41 WIB
DKPP: Tugas Kami Menjaga Marwah, Bukan Menghukum Penyelenggara Pemilu
14 Juni 2024 13:12 WIB
Bawaslu Komitmen Tegakkan Penyelenggaraan Pemilu Tanpa Kekerasan Berbasis Gender
10 Juni 2024 13:37 WIB