Saling Lempar Tanggung Jawab soal UKT - 'Pendidikan masih gunakan mekanisme pasar'

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 11 Mei 2024 15:07 WIB
Enggak mungkin kampus tanpa koordinasi dengan Kemendikbudristek soal UKT, jangan cuci tangan (Foto: Dok MI/Net/Ist)
Enggak mungkin kampus tanpa koordinasi dengan Kemendikbudristek soal UKT, jangan cuci tangan (Foto: Dok MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Menghadapi protes mahasiswa soal biaya pendidikan tinggi, perguruan tinggi negeri seperti Universitas Sumatera Utara (Unsut) dan Universitas Riau (Unri) berulang kali menyatakan bahwa mereka hanya menjalankan peraturan baru pemerintah.

Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) justru mengatakan kebijakan soal uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) ada di tangan kampus. Sejumlah pengamat menilainya 'saling lempar tanggung jawa'.

"Jadinya saling lempar tanggung jawab. Pemerintah itu kan memang harus menghargai otonomi kampus, tetapi juga pemerintah harus ingat bahwa pendidikan tinggi itu masih menjadi tanggung jawab pemerintah," kata pengamat pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema dikutip pada Sabtu (11/5/2024).

Terlebih lagi, UKT dan IPI yang diusulkan masing-masing perguruan tinggi negeri, khususnya yang berbadan hukum, bisa terbit setelah melalui proses konsultasi dengan pemerintah.

Sementara, Abdullah Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan "Enggak mungkin kampus itu tanpa koordinasi dengan Kemendikbudristek. Kemendikbudristek ya jangan cuci tangan".

Menurutnya, peraturan baru soal biaya operasional pendidikan di perguruan tinggi jelas telah memicu penolakan dari mahasiswa berbagai kampus, apalagi mempertimbangkan kenaikan UKT yang mereka mesti hadapi.

"Kalau ini kejadiannya di banyak kampus, berarti ini ada problem di sistem pusatnya, yaitu Permendikbudristek. Jadi itu harus direvisi, harus didialogkan kembali, diuji publik bagaimana seharusnya menentukan UKT yang lebih bisa dijangkau oleh mahasiswa," jelasnya.

Masalah besar biaya PTN
Selain itu, Ubaid menilai ada masalah lebih besar di mekanisme pembiayaan perguruan tinggi, utamanya terkait usaha pemerintah mendorong kehadiran lebih banyak perguruan tinggi berbadan hukum (PTN BH).

Pada awal 2020, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengumumkan paket kebijakan Kampus Merdeka, yang salah satunya fokus mendorong sebanyak mungkin perguruan tinggi negeri agar bisa berbadan hukum.

Saat ini, ada 21 PTN BH di Indonesia. Dengan berbadan hukum, mereka memiliki otonomi penuh atas aset, keuangan, dan sumber dayanya. PTN BH, misalnya, bisa memanfaatkan secara langsung dana dari masyarakat seperti uang kuliah, sumbangan, dan hibah.

Beda halnya dengan PTN berstatus badan layanan umum (BLU), yang hanya punya otonomi untuk mengelola pendapatan non-pajak mereka. Bahkan, PTN berstatus satuan kerja kementerian harus menyetor seluruh pendapatannya ke negara dulu sebelum bisa menggunakannya.

Lebih lanjut, PTN BH diizinkan membuka jalur seleksi mandiri sebesar 50% dari daya tampung mahasiswanya. Nadiem berharap, dengan menjadi PTN BH, kampus dapat bergerak lebih leluasa, termasuk untuk berkontrak dengan pihak ketiga.

Dengan sumber daya dan kemampuan keuangan lebih baik, PTN BH pun diharapkan bisa memberikan lebih banyak beasiswa kepada mahasiswa. 

Lembaga bisnis?
Namun, Ubaid mengatakan pola pikir semacam ini akhirnya mendorong perguruan tinggi berubah dari lembaga sosial menjadi lembaga bisnis berorientasi profit.

"Perguruan tinggi juga jadi pertimbangannya untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Pertimbangannya, ini profit apa enggak? Ketika enggak profit, ya enggak perlu dilakukan gitu," bebere Ubaid.

Mau tidak mau, tetap harus ada peran dari pemerintah untuk membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk masuk ke perguruan tinggi. "Karena pendidikan ini adalah bagian dari public good, maka pemerintah harus memberikan pembiayaan, mensubsidi PTN-PTN itu sehingga mampu meningkatkan akses. Bagaimana Indonesia Emas 2045 bisa dicapai kalau orang kuliah saja tidak bisa, kalau kuliah hanya untuk anaknya orang-orang kaya?"

APBN tulang punggung PTN
Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) M. Budi Djatmiko mengatakan, kenaikan UKT itu tidak serta-merta berdampak ke kampus swasta. Karena masyarakat secara umum mengejar PTN.

Jadi, meski ada kenaikan biaya kuliah di kampus negeri, masyarakat akan tetap mengejarnya. Meski begitu, dia menyayangkan terjadinya ribut-ribut kenaikan UKT di PTN. Dia mengatakan, PTN itu adalah kampus negara. 

Sehingga ketika ada kenaikan biaya kuliah, seharusnya APBN menjadi tulang punggungnya. Bukan dibebankan kepada masyarakat melalui kenaikan UKT. Budi mengatakan, PTN sudah seharusnya kembali ke fitrahnya. 

Yaitu, merekrut mahasiswa baru dengan mengutamakan kualitas. Tidak seperti sekarang, hampir seluruh kampus negeri menambah daya tampung sebanyak-banyaknya. "PTN ini sudah seperti pukat harimau," katanya. 

Dia mencontohkan, sekitar 15 tahun lalu, kampus bekas IKIP seperti Universitas Negeri Surabaya (Unesa) atau Universitas Negeri Semarang (Unnes) memiliki daya tampung sekitar 2.000 mahasiswa saja. Tetapi, sekarang daya tampung Unesa membeludak hingga mencapai 17.130 orang.

Budi mengatakan, salah satu indikator kelemahan PTN sekarang adalah meski jumlah mahasiswanya banyak, ranking dunianya tidak bergerak. Tidak ada yang bisa mencapai 100 besar dunia. 

Dia menegaskan, orientasi PTN menerima mahasiswa baru sekarang adalah kuantitas, bukan kualitas. Menurut Budi, untuk kesinambungan PTS di Indonesia, sejatinya tidak melulu soal kucuran anggaran. Dia bahkan menegaskan PTS tidak perlu diberi uang.

Dia juga meluruskan stigma bahwa kuliah di PTS itu mahal. Menurut dia, PTS yang menetapkan biaya kuliah mahal hanya sekitar 5 persen. ’’PTS yang mahal itu hanya sedikit. Di Surabaya yang mahal itu paling UK Petra, Ubaya, dan Ciputra,’’ tuturnya. 

Rata-rata biaya kuliah di kampus-kampus itu bisa jadi sekitar Rp 15 juta/semester. Budi juga prihatin dengan kondisi sekarang bahwa PTN banyak diisi anak-anak dari orang mampu. 

Pasalnya, sejak jenjang SMP bahkan SD, mereka sudah diikutkan les. Sehingga peluang lolos seleksi PTN lebih besar dibandingkan anak-anak dari keluarga pas-pasan yang tidak ikut les.

Karena itu, walaupun UKT di PTN dinaikkan, sejatinya tidak terlalu bergejolak secara umum. Sebab, isinya PTN anak-anak dari keluarga kaya. 

Apa kata Kemendikbudristek?
Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek Abdul Haris memberikan penjelasan soal kenaikan UKT di PTN umum. 

Dia mengatakan, penetapan UKT harus dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua, atau pihak lain yang membiayai. "Asas berkeadilan menjadi kunci," katanya. 

Salah satu kontrol Kemendikbudristek dalam penentuan UKT adalah mewajibkan adanya kelompok UKT golongan I sebesar Rp 500 ribu/semester dan UKT golongan II sebesar Rp 1 juta/semester. 

Untuk UKT golongan berikutnya, pimpinan PTN atau PTN BH menetapkan UKT maksimal sesuai dengan patokan biaya kuliah tunggal (BKT). Jadi, BKT yang dibuat Kemendikbudrsitek itu seperti batas atas besaran UKT. 

"Kemendikbudristek senantiasa memperhatikan dan mendengar dengan saksama seluruh keluhan dan masukan masyarakat," katanya. 

Untuk itu, dia menegaskan, Kemendikbudristek secara serius mengawasi penetapan UKT di seluruh PTN supaya sesuai dengan aturan dan menerapkan asas berkeadilan. Pun dia meyakini PTN maupun PTN BH tetap memberikan ruang kesempatan dan bantuan bagi mahasiswa yang mempunyai kendala finansial. 

Pendidikan masih gunakan mekanisme pasar
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menilai, kenaikan UKT yang melonjak tajam itu menunjukkan sistem pendidikan Indonesia yang masih menggunakan mekanisme pasar. 

Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. ”Ini yang saya sebut neoliberalisme pendidikan. Negara kapitalis saja nggak melempar sistem pendidikan ke mekanisme pasar loh. Kita malah sebaliknya,” ungkapnya.

Dia menyayangkan sikap Kemendikdbudristek yang seolah cuci tangan dengan kondisi tersebut. Padahal, negara harus bertanggung jawab atas pendidikan warganya. 

Terlebih untuk keluarga yang berada di kalangan ekonomi menengah, yang disebut miskin, tapi tidak miskin-miskin banget dan kaya pun tidak. ”Ini justru yang paling dirugikan karena nggak dapat bantuan apa-apa. Imbasnya, anak yang nggak kuliah,” tuturnya. 

Menurut dia, jika dibandingkan dengan skema pembiayaan di universitas di luar negeri, 70 persen operasional kampus berasal dari dana riset dan 30 persen dari UKT mahasiswa. 

Sementara, di Indonesia kebalikannya. Dana riset tak ada sehingga semuanya dibebankan kepada masyarakat. ”Jangan heran kalau akhirnya setiap tahun UKT naik terus.

Apalagi modelnya PTN BH, itu betul-betul pemerintah melepas subsidi kampus ini dan disuruh mencari duit sendiri,” ungkapnya. Karena itu, dia menilai pemerintah harus mengubah arah sistem pendidikan di Indonesia. 

Pendidikan tinggi harus didesain sebagai pusat riset. Sehingga, kampus bisa berkembang sesuai dengan tuntutan tanpa harus mencekik mahasiswa lewat UKT yang terlampau mahal.