PDIP Tanpa Sekjen Hasto

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Februari 2025 02:54 WIB
Sekjen PDIP, Hasto Kritiyanto (Foto: Dok MI)
Sekjen PDIP, Hasto Kritiyanto (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Melalui berbagai podcast maupun tulisan, AI sejak Desember 2024 telah menyampaikan posisi analitiknya bahwa batas akhir “negosiasi soal manuver-manuver politik” Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang penuh dengan taburan DFK di ruang publik, adalah sampai menjelang Sprindik dikeluarkan oleh KPK.

Tertanggal 23 Desember 2024 ternyata KPK mengeluarkan dua Sprindik: Sprin.Dik/152/DIK.00/01/ 12/2024 dan Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024. 

Untuk mudahnya kita sebut saja Sprindik 152 dan Sprindik 153.

Kedua Sprindik ini memberikan Hasto status hukum “tersangka”. Yang 𝗦𝗽𝗿𝗶𝗻𝗱𝗶𝗸 𝟭𝟱𝟮 menjadikan Hasto sebagai tersangka perintangan penyidikan perkara Harun Masiku. Yang 𝗦𝗽𝗿𝗶𝗻𝗱𝗶𝗸 𝟭𝟱𝟯, keterlibatan Hasto dalam tindak pidana korupsi karena memberikan hadiah/janji kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan, untuk memuluskan langkah Harun Masiku menjadi anggota DPR RI asal Dapil I Sumatera Selatan.

Gampangnya, Sprindik 152 itu Hasto sebagai tersangka 𝘰𝘣𝘴𝘵𝘳𝘶𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘧 𝘫𝘶𝘴𝘵𝘪𝘤𝘦; Sprindik 153, Hasto tersangka 𝘤𝘰𝘳𝘳𝘶𝘱𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘤𝘢𝘴𝘦. 

Dengan kata lain, setelah 23 Desember 2024, tidak ada lagi negosiasi soal posisi politik Sekjen Hasto Kristiyanto. Tegasnya, Hasto harus 𝘰𝘶𝘵 dari posisi apapun di struktural DPP PDIP.

𝗣𝗼𝘀𝗶𝘀𝗶 𝗔𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗔𝗜

Sejak KPU menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suaranya (𝘳𝘦𝘢𝘭 𝘤𝘰𝘶𝘯𝘵) pada 20 Maret 2024, Presiden-terpilih Prabowo Subianto langsung melakukan komunikasi politik untuk merangkul semua kubu kontestan politik diluar koalisinya (KIM) untuk bersama-sama membangun Indonesia.

Hanya PDIP yang masih plin-plan mengambil sikap politik sampai hari ini. Yang lainnya sekarang sudah berada dalam kapal developmentalisme menuju VIE 2045 dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo. 

Ternyata sikap tidak jelas antara “𝘪𝘯 𝘰𝘳 𝘰𝘶𝘵” PDIP ini dimainkan oleh Sekjen Hasto Kristiyanto, yang sudah dianggap sebagai “anak sulung” oleh sang Ketum, diantara kedua “anak biologis Soekarno” yang sudah sejak lama saling berseteru. Peliknya situasi internal ini juga sudah saya bahas panjang lebar.

Hasto, si “anak ideologis Soekarno”, nampak jelas punya agenda pribadi untuk menjadi penengah perseteruan kedua “anak biologis Soekarno" itu melalui jalan tengah sebagai “Ketum sementara” pasca kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Seberapa lama status “sementara” itu akan disandang Hasto? Yang tahu hanya Hasto sendiri, dan tergantung kepiawaian Hasto memainkannya.

Untuk mencapai kepentingan pribadi Sekjen Hasto inilah maka PDIP memang perlu berada diluar pemerintahan (oposisi), dan memainkan berbagai narasi DFK semacam “parcok” atau “selalu Salawi” yang disisipkan kedalam berbagai isu kontemporer (manuver di OCCRP, gerakan “Adili Jokowi”, dsb.)

Karena bukan narasi kritis yang ilmiah, tentu saja taburan DFK di ruang publik dari kubu Sekjen Hasto ini sangat mengganggu jalannya pemerintahan. Maka memang harus dihentikan!  Seperti dalam analogi “mesin gerinda” yang diungkap oleh Jokowi di HUT Gerindra ke-17 dua hari lalu (15/2).

Sejak tanggal 23 Desember 2024 itu (tanggal kedua Sprindik KPK), AI sudah mengambil posisi analitik bahwa, bagi Ketum PDIP Megawati hanya ada 1 pilihan dengan 2 cara. 

Pilihan tunggal itu adalah “PDIP tanpa Sekjen Hasto Kristiyanto.” Caranya memang ada dua, secara sukarela maupun secara tidak rela. Terserah Megawati. Soal ini juga sudah saya bahas berkali-kali.

Per hari ini, posisi analitik AI tidak berubah. Bahkan fakta-fakta perkembangan kasus Hasto dua minggu belakangan ini berada pada trajectori analisis ini.

Kalau Hasto (baca: PDIP) boleh berkhayal memiliki niat baik bahwa Presiden Prabowo harus diselamatkan dari pengaruh mantan Presiden Jokowi, maka, sebaliknya, Presiden Prabowo, yang faktual adalah pemegang kekuasaan politik negeri ini— sedangkan PDIP sama sekali tidak punya kekuasaan apapun— juga berniat baik untuk menyelamatkan Ketum Megawati dari pengaruh Sekjen Hasto Kristiyanto.

Ada dua niat yang sama-sama bertujuan baik disini. Bedanya, yang satu didasarkan pada fantasi politik (kepentingan Hasto-PDIP), yang lainnya didasarkan pada realisme politik (kepentingan Prabowo-Pemerintah).

Sekali lagi, dari sudut Ketum Megawati, sekarang pilihannya cuma satu: 𝗣𝗗𝗜𝗣 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗦𝗲𝗸𝗷𝗲𝗻 𝗛𝗮𝘀𝘁𝗼 𝗞𝗿𝗶𝘀𝘁𝗶𝘆𝗮𝗻𝘁𝗼. Tidak peduli Megawati suka atau tidak.

𝗠𝗮𝗻𝘂𝘃𝗲𝗿 𝗣𝗿𝗮-𝗣𝗲𝗿𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻

Strategi ulur waktu. Tinggal itu yang sekarang bisa dilakukan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melalui manuver pra-peradilan. 

Saya sudah menduga bahwa pasca keputusan gugatan dinyatakan “NO” oleh hakim Djuyamto di sidang pra-peradilan PN Jakarta Selatan pada Kamis lalu (13/2), Hasto akan kembali bermanuver mengulur waktu.

Kita tahu keputusan “gugatan dinyatakan NO” beda dengan bila “gugatan ditolak.” Istilah “NO” itu dari bahasa Belanda “𝙣𝘪𝘦𝘵 𝙤𝘯𝘵𝘷𝘢𝘯𝘬𝘦𝘭𝘪𝘫𝘬𝘦 𝘷𝘦𝘳𝘬𝘭𝘢𝘢𝘳𝘥”, yang artinya “tidak dapat diterima” atau “𝘥𝘦𝘤𝘭𝘢𝘳𝘦𝘥 𝘪𝘯𝘢𝘥𝘮𝘪𝘴𝘴𝘪𝘣𝘭𝘦.”

“NO” terjadi karena cacat formil, bukan karena cacat material! Maka bagi saya ini sangat aneh, mengingat 𝘭𝘢𝘸𝘺𝘦𝘳 Maqdir Ismail— dan Todung Mulya Lubis— bukan anak kemarin sore yang minim pemahaman soal proses hukum acara pidana.

Aneh bin ajaib, setelah keputusan “𝘯𝘪𝘦𝘵 𝘰𝘯𝘵𝘷𝘢𝘯𝘬𝘦𝘭𝘪𝘫𝘬𝘦 𝘷𝘦𝘳𝘬𝘭𝘢𝘢𝘳𝘥“ itu, bisa-bisanya mereka bicara ke publik soal kenapa hakim tidak membahas substansi perkara. 

Lha, 𝘸𝘰𝘯𝘨 ini soal cacat formil kok! Gara-gara dua Sprindik digugat dalam satu perkara pra-peradilan. Mana bisa? Tentu saja hakim tidak akan bicara substansi perkara, 𝘸𝘰𝘯𝘨 prosedur/tata-caranya saja salah. Formilnya cacat.

Dua Sprindik itu kan soal dua tindak pidana yang berbeda. Pasti kedua pengacara kawakan itu sangat paham bahwa seharusnya gugatan pra-peradilannya dilakukan secara terpisah. Urusan Sprindik 152 dan 153 harus di-praperadilan-kan sendiri-sendiri, bukan dijadikan satu gugatan.

Jelas sekali, ini soal akal-akalan tim pengacara Hasto untuk menunda-nunda proses perkara. 

Setelah diputus “NO” pada Kamis (13/2) itu, KPK telah mengeluarkan surat pemanggilan pemeriksaan lanjutan sebagai tersangka untuk hari ini (Senin, 17/2). Tetapi Hasto ternyata telah mengajukan kembali gugatan pra-peradilan pada hari Jumat lalu (14/2). Itu sebabnya dia meminta penundaan pemeriksaan hari ini.

Jadi, Hasto sekarang bermanuver dalam gugatan pra-peradilan jilid-2. 

Keputusan “NO” memang memungkinkan diajukannya kembali gugatan pra-peradilannya. Sedangkan bila keputusannya “ditolak,” itu memang final/mengikat, alias tidak bisa digugat kembali.

Pertanyaannya: Apakah dibalik taktik menunda-nunda ini adalah untuk menegosiasikan harga tawar “PDIP tanpa Sekjen Hasto Kristiyanto” sebagaimana dibahas diatas?

Barangkali niatnya demikian. Tetapi jelas tidak akan efektif. Untuk dua alasan.

𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, sudah terlalu lama waktu diberikan kepada PDIP untuk menentukan sikap “𝘪𝘯 𝘰𝘳 𝘰𝘶𝘵.” Sudah sejak bulan Maret 2024. 𝘋𝘰𝘯'𝘵 𝘱𝘭𝘢𝘺 𝘩𝘢𝘳𝘥-𝘵𝘰-𝘤𝘢𝘵𝘤𝘩 𝘪𝘳𝘳𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭𝘭𝘺, ini bukan roman picisan, ini soal politik kebangsaan. Pembangunan bangsa ini harus tetap berjalan dengan atau tanpa PDIP.

𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮, status tersangka Hasto justru merupakan langkah catur penting untuk menekan Ketum Megawati. Apalagi dengan status tersangka itu, Hasto hanya selangkah dari status tahanan. 

PDIP tentu tidak ingin ikutan gila mengubah AD/ART-nya demi sebentuk toleransi picisan kepada kader kesayangannya yang berstatus narapidana. 

Sekarang Megawati baru sadar bahwa Prabowo tidak bisa ditekan-tekan. Manuver-manuver Hasto yang menimbulkan tekanan “Prabowo tanpa Jokowi”, sekarang berbalik menjadi tekanan “PDIP tanpa Sekjen Hasto Kristiyanto.” 

Sialnya, justru tekanan kedua yang hampir pasti terjadi. Sedangkan Di HUT Gerindra ke-17 kemarin kita menyaksikan sendiri tekanan pertama justru semakin delusional. Bahkan Jokowi diminta berpidato segala— mana lagi pidatonya juga sangat menohok.

Itu sebabnya setelah dari Vatikan, Megawati perlu umroh dulu. Sebab, Hasto memang telah menjadi sekondan politiknya sejak Taufiq Kiemas berpulang di bulan Juni 2013.

Tetapi apakah kita perlu ikutan nyinyir juga: “Kasihan deh Megawati kalau tidak ada Hasto?”

[Josef Herman Wenas - Analis Intelijen]

Topik:

Hasto PDIP