Jaminan Sosial Adalah Hak Konstitusional Seluruh Rakyat Indonesia

No Name

No Name

Diperbarui 5 Juli 2023 13:27 WIB
Oleh: Timboel Siregar/Sekjen OPSI Tanggal 16 Juni 2023 lalu Presiden telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) no. 36 tahun 2023 tentang Peta Jalan Jaminan Sosial Tahun 2023 – 2024. Perpres ini mencabut Perpres no. 74 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidan Kesehatan dan Bidang Ketenagakerjaan. Jaminan sosial adalah hak konstitusional seluruh rakyat Indonesia, dan oleh karenanya program jaminan sosial harus melindungi seluruh rakyat Indonesia. Amanat ini disebut pada point Menimbang Perpres No. 36 bahwa penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. dalam rangka memberikan kepastian pelindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peta Jalan Jaminan Sosial ini ditetapkan untuk mewujudkan jaminan sosial berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan yang hanya dapat dicapai bila didukung oleh kerja sama dengan semangat kemitraan antar semua pelaku pembangunan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, swasta, dan Pemangku Kepentingan lainnya. Menurut saya kehadiran Perpres no. 36 tahjn 2023 ini baik, dan target kepesertaan jaminan sosial yang ingin dicapai di 2023 dan 2024 adalah sangat realistis. Dan tentunya pencapaian target tersebut merupakan kerja bersama dari kementerian/lembaga (K/L) dan pemda yang harus saling bersinergi dengan pengelola jaminan sosial yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. Sebenarnya upaya meningkatkan kepesertaan jaminan sosial merupakan upaya yang terus dilakukan sepanjang tahun, yang diakselerasi dengan lahirnya Inpres no. 2 tahun 2021 tentang optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan dan Inpres no. 1 tahun 2022 tentang optimalisasi JKN, namun sepertinya K/L dan pemda yang diinstruksikan kedua Inpres tersebut kurang serius melaksanakan sehingga kepesertaan di program JKN, JKK, JKm, JHT, JP dan JKP tidak naik secara signifikan. Masih banyak pekerja formal dan informal (termasuk pekerja kemitraan seperti ojol), dan pekerja migran yang belum terdaftar di program jaminan sosial, walaupun sudah sangat jelas regulasi mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta JKN, seluruh pekerja formal menjadi peserta JKK, JKm, JHT dan JP, pekerja informal, pekerja kemitraan, pekerja migran dan jasa konstruksi ikut JKK dan JKm serta dapat ikut program JHT. Walaupun regulasi mewajibkan, lahir Perpres no. 36 dengan mentapkan target-target kepesertaan seluruh program jaminan sosial hingga akhir 2024. Saya kira pencapaian target kepesertaan tersebut harus didukung semua K/L dan pemda-pemda dengan terus bekerja sama dengan kedua BPJS. Oleh karenanya penting dilakukan evaluasi Inpres no. 2 Tahun 2021 dan Inpres no.1 tahun 2022 agar tahu apa yang menjadi masalah di lapangan dan mengetahui K/L dan pemda mana saja yang tidak serius mendukung inpres tersebut. Khusus untuk JKN, faktanya banyak masyarakat miskin dan tidak mampu peserta PBI APBN dan APBD yang dinonaktifkan sepihak, peserta mandiri (PBPU dan BP) yang memiliki tunggakan iuran, serta pekerja formal swasta yang tidak dibayarkan iurannya lagi oleh pengusahanya, sehingga mereka tidak dapat layanan JKN lagi Kelompok peserta yang dinonaktifkan disebut bukan peserta lagi sehingga target kepesertaan JKN 98 persen di 2024 akan sangat sulit tercapai. Pemerintah harus mencari solusi agar kelompok peserta yang nonaktif tersebut bisa menjadi peserta aktif lagi sehingga dapat dilayani JKN. Alokasi lebih besar anggaran APBN dan APBD untuk meningkatkan kepesertaan PBI sangat diharapkan, yang selama ini cenderung justru diturunkan. Untuk peserta mandiri seharusnya diberikan kebijakan diskon pembayaran tunggakan iuran, demikian juga harus ditingkatkan peran pengawas ketenagakerjaan guna memastikan seluruh pengusaha mendaftarkan dan membayarkan iuran jaminan sosial bagi pekerjanya. Penting kedua BPJS melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan pekerja formal formal mendaftar sendiri ke kedua BPJS dengan membayar iuran yang menjadi kewajibannya, dan kedua BPJS menagih iuran kepada perusahaan yang tidak mau mendaftarkan pekerjanya ke jaminan sosial. Untuk pekerja kemitraan berbasis digital seperti pekerja ojek online, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan harus mampu memastikan pihak penyedia jasa layanan melalui kemitraan (aplikator) mendafatrakan mitra pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan, sesuai amanat Pasal 34 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 5 Tahun 2021. Kehadiran Perpres no. 36 ini pun menyasar aspek regulasi yang perlu dikaji kembali untuk mendukung peningkatan kepesertaan dan manfaat di Program Jaminan Sosial. Kajian tentang perluasan kepesertaan program Jaminan Pensiun bagi Pekerja Bukan Penerima Upah (mandiri) dan Perorangan, tentunya hal ini sangat baik mengingat Jaminan Pensiun selama ini belum bisa diakses pekerja mandiri atau perorangan. Dengan membuka ruang kepesertaan bagi pekerja mandiri dan perorangan, maka akan semakin banyak masyarakat kita yang memiliki jaminan pensiun untuk masa tuanya. Pekerja formal yang mengalami PHK akan dapat melanjutkan kepesertaannya di Jaminan Pensiun sehingga persyaratan minimal 15 tahun mengiur untuk mendapatkan manfaat pasti dengan mudah dipenuhi. Revisi PP No. 45 Tahun 2015 dapat memasukkan norma tentang kepesertaan pekerja mandiri dan perorangan di program Jaminan Pensiun. Semoga kehadiran Perpres no. 36 Tahun 2023 ini mampu meningkatkan kepesertaan di seluruh program jaminan sosial sehingga seluruh rakyat Indonesia akan terlindungi sepanjang hayat.