Hamdan Zoelva Sebut Sistem Proporsional Terbuka Bikin Kuasa Uang dan Oligarki Menguat 

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 16 Januari 2023 00:26 WIB
Jakarta, MI - Gugatan uji materiil Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu di MK sedang berproses. Dari 6 Pemohon gugatan, salah satunya adalah kader PDIP, yang meminta Hakim Konstitusi memutuskan norma tentang sistem proporsional terbuka itu melanggar UUD 1945, dan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. Terkait hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa sudah waktunya pemerintah Indonesia kembali melaksanakan pemiliham umum (Pemilu) dengan sistem proporsional tertutup. Pasalnya, kata dia, berdasarkan pengalaman sebanyak empat (4) kali pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbukti tidak juga memberikan dampak perbaikan bagi akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Demikian juga akuntabilitas wakil rakyat yang terpilih yang diharapkan menjadi keunggulan dari sistem proporsional terbuka, menurutnya, juga tidak terbukti. "Justru yang terbukti adalah kuasa uang dan oligarki menjadi lebih kuat. Hal itulah yang dihawatirkan oleh para founding fathers/mothers bahwa sisitem demokrasi liberal melanggengkan kekuasaan kapitalisme," kata Hamdan melalui cuitannya di Twitter dikutip Monitor Indonesia, Senin (16/1). Hamdan menjelaskan, kuasa uang dan oligarki menguat karena dua hal itu menjadi kekuatan utama untuk memenangkan pemilu dalam sistem proporsional terbuka. "Ketergantungan kepada uang dan oligarki untuk menang ini selanjutnya membuat para anggota dewan bernafsu untuk mengembalikan modal ketika menjabat, yang pada akhirnya membuat banyak legislator terlibat kasus korupsi," bebernya. Karena kuasa uang dan modal untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu, lanjut Hamdan, maka tidak bisa dihindari nafsu mengakumulasi modal ketika menjabat, berakibat terbukti banyaknya wakil rakyat yang harus berurusan dengan korupsi dan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sistem proporsional terbuka ini juga sangat rumit, tandas Hamdan, sangat berat bagi para penyelenggara pemilu dan pemborosan uang negara karena biaya yang besar tidak bisa dihindari. "Dengan sistem proporsional tertutup, proses pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi lebih sederhana, biaya lebih murah, prinsip demokrasi tetap dipertahankan. Akuntabilitas pemerintah tetap bisa dijaga," jelas mantan anggota DPR periode 1999-2004, yang terpilih lewat sistem proporsional tertutup itu. Masalahnya, kata Hamdan, hanya kekhawatiran atas dominasi partai dalam menentukan nomor urut yang harus diantisipasi dengan demokratisasi internal parpol dengan menjadikan parpol sebagai badan hukum milik publik, bukan milik elit partai. "Parpol harus transparan dan diaudit BPK," tegasnya. Lebih lanjut, Hamdan menilai, dengan perubahan sistem ke proporsional tertutup, dapat memberi jalan bagi penyederhanaan penyelenggaraan pemilu yang sekarang seperti sebuah organisasi pemerintahan tersendiri dengan biaya luar biasa. "Dengan sistem proporaional terbuka yang melanggengkan oligarki, tidak memungkinkan untuk mewujudkan demokrasi dan keadilan ekonomi yang dicita-citakan oleh konstitusi," demikian cuitan Hamdan melalui Twitter pribadinya @hamdanzoelva. (Awak media telah diberikan izin untuk mengukutip cuitan tersebut) Sebagaimana diketahui, bahwa sebanyak delapan (8) partai parlemen dan PSI mendukung sistem proporsional terbuka alias menolak tertutup. Sedangkan PDIP dan Partai Bulan Bintang (PBB) mendukung sistem proporsional tertutup. Sejumlah partai dari kedua kubu tersebut kini mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam sidang MK agar putusan hakim sesuai dengan keinginan kelompok masing-masing. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang lanjutan atas gugatan uji materi sistem pileg ini pada Selasa (17/1/2023) depan. Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan perkara itu, MK akan meminta keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait KPU. (MI/An)