Di Tengah Likuiditas Berlebih, Anggota DPR Minta Perbankan Tak Naikkan Suku Bunga Kredit ke Sektor UMKM

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 21 Januari 2023 20:45 WIB
Jakarta, MI- Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa likuiditas industri perbankan saat ini berlebih. Selaras dengan data BI, berdasarkan data lembaga keuangan lainnya yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) likuiditas industri perbankan berlebih. Mengacu pada data OJK terkait likuiditas perbankan berlebih bisa dilihat dari sejumlah fasilitas yang ditawarkan perbankan. Pertama, untuk fasilitas kredit misalnya di tahun 2020 angkanya ada di 5.482. Desember 2021 angkanya ada di 5.769. Oktober 2022 angkanya ada di 6.334. Nopember 2022 angkanya ada di 6.347. Kedua, dana pihak ketiga (DPK) rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 6.665. Desember 2021 angkanya ada di 7.479. Oktober 2022 angkanya ada di 7.927. Nopember 2022 angkanya ada di 7.974. Ketiga, Loan to Deposit Ratio (LDR). Rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 82,24. Desember 2021 angkanya ada di 7,13. Oktober 2022 angkanya ada di 79,9. Nopember 2022 angkanya ada di 7,9. Keempat, Alat Likuid rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 2.111. Desember 2021 angkanya ada di 2.627. Oktober 2022 angkanya ada di 2.335. Nopember 2022 angkanya ada di 2.426. Kelima, Alat Likuid (AL) Terhadap non core deposit (NCD). Rinciannya adalah Desember 2020 ada di angka 146,72. Desember 2021 angkanya ada di 157,94. Oktober 2022 angkanya ada di 130,17. Nopember 2022 angkanya ada di 134,97. Keenam, Alat Likuid (AL)/DPK. Rinciannya adalah Desember 2020 angkanya ada di 31,67. Desember 2021 angkanya ada di 35,12. Oktober 2022 angkanya ada di 29,46. Nopember 2022 angkanya ada di 30,42. Menanggapi hal tersebut, Assc Prof Darmadi Durianto mengatakan, industri perbankan mestinya menjadikan data kedua lembaga itu sebagai acuan dalam menentukan kebijakan suku bunga kredit. Bahkan, kata dia, berdasarkan catatan regulator keuangan (BI) perbankan menaikkan suku bunga kredit sebesar 21 basis poin (bps). Di tengah kenaikan suku bunga kredit, dilain sisi BI sebelumnya juga menaikkan suku bunga acuan hingga 225 bps. Saat BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps, perbankan merespons dengan menaikkan suku bunga deposito sebesar 108 bps. "Suku bunga kredit perbankan yang sebesar 21 bps saat ini justru tak mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi," ucap Darmadi. Padahal, menurutnya, pertumbuhan kredit merupakan elemen penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi negara. "Mestinya perbankan (Himbara) mampu menganalisis psikologi pasar dengan cermat dan prudent. Jangan hanya karena kejar serapan, kebijakan yang diambil justru tak efektif," tandas Anggota Komisi VI DPR RI. Darmadi menambahkan, kenaikan suku bunga kredit perbankan tidak relevan diterapkan di tengah berbagai indikator ekonomi masyarakat yang melemah. "Mestinya membuat kebijakan yang sifatnya relaksasi dan restrukturisasi terhadap fasilitas kredit bukan naikan suku bunga kredit, itu opsi yang kurang relevan. Jika instrumen ini yang digenjot, efek dominonya pertumbuhan ekonomi masyarakat akan meningkat. Daya beli masyarakat saat ini kan melemah dan belum pulih, belum lagi persoalan inflasi dan efek ketidakpastian ekonomi global," ucap Pakar Ekonomi dari Wiyatamandala Business School itu. Ia menyarankan agar industri perbankan memfokuskan likuiditas berlebihnya itu untuk kepentingan ekonomi riil. "Misalnya disalurkan ke Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit hijau dan sektor-sektor riil dan padat karya lainnya," ucap dia. Yang jelas, kata dia, kenaikan suku bunga kredit hanya akan menambah beban bagi para pelaku UMKM. "Sektor UMKM jelas akan terguncang jika industri perbankan menaikkan suku bunga kredit. Mestinya mereka ditopang oleh industri perbankan agar ekonomi tetap terjaga dan tumbuh. Yang jelas, kenaikan suku bunga kredit bukan opsi yang mencerahkan justru sebaliknya," pungkasnya.

Topik:

likuiditas