Ungkapan Hati Operator Alat Berat Pencegah Banjir Ditengah Kemewahan Pejabat Dinas SDA DKI

Nicolas
Nicolas
Diperbarui 13 Januari 2023 18:44 WIB
Jakarta, MI - Terik matahari begitu menyengat kulit di salah satu pinggir Kali di kawasan Cipayung Jakarta Timur pada Kamis (12/1/2023) kemarin. Maklum waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB, dimana setiap pekerja baru selesai makan siang kemudian dilanjutkan dengan ngopi sebelum memulai aktivitas selanjutnya. Di hamparan lumpur yang baru diangkat dari Kali, tampak seorang operator backhoe duduk termenung. Operator alat berat itu namanya Jamal umur 54 tahun. Wartawan Monitor Indonesia sengaja menyamarkan nama Jamal dengan alasan kenyamanan agar dia tidak dipecat dari pekerjaanya oleh Unit Alkal, Dinas Sumber Air (SDA) Pemprov DKI Jakarta. Jamal yang asli Betawi itu, saat disambangi Monitor Indonesia sedang sendiri. Dia pesan kopi seharga Rp 3 ribu dari pedagang keliling dan duduk diatas Backhoe. Di depannya tampak mie instan yang diseduh dengan air panas dan siap untuk dilahap. Jamal mengatakan sudah 14 tahun bekerja sebagai operator hexavator di Unit Alkal Dinas Tata Air Jakarta. Sehari dia minimal harus mengangkat lumpur dan membersihkan Kali selama 6 jam. Ia mulai bekerja dari jam 8 pagi hingga pukul 16 sore. Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta dan para pejabat Pemprov DKI yang memiliki kekayaan yang puluhan miliar rupiah, Jamal mengaku tak terlalu silau. Dia hanya ingin setidaknya gajinya cukup untuk memenuhi kebituhan makan keluarganya. Sebagaimana diketahui, Kadis Sumber Daya Air Pemprov DKI Jakarta saat ini Yusmada Faizal memiliki kekayaan lebih dari Rp 16 Miliar lebih, sesuai laporan LHPKN ke KPK baru-baru ini. Kembali ke Jamal, dirinya yang bekerja di sejumlah titik untuk mengeruk Kali hanya dapat gaji kotor Rp 5,3 juta per bulan. Belum lagi dipotong pajak dan lain-lain tentu jumlah yang diterima akan semakin kecil. Belum lagi, gaji sering terlambat dibayarkan unit UPT Alkal yang menjadi naungan dimana lebih dari 200 operator hexavator bekerja mengeruk lumpur di sejumlah kali dan waduk di Jakarta. Jamal mengaku, dalam perjanjian kontrak kerja dengan Dinas SDA Pemprov DKI, mereka hanya bekerja 5 hari. Namun, dalam kenyataannya mereka juga harus bekerja Sabtu dan Minggu walaupun hanya setengah hari. Belum lagi saat banjir menghadang Jakarta, mereka harus stand by untuk bekerja menguras Kali dan Waduk agar dapat menampung air dengan jumlah banyak. Pekerjaan sehari-hari pak Jamal adalah mengangkat lumpur dari kali dan waduk. Operator Backhoe ini bukan tanpa risiko tinggi. Lumpur yang tertimbun banyak bisa saja amblas dan membuat alat berat tenggelam. "Ada juga teman saya yang meninggal saat bekerja. Tapi, bos-bos atas (Dinas SDA) bisa dengan cepat menutupinya. Jadi, enggak banyak orang tahu," ucap Jamal. Jamal mengaku iri dengan operator alat berat seperti dirinya di Dinas Lingkungan Hidup (LH) Pemprov DKI. Walaupun sama-sama bekerja sebagai operator alat berat, namun perbedaan pendapatan bagai bumi dan langit. Dia menuturkan, operator hexavator di Dinas Lingkungan Hidup mencapat Rp 13 juta lebih per bulan. Hampir tiga kali lipat dari gaji operator alat berat di dinas SDA.  "Enggak tahu kenapa gitu ya. Padahal, sama-sama operator alat berat dan pekerjaanya juga sama yakni di kali atau waduk," ucapnya. Operator alat berat di Dinas LH tugasnya mengeruk sampah. Sementara di Dinas SDA mengeruk lumpur di medan yang tak jauh beda. Jamal mengaku, dia dan ratusan teman-temannya sudah pernah ingin berdemo ke DPRD DKI Jakarta untuk menyampaikan aspirasi itu. "Tapi tak jadi karena kami semua diancam (pejabat Dinas SDA) dipecat. Akhirnya kami enggak jadi demo," kenangnya. Operator alat berat di Dinas SDA, hanya bisa pasrah. Yang penting mereka bisa bekerja walaupun dapat gaji ala kadarnya.  "Kami enggak bisa protes dan ngomong. Alasan bos-bos atas kan, masih ada ratusan ribu operator alat berat yang mau bekerja di Dinas SDA," katanya. Dugaan Korupsi BBM  Supriyanto (43 tahun), operator alat berat yang ditemui di sebuah Kali di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur mengaku dirinya hanya bisa pasrah menjalankan alat berat setiap harinya. Dia bercerita bahwa bahan bakar solar untuk BBM hexavator yang dikemudikannya harusnya 200 liter per 2 hari. Artinya setiap hari alat berat yang dikemudikannya hanya disediakan solar 100 liter. Namun, apa dianya. Kadang solar yang diantar oleh pihak Dinas SDA tidak sesuai volume. Dalam satu drum itu biasanya 200 liter, tapi yang kami terima seringkali tidak penuh. Bisa drum sampai sepertiga atau seperempat kosong. "Kami enggak bisa protes. Apa yang dikasih ya itu kami terima. Kalau protes diancam langsung dipecat," ucapnya. Padahal, sesuai Argometer, Supri sapaan akrabnya harus menjalankan alat berat minimal 6 jam setiap hari. Bila kurang dari 6 jam setiap hari maka gaji dipotong sebesar Rp 250.000 per jam. Padahal rata-rata alat berat itu kalau bergerak normal memerlukan BBM 17-19 liter per jam. Artinya Solar bila diberikan benar 100 liter, alat berat bisa bekerja maksimal mengeruk lumpur selama 6 jam. "Namun, solarnya gak nyampe 100 liter, kalau 60-70 liter misalnya, kami hanya bisa operasi alat dengan bekerja penuh hanya 4 jam. Padahal, argometer harus berjalan minimal 6 jam per hari," katanya. Bagaimana cara mengakalinya agar bisa bekerja 6 jam per hari sesuai argometer? Supri mengungkap, cara yang dilakukan adalah dengan menghidupkan mesin backhoe saja tak bekerja. "Kalau hanya hidup aja mesinnya kan tidak terlalu banyak makan solar. Argometer jalan. Kalau alatnya gerak, baru solar-nya normal," ungkapnya. Kadangkala seperti akhir tahun 2022 lalu, solar tidak diantar Dinas SDA selama seminggu. Otomatis, alat berat tidak bisa beroperasi. "Kalau karena solar tidak diantar, ya argometernya disetting. Tapi kalau kami operator enggak berani (melakukan setting ulang argometer)," katanya. Tercatat lebih dari 200 alat berat yang dioperasikan Dinas SDA di sejumlah Kali dan Waduk di Jakarta. Bila 30 liter saja per hari solar "ditilep" oknum pejabat Dinas SDA maka 6.000 liter solar kerugian negara setiap hari. Bila dirupiahkan 6.000×Rp 12.000 maka kerugian negara sudah mencapai Rp 72 juta per hari. Bila setahun anggaran maka total kerugian negara mencapai Rp 25,9 miliar per tahun. Belum lagi perbedaan gaji operator Dinas LH dengan Dinas SDA yang sangat jauh. "Sangat wajarlah pejabat-pejabat DKI itu kaya raya," demikian Supri yang mengaku tak silau melihat harta kekayaan pejabat Dinas SDA. [Tim Redaksi]