Perkuat Oposisi atau Demokrasi Mati

Hari Purwanto - Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR)

Hari Purwanto - Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR)

Diperbarui 6 April 2024 07:31 WIB
Hari Purwanto, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) (Foto: Istimewa)
Hari Purwanto, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) (Foto: Istimewa)

PEMILU 2024 menjadi Pemilu terburuk salam sejarah Indonesia merdeka. Pemilu kali ini bahkan diyakini lebih buruk dari Pemilu masa Orde Baru.

Di masa orde baru, meskipun kualitas pemilu nya buruk. Setidaknya secara kuantitatif, Pemilu berjalan dengan baik dan lancar. Intimidasi terhadap oposisi, meskipun ada, tidak dilakukan secara terbuka dan masif.

Pemilu 2024, secara kualitatif jelas melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan sejak dalam perencanaan. Masifnya mobilisasi ASN, penggunaan perangkat negara, hingga pembengkakan regulasi melalui mekanisme manipulatif yang merudapaksa kewenangan dan kewibawaan lembaga MK.

Pemilu kali ini juga dibayangi oleh panitia Pemilu (KPU) yang seluruh anggotanya diputus melanggar Etik oleh DKPP. Bahkan, Ketua KPU mendapat 2 teguran berat dan final. Termasuk dalam kasus dugaan Gratifikasi seks.

Lantas apa yang bisa diharapkan dari mekanisme demokrasi yang bobrok ini?

Setidaknya, kecurangan Pemilu yang begitu telanjang dan masif ternyata mendapat perlawanan yang tak kalah masif. Baik dari kalangan partai politik, kelas menengah, mahasiswa, hingga rakyat biasa.

Elan perlawanan ini merupakan fenomena yang sangat langka, bahkan mungkin kerap terjadi di masa krisis saja. TAVIP atau Tahun Vivere Pericoloso, menandai puncak kemuakan rakyat terhadap kesewenangan penguasa. Kerap ditandai dengan memburuknya ekonomi, sulitnya mencari bahan pokok yang diiringi harga melonjak.

Hal yang pernah terjadi di 1965 dan 1997-1998. Namun, menilik lanskap politik, fenomena kali ini lebih mirip situasi 1997. Suasana pasca Pemilu yang secara “baik -baik saja” berjalan dan terbentuk MPR/DPR yang kembali memilih Soeharto menjadi Presiden.

Siapa nyana, tak sampai setahun situasi politik berubah 180°. Percaturan politik orde baru terjungkal, ekonomi hancur dipicu krisis moneter.

Kekuatan Politik Orde Baru Pun semakin terpuruk. Kebiadaban militer orde baru yang membantai mahasiswa dan ribuan rakyat jelata dalam serangkaian kerusuhan yang didesain, telah membangkitkan kesadaran massal.

Tentu saja, kita berdoa, agar tragedi 1965-1966 dan 1997-1998 tak terulang. Kita tak ingin ada lagi anak bangsa yang diculik dan dibantai hanya karena menyampaikan suara yang berbeda, kritis dan kebenaran.

Inilah kemudian yang menjadi tanggung jawab kelompok pro demokrasi untuk mencegah kebiadaban politik berlanjut, sekaligus mencegah pertumpahan darah terjadi. Menyitir Gus Dur tak ada kekuasaan yang senilai darah rakyat.

Tanggung jawab kelompok pro demokrasi adalah menggiatkan gelora oposisi dan mengkonsolidasikan perlawanan terhadap elan-elan kekuasaan yang telah abai terhadap konstitusi.

Kekuatan oposisi parlemen harus bisa bergandengan tangan dengan kekuatan riil rakyat yang membentuk parlemen jalanan.

Tak perlu terlalu obsesif untuk menjungkalkan kekuasaan atau pun melancarkan pemakzulan (meskipun itu konstitusional). Membentuk oposisi yang efektif dan efisien saja sudah cukup untuk membatasi ruang gerak oligarki Agar tidak semakin merajalela.

Nasib bangsa dan negara ini berada di tangan kesadaran kelas menengah dan partai politik yang peka dan peduli dengan pranata bangsa dan kehidupan realistik rakyat yang mayoritas masih miskin.

Opini Terkait