Mengulik Fasos Fasum Pemegang SIPPT, Pengembang Green Garden Jual Fasos Fasum ke Pemda?

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 12 April 2023 10:05 WIB
Jakarta, MI - Menindaklanjuti laporan reportase Monitor Indonesia, yang sudah mengurai persoalan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) pemegang SIPPT di Jakarta Raya antara Konsistensi dan Konspirasi. Di mana persoalan ini selalu menjadi temuan BPKP tiap tahunnya yang tidak pernah serius dan tuntas diselesaikan dua dekade pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kuat dugaan konspirasi oknum pejabat di lingkungan pemerintah provinsi ini dengan para pengembang. Karena sejatinya penyerahan fasos dan fasum kewajiban pengembang ini tidak perlu terjadi bila Pemprov DKI Jakarta konsisten dengan peraturan dan ketentuan yang dibuat sendiri, dan ketentuan lain perundang undangan terkait. Jupiter, anggota DPRD DKI Jakarta menjadi salah satu dewan yang mencoba menggali tabir ini. Kader Partai Nasdem muda ini menggali data dan fakta dari kalangan pemerintah daerah, namun ternyata menjadi wakil rakyat tidak diberikan kemudahan mengakses data-data pengembang yang belum menyerahkan fasos dan fasum. Wakil rakyat di Komisi A yang membidangi pemerintahan ini tidak habis akal, keluhan warga penghuni perumahan mewah di Green Garden Jakarta Barat yang sudah puluhan tahun mengeluhkan perlakuan tidak adil dari pemerintah DKI Jakarta kepada mereka, akhirnya dicoba digali kebenarannya. Selasa malam, (11/4) bersama wartawan media ini mengunjungi warga di sana di pos RW 10 Perumahan Green Garden Kelurahan Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Tepat pukul 20.00 WIB, puluhan warga bersama dua ketua RW sudah menunggu wakil rakyat ini. Dari uraian penjelasan ketua RW 10, Pendy Darmawan terungkap bahwa developer perumahan tersebut sama sekali tidak menyerahkan fasos dan fasum ke Pemprov DKI. Baik itu jalan, saluran dan ruang terbuka hijaunya. Dijelaskan lagi bahwa akibat dari itu, perumahan yang luasnya diperkirakan 100 Ha sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari Pemprov DKI. "Semua fasilitas jalan, saluran di sini, kami warga yang urunan merawatnya," ujarnya. "Pemprov DKI beralasan developer belum menyerahkan ke Pemprov sehingga anggaran apapun tidak bisa dialokasikan kekawasan ini. Itulah jawaban yang kami terima tiap kali kami minta penjelasan kepihak kelurahan, kecamatan dan keinstansi terkait lainnya," katanya. "Sedangkan kami semua warga disini taat pajak, bayar PBB tiap tahun. Tapi kami ditelantarkan. Kalau kami tidak dianggap warga Jakarta, kami dibebaskan donk dari kewajiban pajak. Tapi ini kan perumahan sudah 3 dekade (tiga puluhan tahun) begitulah yang sebenarnya," terangnya. Ketua RW 09 Diky Buyung menambahkan, kebingungan pihaknya kepada siapa lagi meminta keadilan sosial akibat ulah pengembang yang tidak bertanggungjawab tersebut. "Kalau kami ke kantornya, keliatannya perusahaan itu sudah gak mau terbuka. PT Kedoya Barat Indah sebagai pengembang perumahan ini masih ada tapi sebelumnya kan PT Taman Bumi Indah, kita gak paham bagaimana itu bisa berganti," katanya. Diky Buyung dan Pendy Darmawan juga menjelaskan tadinya ada lahan kosong kurang lebih 8000 meter2 persis di depan pos RW 10 ini. "Dulu kami pikir itu bagian fasos fasum taman, tapi ternyata tidak. Ini sangat aneh, oleh pemprov DKI Jakarta tanah tersebut dibeli lalu dibangun taman. Lah dalam pikiran kita kok tanah fasos fasum dibeli Pemda?" tuturnya. "Selanjutnya oleh Dinas Pertamanan lokasi tersebut dipagar dan dibangun Taman Maju Bersama seadanya. Tapi saluran keliling taman tersebut tidak dibuatkan yang akhirnya kami warga juga yang merapihkannya, karena penjelasan Dinas Pertamanan bahwa jalan dan saluran lama bukan asset Pemda katanya berdalih," lanjutnya. Mendengar penjelasan dan uraian keluhan warga tersebut, Jupiter menyatakan akan menindaklanjuti informasi ini. "Kita akan upayakan sebaik mungkin, bapak bapak kami harapkan bersabar, kita akan upayakan. Kami akan meneruskan masalah ini ke pak Pj Gubernur," ucap Jupiter. "Kami melihat ada itikad kuat pak Pj Gubernur Pak Heru Budi Hartono mengurus fasos fasum ini," kata Jupiter meyakinkan warga. "Karena baru baru ini pak Pj Gubernur mengekspos serah terima fasos fasos pemegang SIPPT kepada Pemprov DKI, ini satu indikator kuat mengejar fasos fasum dari pengembang," tambahnya. Terkait keluhan bapak bapak warga perumahan ini soal perlakuan pemprov DKI yang hanya menagih kewajiban warga tapi tidak memberikan pelayanan terbaik untuk membangun jalan dan fasilitas publik lainnya, ini menjadi catatan dan PR kami untuk meneruskan permasalahan tersebut kepada instansi terkait", pungkasnya meyakinkan warga. Sementara itu, Uus Kuswanto pagi ini kepada Monitor Indonesia, mengatakan secara detail belum bisa memberikan data konkrit pengembang penunggak fasos fasum di Jakarta Barat karena baru saja mendapatkan penugasan sebagai Walikota di sana. "Jangan dulu, ga enak sy belum dpt penjelasan dari bagian pklh. Namun pada prinsipnya saya akan terus menagih kewajiban pengembang sesuai ketentuan ya bang. Doain aja sy bisa melaksanakan tugas yg baik ya bang, tks 🙏😊," katanya. Sebelumnya diberitakan bahwa penataan Ibu kota setiap masa selalu menarik untuk dibahas. Jakarta sebagai Ibu kota negara, Pusat Pemerintahan, Kota Bisnis dan pariwisata sejatinya menjadi kota yang ramah lingkungan sejajar dengan kota kota besar lainnya dengan negara maju. Kondisi kota modern tersebut mestinya bisa diwujudkan. Manakala pemimpin disetiap masanya konsisten dengan RUTR (Rencana Umumn Tata Ruang) dan peraturan lain yang berkorelasi dengan pembangunan Ibu kota Jakarta. Konsekwensi logis perkembangan pertambahan penduduk tidak boleh alasan kendor dari ketentuan ketentuan yang mengikat. Begitu juga pertumbuhan industri perumahan dan industri lainnya yang tersebar di Jakarta ini semua diatur dengan ketentuan yang sesungguhnya relevan dimasanya. Namun yang menjadi masalah muncul akibat inkonsistensi pemerintah daerah dalam menjalankan ketentuan yang sudah dibuat sendiri dan peraturan perundang undangan yang mengikat. Sejak era tahun 2000-an permasalahan fasos dan fasum yang berasal dari pemegang SIPPT selalu menjadi temuan BPKP. Namun permasalahan ini sepertinya tidak pernah diselesaikan dengan serius. Untuk diketahui bahwa, Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) adalah izin yang diberikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kepada developer atas penggunaan tanah untuk pengembangan suatu kawasan. Ketentuan dan hal-hal terkait surat izin tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2001. Merujuk pada peraturan tersebut, SIPPT diperlukan untuk pengembangan kawasan pada lahan seluas lebih dari 5.000 meter persegi. Artinya, developer yang hendak mengembangkan kawasan dengan lahan di atas 5.000 meter persegi wajib mengantongi surat izin tersebut. Tujuan diterbitkannya surat izin ini adalah, sebagai upaya penertiban penguasaan dan kepemilikan tanah di ibu kota. Selain itu, SIPPT pun berfungsi sebagai jaminan atas perlindungan hukum yang jelas bagi pemilik lahan. Catatan Monitor Indonesia bahwa kusutnya penarikan fasos fasum dari pengembang/developer tersebut bersumber dari Pemprov sendiri. Karena sejatinya SIPPT tersebut hanya satu syarat awal bagi perusahaan untuk menguasai lahan seluas diatas 5000 M2. Selanjutnya dalam melanjutkan kegiatan berikutnya dengan peraturan yang sangat banyak yang harus dipenuhi pengembang harus sudah terlebih dulu menyelesaikan kewajibannya perihal penyerahan fasos dan fasum sebesar 5% dari luas lahan yang dikuasai sesuai SIPPT. Lalu kenapa masalah penyerahan fasos dan fasum seolah dialamatkan kepada pengembang disebut bandel? Lalu dimunculkan lagi alasan dasar hukum mengeksekusi pemilik SIPPT tidak cukup kuat untuk Walikota mengejar aset-aset tersebut sebagai Ketua TP3W (Tim Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Wilayah. Polemik dasar hukum ini oleh DPRD juga seolah diamini. Padalah kalau itu masalahnya, pemprov bisa saja mengeluarkan Pergub (Peraturan Gubernur) atau kalau perlu buatkan Perda (Peraturan Daerah). Selanjutnya Monitor Indonesia juga melihat ada dua klasifikasi aset fasum dan fasos tersebut. Kategori pertama yang dipegang pengembang/developer. Masalah ini sebenarnya bukan hal yang terlalu rumit. Karena fasos dan fasum tersebut hanya pencatatan saja menjadi milik Pemprov DKI. Faktanya bahwa fasos dan fasum tersebut menjadi bagian nilai tambah bagi pengembang meraup untung lebih besar manakala penataan kawasan perumahan ataupun apartemennya tertata rapih. Yang kedua adalah golongan pemegang SIPPT Industri dan Kawasan pendidikan. Dizona inilah problem paling pelik. Dan dibutuhkan satu kebijakan yang benar benar bisa diterima kedua belah pihak. Baik Pemprov maupun pemegang SIPPT. Di kawasan zona kedua inilah Monitor Indonesia melihat peliknya masalah. Terendus ada indikasi main mata antara oknum pemprov DKI dengan pemegang SIPPT. Untuk itulah beberapa pejabat terkait masalah ini berusaha kami gali informasi dan data yang sebenarnya. Di antaranya Walikota Jakarta Timur, Muhammad Anwar, Kepala Dinas Citata (Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan), Heru Hermawanto dan Kepala Inspektorat DKI Saefulloh Hidayat namun hingga saat ini belum memberikan respon. Nirwono Yoga Desak Pemprov DKI Terbuka Sementara itu, Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga berpendapat seharusnya pemprov DKI terbuka atas masalah klasik ini. "Publik berhak tahu berapa luas kewajiban pemegang SIPPT yang belum diserahkan dan siapa saja mereka," katanya. Nirwono Yoga mendesak agar Pemprov DKI Didesak Buka Daftar Pengembang yang tidak menyerahkan fasos fasum. Dijelaskannya juga bahwa Pemprov DKI harus mengumumkan daftar pemegang SIPPT yang belum membangun kewajiban fasos dan fasumnya. Dan memberi tenggat waktu kepada mereka untuk mengklarifikasikannya. "Selanjutnya, apabila lewat tenggat waktu, misalnya akhir 2023, Pemprov DKI dapat mengambil langkah tegas terhadap para pemegang SIPPT yang belum memenuhi kewajiban tersebut dengan menghentikan/membekukan/ membatalkan seluruh proses kegiatan properti pemegang SIPPT tersebut sampai mereka memenuhi kewajibannya tersebut," terangnya kepada Monitor Indonesia, Rabu (5/4). [Sabam Pakpahan]
Berita Terkait