Anggap Petitumnya Irasional, Politikus PKB Ini Yakin MK Bakal Tolak Gugatan UU Pemilu

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 5 Januari 2023 16:19 WIB
Jakarta, MI- Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Diketahui, sejumlah pihak telah mengajukan uji materi atau judicial review terhadap pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umumke Mahkamah Konstitusi (MK). "Saya haqqul yakin, MK tidak akan mengabulkan sebagian atau keseluruhan dari petitum yang diajukan para penggugat," ucap Luqman di Jakarta, Kamis (5/1/2023). Menurutnya, para penggugat tak paham soal kepemiluan, hal itu terlihat dari gugatan yang disampaikannya dinilai tak masuk akal. "Setelah mencermati seluruh Petitum yang diajukan, saya menilai para penggugat bersama kuasa hukum yang mereka tunjuk, kurang memiliki penguasaan ilmu kepemiluan, gagal memahami alur pemilu, sehingga Petitum yang mereka ajukan terlihat irrasional, absurd dan kacau," sindirnya. Luqman menilai, apabila petitum yang diajukan penggugat dikabulkan MK, maka akan terjadi kekacauan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dikarenakan penggugat meminta agar Pasal 420 UU Pemilu huruf (c) diubah menjadi “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan nomor urut.” Adapun naskah asli UU berbunyi: “Hasil pembagian sebagaimana dimaksud pada huruf b diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak”. Kemudian, para penggugat mengajukan agar Pasal 420 huruf (d) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Naskah asli huruf (d) Pasal 420 UU Pemilu ini berbunyi: “nilai terbanyak pertama mendapat kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua, nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga, dan seterusnya sampai jumlah kursi di daerah pemilihan habis terbagi.” Luqman menjelaskan, pasal 420 UU Pemilu ini mengatur tatacara konversi suara menjadi kursi partai politik di satu daerah pemilihan dengan metode Sainte Lague, yakni suara sah yang diperoleh setiap partai dibagi dengan bilangan ganjil mulai dari 1, 3, 5, 7 dan seterusnya. "Perhitungan ini untuk menentukan apakah partai politik berhak mendapatkan alokasi kursi parlemen dan berapa jumlah kursi yang berhak diperoleh," paparnya. Oleh karena itu, kata Lukman, yang berhak atau tidaknya partai politik mendapatkan kursi parlemen didasarkan pada nilai terbanyak hasil suara sah partai politik yang telah dibagi dengan angka 1, 3, 5, 7 dan seterusnya dan bukan didasarkan pada nomor urut partai politik. "Di sini, terlihat para penggugat mengalami lompatan logika, terburu-buru, tidak cermat, tidak memahami alur pemilu sehingga mengalami kekacauan pemahaman dari substansi aturan pembagian kursi kepada partai politik tiba-tiba lompat kepada siapa calon yang berhak menempati kursi tersebut," kata Luqman. Luqman kembali menegaskan, menghapus huruf (d) Pasal 420 ini, akan menyebabkan kebuntuan dan kekacauan pemilu, karena tidak ada lagi aturan yang menjadi pedoman bagaimana membagi kursi parlemen kepada partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan. "Dengan demikian, jika MK mengabulkan petitum para penggugat terhadap Pasal 420 huruf (c) dan (d), maka Pemilu 2024 mendatang tidak bisa menghasilkan kursi parlemen bagi semua partai politik peserta pemilu. Kacau, ‘kan," tegasnya. Kendati demikian, Luqman percaya dengan keilmuan dan integritas hakim-hakim MK. Para hakim MK pasti memahami dengan komprehensif seluruh petitum yang diajukan para penggugat dan akibat-akibat apa yang akan ditimbulkan bagi pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. "Dengan demikian, maka pelaksanaan pemilu 2024 tetap akan menggunakan sistem proporsional terbuka. Tidak akan berubah menjadi proporsional tertutup sebagaimana keinginan para penggugat," pungkasnya.
Berita Terkait