Wakil Ketua MPR RI Kritik Pernyataan Salah Satu Hakim MK Soal Pemilu Hybrid

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 10 April 2023 22:58 WIB
Jakarta, MI- Wacana sistem pemilihan umum (pemilu) dibuat secara hybrid sebagaimana dinyatakan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mendapat kritik tajam dari Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid. Menurut pria yang akrabb disapa HNW itu, pernyataan Hakim MK itu tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi hakim konstitusi, yakni untuk menguji konstitusionalitas norma. "Tugas MK itu adalah memutus apakah norma yang sedang diuji itu apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Atau dengan kata lain, menguji konstitusionalitas suatu norma. Maka mestinya yang disikapi adalah apakah permohonan agar sistem Pemilu diubah dari terbuka menjadi tertutup itu sesuai dengan Konstitusi (UUD NRI 1945) atau tidak?" kata HNW dalam keterangannya, Senin (10/4/2023). Menurutnya lagi, Hakim MK tidak perlu membuat wacana sistem yang tidak ditanyakan yaitu hybrid dengan mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon presiden dan anggota DPD, dan tertutup untuk pemilu legislatif. "Sesuatu hal yang juga sudah dilaksanakan pada pemilu tahun 2004, yang oleh MK diubah menjadi semuanya dengan sistem terbuka sejak pemilu tahun 2009 hingga 2019," jelasnya. Adapun terkait sistem mana yang lebih relevan, HNW berpandangan, sebaiknya hal itu diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang sebagai wujud dari open legal policy yang biasanya menjadi pegangan dasar sikap MK. "Jadi, MK sebaiknya cukup menegaskan bahwa sistem pemilu terbuka yang berlaku saat ini bagaimana dari segi konstitusionalitasnya. Bukan justru mengusulkan sistem yang lain, yang tidak diusulkan oleh para pemohon," tandasnya. Menurutnya, jika saja MK konsisten dengan putusannya pada tahun 2008 yang lalu, maka sudah selayaknya permohonan pengujian sistem pemilu terbuka ini ditolak. Pasalnya sejak awal, MK justru menyatakan sistem pemilu terbuka yang lebih sejalan dengan ketentuan UUD NRI 1945. Sekali lagi, kata dia, upaya memperbaiki sistem pemilu dengan metode hybrid sebaiknya diserahkan kepada lembaga pembentuk Undang-Undang, yaitu DPR dan pemerintah. "Misalnya, ada usulan hybrid dengan suara caleg yang mencapai suara 30% maka ditetapkan sebagai caleg terpilih. Namun, apabila suara partai yang mencapai 30% ke atas, maka partai yang menentukan caleg terpilih," katanya. Menurutnya, model-model dengan sistem hybrid membutuhkan kajian dan diskusi yang mendalam. Karenanya, proses revisi UU Pemilu di DPR menjadi forum yang tepat untuk mendiskusikan hal tersebut. "Jadi, bukan persidangan di MK untuk forum mendiskusikan hal tersebut. Karena ini bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Forum yang tepat untuk mendiskusikannya adalah di DPR, bersama dengan Pemerintah dengan melibatkan publik dan mengundang banyak pakar," pungkasnya.  
Berita Terkait