Gubernur Sherly Dinilai Pilih-Pilih dalam Menegakkan Disiplin ASN


Sofifi, MI - Gubernur Malut, Sherly Tjoanda, kini berada dalam tekanan publik menyusul dugaan perlindungan terhadap sejumlah pejabat yang terseret dalam kasus suap. Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir 2023 lalu, yang mengungkap jaringan praktik suap dan gratifikasi melibatkan pejabat struktural di lingkup Pemprov Malut dan beberapa pelaku usaha.
Dalam fakta persidangan yang telah berjalan, beberapa nama pejabat secara nyata mengakui telah memberikan uang kepada almarhum Gubernur AGK. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada tindakan tegas dalam bentuk sanksi etik maupun administratif yang dijatuhkan oleh Pemprov Malut terhadap nama-nama tersebut.
Sikap bungkam Pemprov Malut terhadap indikasi pelanggaran tersebut justru menegaskan kecurigaan publik bahwa telah terjadi pembiaran sistematis, atau lebih parahnya, indikasi itu sengaja dijadikan tameng kekuasaan untuk melindungi pejabat bermasalah dari jerat pertanggungjawaban.
Sementara sikap Gubernur Sherly Tjoanda terlihat sangat responsif dalam kasus yang menimpa Kepala Dinas Perhubungan, Salmin Janidi, terkait laporan dugaan pernikahan tanpa izin, respons terhadap dugaan suap justru terlihat pasif. Keputusan Gubernur untuk segera memberhentikan Salmin dari jabatannya dinilai banyak pihak sebagai bentuk ketegasan yang tidak konsisten.
Kritik tajam dilontarkan Direktur Lembaga Pengawas Independen (LPI), Rajak Idrus. Dalam wawancara dengan Monitorindonesia.com via pesan WhatsApp pada Sabtu (28/6), ia menggugat mandeknya penegakan etik di tubuh Pemprov Malut, yang dinilainya telah berubah menjadi arena kompromi kekuasaan, bukan ruang perbaikan moral birokrasi.
“Seharusnya pejabat yang diduga terlibat suap itu juga diberhentikan, sebagaimana Pak Salmin Janidi,” tegas Rajak.
Ia memandang, tindakan cepat terhadap Salmin memang patut diapresiasi jika didasari semangat penegakan etika, tetapi akan menjadi cacat secara moral jika hanya berlaku selektif. Baginya, pengakuan dalam pengadilan merupakan bentuk kesalahan etik yang serius dan harus diperlakukan dengan adil.
“Apalagi dalam fakta persidangan, mereka sudah mengakui memberikan sesuatu kepada mantan gubernur. Kenapa tidak ada sanksi etik atau administratif?” lanjut Rajak.
Fakta ini menggambarkan betapa lemah dan pasifnya sikap institusi pemerintah jika pengakuan resmi di bawah sumpah tak juga menjadi dasar sanksi. Rajak menekankan bahwa pembiaran ini memberi pesan buruk bagi budaya birokrasi bersih yang sering digaungkan Gubernur Sherly Tjoanda.
“Ini justru terkesan ada upaya perlindungan oleh BKD dan Gubernur terhadap para pejabat tersebut. Jangan cuma berani tampil di media sosial seolah-olah bersih, tapi faktanya tak berani menindak yang nyata-nyata salah,” kritiknya.
Dalam penilaiannya, Rajak menyentil fenomena maraknya pencitraan digital oleh pejabat, yang kerap menutupi kebobrokan birokrasi di dalam. Ia menuding Pemprov Malut terlalu sibuk membangun tampilan luar, tetapi lalai membenahi integritas dari dalam.
“Kalau benar-benar serius ingin pemerintahan yang bersih, maka seluruh pejabat yang terlibat, apalagi sudah disebut di pengadilan, harus diberhentikan sementara. Jangan hanya pak Salmin yang dikorbankan,” tutup Rajak.
Ia menyampaikan bahwa kepemimpinan yang adil tak boleh dipraktikkan secara parsial, apalagi jika tindakan hanya diambil pada kasus yang lemah secara politis dan pribadi.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Aparatur BKD Malut, Husen Albaar, memberikan penjelasan saat diwawancarai di ruang kerjanya di kantor BKD Malut, Sofifi, pada Kamis (26/6). Ia tidak membantah bahwa sejumlah pejabat memang disebut dalam fakta persidangan.
“Dalam fakta persidangan memang beberapa pejabat mengakui memberikan sesuatu atau uang kepada almarhum Gubernur AGK,” ujarnya.
Pengakuan ini, menurutnya, bukan informasi spekulatif, melainkan hasil resmi dari proses hukum yang terbuka untuk publik. Namun, posisi hukum para pejabat tersebut belum mencapai titik yang memberinya dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi.
“Kami tidak ingin mendahului proses hukum. Kalau belum ada status hukum yang jelas, kami tidak bisa seenaknya memberi sanksi,” sambungnya.
Husen menjelaskan bahwa Pemprov Malut memilih untuk menunggu proses hukum berakhir demi menghindari pelanggaran prosedur administratif. Namun, ia juga menyadari bahwa publik menuntut langkah etik, bukan hanya hukum pidana.
“Kami sudah mengantongi salinan putusan yang memuat nama-nama pejabat yang disebut dalam persidangan,” ungkap Husen.
Ia menambahkan bahwa BKD berinisiatif mengumpulkan dokumen tersebut dengan mendatangi langsung pengadilan. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab mereka untuk mengkaji apakah tindakan administratif bisa diterapkan berdasarkan isi putusan.
“Dalam pertimbangan putusan disebut bahwa pemberian dilakukan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan,” jelasnya.
Menurut Husen, ini menjadi alasan utama Pemprov Malut belum bertindak. Para pejabat berdalih bahwa pemberian kepada mantan gubernur adalah bentuk penghormatan, bukan gratifikasi.
“Kami pelajari itu dulu. Ibu gubernur juga meminta waktu. Jadi sekarang kami masih menunggu arahan lebih lanjut,” tambahnya.
Artinya, meski dokumen telah dikaji, tindakan apapun tetap memerlukan persetujuan dari kepala daerah sebagai otoritas tertinggi dalam penegakan disiplin ASN.
Sementara itu, dalam kasus yang menimpa Salmin Janidi, tindakan cepat justru diambil. Masih dalam wawancara pada Kamis (26/6), Husen menjelaskan bahwa laporan tertulis dari istri sah Salmin langsung diproses oleh BKD.
“Kenapa kami cepat proses? Karena ada laporan tertulis dari istri sahnya yang merasa dirugikan,” jelasnya.
Laporan personal semacam ini, kata Husen, langsung memicu mekanisme internal karena menyangkut pelanggaran disiplin yang terang dan tidak memerlukan interpretasi hukum.
“Pelanggaran seperti itu masuk kategori sanksi berat. Tapi sanksi terberat itu adalah pemberhentian sebagai ASN. Pak Salmin hanya diberhentikan dari jabatannya, bukan dari status ASN-nya,” urainya.
Meski bersifat serius, menurut Husen, pelanggaran itu masih dalam kerangka administratif, bukan pidana. Karena itu, Salmin tetap dipertahankan sebagai ASN, meski dicopot dari jabatan struktural.
Menurut Husen, Salmin sempat mendatangi kantor BKD untuk menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan pemberhentian tersebut.
“Pak Salmin menyampaikan, kenapa hanya satu kesalahan ini bisa menghapus seluruh kontribusinya selama ini di pemerintahan,” tutur Husen.
Pernyataan Salmin menunjukkan adanya perasaan ketidakadilan di kalangan ASN. Ia merasa bahwa rekam jejak dan jasa yang telah diberikan selama bertahun-tahun tak mendapat pertimbangan apa pun dalam pengambilan keputusan.
Kini, Salmin ditunjuk menjadi pelaksana tugas di Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Malut.
Kepala BKD Malut, Syam Sofyan, yang juga diwawancarai pada Kamis (26/6), menegaskan bahwa penjatuhan sanksi administratif terhadap pejabat tetap bergantung pada arahan kepala daerah.
“Pak Salmin tidak diberhentikan sebagai ASN. Hanya dari jabatan Kepala Dinas. Sepintas saya baca dalam SK, beliau saat ini ditugaskan di Balitbangda,” kata Syam.
Ia menegaskan bahwa keputusan untuk memindahkan atau mencopot jabatan merupakan diskresi gubernur berdasarkan masukan dari BKD.
“Kalau ada laporan masyarakat atau dari LSM terhadap pejabat terduga suap, maka semuanya harus masuk ke meja gubernur dulu,” ujarnya.
Prosedur ini menekankan betapa sentralnya peran gubernur dalam menentukan apakah suatu kasus akan ditangani oleh BKD atau lembaga lain seperti Inspektorat.
“Kalau itu soal kepegawaian, maka BKD akan memproses sesuai regulasi. Tapi kalau menyangkut keuangan atau kerugian negara, maka Inspektorat yang turun,” tambah Syam. (Jainal Adaran)
Topik:
Gubernur Malut Sherly Tjoanda