Jelang Pemilu 2024, Pengamat Sebut Kegaduhan Politik Sudah Mulai Muncul

Nurul Fadhila
Nurul Fadhila
Diperbarui 15 Januari 2023 22:36 WIB
Jakarta, MI - Pemilu serentak akan digelar pada 14 Februari 2024 dan Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang. Tahapan Pemilu 2024 juga sudah mulai berjalan. Terkait hal tersebut, Pengamat Politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus menilai adanya kegaduhan politik yang mulai terjadi di jelang Pemilu 2024 merupakan hal lumrah. Menurutnya, kegaduhan politik yang terjadi jelang Pemilu 2024 menjadi bagian dari sosialisasi partai politik, khususnya parpol baru. "Hampir setiap tahapan sejak di pendaftaran partai politik kegaduhan itu sudah mulai muncul. Saya kira ini hal biasa, karena kalau tidak gaduh lalu dengan apa kemudian Pemilu 2024 itu disosialisasikan. Jadi saya pikir ini bagian dari sosialisasi khususnya bagi parpol baru," kata Lucius Karus dalam keterangan tertulis yang diterima Monitor Indonesia, Minggu (15/1). Selain menjadi ajang sosialisasi parpol baru, kegaduhan politik yang terjadi saat ini kata Lucius Karus merupakan buntut dari akan dilaksanakannya dua kali pesta demokrasi pada 2024 yakni Februari 2024 untuk Pemilu Presiden dan Pemilihan Legislatif, serta pada November 2024 berlangsung pemilihan Kepala Daerah Serentak "Saya pikir juga ini kan memang ada yang luar biasa di 2024 dalam setahun kita menghadapi dua event Pemilu jadi saya kira semangat itu juga yang membuat orang kemudian sejak awal bersemangat menyambut tahun 2024," tuturnya. Hal lain yang membuat gaduh tahapan Pemilu 2024, lanjut Lucius Karus yakni banyak orang yang berharap terhadap panggung 2024. Lucius Karus menjelaskan, hal tersebut terjadi ketika pihak incumbent yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat ini sudah tidak bisa lagi ikut dalam ajang pesta demokrasi ini. Sehingga kata dia, banyak orang memiliki kepentingan untuk menggaduhkan. "Ketika presidennya sekarang tidak bisa maju kembali, lalu banyak orang kemudian mulai berharap panggung 2024 itu menjadi miliknya. Sehingga begitu banyak orang yang punya kepentingan untuk menggaduhkan," papar Lucius Karus. "Selain dari sisi persiapan juga saya kira penyelenggaraan juga mungkin memang belum cukup terkonsolidasi sehingga banyak yang keteteran," sambungnya. Kontroversi Sementara itu, Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti mengatakan, kegaduhan politik saat ini memang telah terjadi. Namun lanjutnya, kencangnya keriuhan tahapan Pilpres 2019 ini masih pada tahap yang dapat diprediksi. "2014, 2019 (kegaduhan) ada kencangnya juga ya tapi itu pada sesuatu yang dapat terprediksi. Misalnya kata Ray Rangkuti penetapan partai politik peserta pemilu itu sudah bisa diduga, karena akan ada yang didiskualifikasi, macam-macam dan seterusnya. "Kemudian nanti soal penetapan capres dan cawapres, penetapan caleg itu biasanya memang akan mengundang berbagai keriuhan," kata Ray Rangkuti. Lanjut Ray Rangkuti, jika dibandingkan dengan kericuhan yang terjadi saat ini, kegaduhan politik yang terjadi pada tahapan Pemilu 2024 ini sudah lebih dari sekedar riuh rendah. Namun kata dia, sudah sampai pada tahap kontroversial. Ray Rangkuti mencontohkan, salah satunya terjadi pada tahapan penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Menurut Ray Rangkuti, KPU belum dapat memberikan penjelasan yang dapat meyakinkan publik terkait penetapan Parpol Peserta Pemilu. Menariknya, lanjut Ray Rangkuti karena data-data yang disampaikan ini oleh para pegiat pemilu, tidak bisa diabaikan begitu saja oleh KPU. Pasalnya, data tersebut dapat diambil dari para pelaksana pemilu di tingkat daerah. "Umumnya mereka yang mengaku bahwa terjadi saat itu perintah yang ditekankan kepada KPU Kabupaten untuk merubah hasil verifikasi faktual yang sudah dilakukan, dari yang sebenarnya tidak lolos menjadi polos sehingga masuk menjadi masuk," ungkap Ray Rangkuti, Selain itu, Ray Rangkuti menilai sikap KPU berjalan sendiri. Hal itu, kata Ray Rangkuti, terlihat dari pernyataan Ketua KPU, Hasyim Asyari terkait sistem pemilihan proporsional terbuka atau tertutup. "Kami paham niatnya untuk menahan parpol untuk bersosialisasi karena perubahan aturan dari pemilihan terbuka ke tertutup masih diproses di MK, tapi ada kesan KPU lebih berpihak kepada salah satu sistem tertentu, yang itu adalah tertutup yang umumnya ditolak oleh publik," pungkasnya. (MI/Nur)