Di Kemenkeu, Transaksi Siluman Rp 349 Triliun 'Dicuci' Seolah Ilegal?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 31 Juli 2024 2 jam yang lalu
Jika TPPU itu memang ada, sesuai pernyataan Mahfud. Jika tidak ada penindakan, dari awal untuk apa juga ada satgas, hanya buang-buang anggaran saja. (Foto: Kemenkeu/Dok MI)
Jika TPPU itu memang ada, sesuai pernyataan Mahfud. Jika tidak ada penindakan, dari awal untuk apa juga ada satgas, hanya buang-buang anggaran saja. (Foto: Kemenkeu/Dok MI)

Jakarta, MI - Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang saat ini dipimpin Sri Mulyani Indrawati (SMI) Rp 349 triliun tak terdengar lagi kabarnya. Aparat penegak hukum sepertinya terlalu fokus pada kasus yang saat ini menyeruak ke publik. Ataukah memang ada kesulitan mengungkap siapa tersangkanya?

Nilai transaksi siluman Rp 349 triliun itu terlalu besar, kalah daripada kasus dugaan korupsi timah Rp 300 triliun yang ditangani penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung).

Meski begitu, jangan sampai ada uang haram yang dibiarkan dicuci melalui berbagai transaksi keuangan sehingga seolah-olah menjadi legal.

"Kasus ini tidak boleh dibiarkan dan menguap begitu saja tanpa tindak lanjut dan pengusutan secara tuntas, kita punya Polisi, Kejaksaan dan KPK. Satgas yang dibentuk dulu kerjanya ngapain saja?," tegas Hikmat Siregar, Direktur Investigasi Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) kepada Monitorindonesia.com, Rabu (31/7/2024).

TPPU Rp 349 Triliun Kemenkeu
Hikmat Siregar (Foto: Dok MI)

Hikmat pun berharap Satgas TPPU yang sempat dibentuk Mahfud Md bisa transparan, profesional, akuntabel, responsif, serta membuka ruang yang cukup terkait dengan partisipasi publik. "Kita tunggu hasil baik dari niat pemerintah ini," katanya.

Buang-buang anggaran?

Pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih menilai memang tidak ada keseriusan dari pemerintah, dalam hal ini Mahfud MD selaku menko polhukam saat itu untuk mengusut tuntas kasus ini. 

Padahal, Mahfud saat itu memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk menyelesaikan dugaan TPPU di Kemenkeu itu.

"Dari awal saya sudah tidak setuju dengan adanya satgas, karena satgas tugasnya hanya supervisi. Justru yang terpenting itu harus ada penindakan. Nah, sayangnya hingga Satgas TPPU itu selesai masa tugasnya, kita tidak melihat adanya penindakan yang jelas," kata Yenti belum lama ini.

Ketua Pansel Capim KPK 2019-2023 ini pun menyayangkan kasus TPPU Kemenkeu ini seolah menguap begitu saja. Seharusnya, ada tindak lanjut yang jelas dari temuan satgas ke penindakan hukum.

"Uang Rp 349 triliun itu kan tidak kecil, ini kasus yang meresahkan rakyat. Kemarin kan sudah ada temuan yang memang impor ilegal emas itu Rp 189 triliun. Jadi memang TPPU itu memang ada, sesuai pernyataan Pak Mahfud. Jika tidak ada penindakan, dari awal untuk apa juga ada satgas, hanya buang-buang anggaran," beber Yenti.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih (Foto: Ist)
Yenti Garnasih (Foto: Dok MI/Pribadi)

Ia juga menyebut seharusnya Satgas TPPU mengumumkan hasil temuannya ke publik, agar masyarakat tidak hanya dibuat gaduh dengan pernyataan Mahfud.

"Kita kalau menyebarkan kabar bohong saja bisa kena pidana, apa lagi ini yang dari awalnya mengumbar data temuan PPATK, lalu tiba-tiba tidak ada lanjutnya. Ini preseden buruk bagi penegakan hukum. Rakyat justru bisa tidak percaya dengan hukum kalau seperti ini," demikian Yenti.

Pada awal tahun 2023 lalu, publik sempat dihebohkan kasus itu. Faktanya, hingga akhirnya Satgas TPPU selesai masa tugasnya pada akhir Desember lalu, bahkan hingga Mahfud MD mengundurkan diri sebagai Menko Polhukam, belum ada penindakan konkret terkait penyelesaian kasus itu. 

Malahan, kasus ini seolah menguap begitu saja, layaknya banyak kasus korupsi lainnya.

Memang, Mahfud Md pernah menyatakan bahwa penyelesaian kasus itu dipastikan tetap jalan dan terus diusut. Dari kasus transaksi janggal Rp 349 triliun, Mahfud yang juga sebagai Ketua Pengarah Satuan Tugas (Satgas) TPPU menjelaskan Rp 189 triliun kasus sudah disidik. Satgas TPPU dengan melibatkan 12 tim ahli. 

Tim tersebut terdiri dari para akademisi, Kejaksaan, Kepolisian, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai, Dirjen Pajak, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Hingga Mahfud Md meninggalkan kursi Menko Polhukam, kasus ini tak kunjung ada kabarnya lagi. Namun dalam konferensi pers usai serah, terima, dan jabatan (Sertijab), Hadi Tjahjanto  ditemani oleh Tito Karnavian selaku Plt. Menko Polhukam yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. 

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
Tito Karnavian (Foto: Dok MI)

Tito mengatakan kelanjutan tindak pidana pencucian uang Rp 349 triliun. Tito menyebut masih harus dirundingkan terlebih dahulu dengan jajaran di Kemenko Polhukam. "Nanti ya itu bagian yang disampaikan internal pada beliau," kata Tito dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2024).

Persoalan masa tugas Satgas TPPU, Tito mengatakan hal tersebut perlu diusulkan terlebih dahulu oleh Menko Polhukam yang baru, Hadi Tjahjanto. Namun, Hadi tidak menanggapi lebih lanjut. "Nanti kan beliau usulkan dulu ya dan seterusnya," imbuhnya.

Kabar terakhir, Satgas TPPU telah melakukan supervisi dan evaluasi penanganan 300 surat LHA terkait dugaan TPPU yang melibatkan Kemenkeu dengan nilai agregat lebih dari Rp 349 triliun.

"Dalam kurun waktu 8 bulan Satgas TPPU telah melakukan supervisi dan evaluasi penanganan tiga ratus surat LHA/LHP informasi dugaan TPPU dengan nilai agregat lebih dari Rp 349 triliun," kata Mahfud dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring di YouTube Kemenko Polhukam, Rabu (17/1/2024).

Masa Tugas Habis, Mahfud Beberkan Hasil Kerja Satgas TPPU Rp 349 T
Mahfud Md (tengah) (Foto: Dok MI)

Buntut dari kasus ini, sebanyak 8 pegawai Kemenkeu dipecat. Namun oleh Satgas TPPU enggan merincikannya. Dan tidak diketahui apakah 8 pegawai itu termasuk 491 Aparatur Sipil Negara (ASN) Kemenkeu yang sempat disebutkan Mahfud Md.

"Yang terlibat di sini jumlah entitas dari Kemenkeu 491 orang," kata Mahfud dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023) lalu.

Dia mengungkapkan bahwa 491 entitas ASN Kemenkeu itu terdiri dari tiga kelompok laporan hasil analisis (LHA). Kategori pertama adalah transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan jumlah Rp35.548.999.231.280, melibatkan 461 entitas ASN Kemenkeu.

Kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain. Nilai transaksi dari kategori kedua di atas adalah Rp53.821.874.839.402, dengan jumlah entitas ASN Kemenkeu yang terlibat sebanyak 30 orang. 

Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tidak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai di kementerian tersebut. 

Untuk kategori yang terakhir, jumlah transaksinya mencapai Rp260.503.313.306 dan tidak melibatkan entitas ASN Kemenkeu. 

Mahfud menegaskan bahwa jangan melibatkan Rafael Alun dengan kasus dugaan TPPU ini karena Rafael terlibat dalam kasus berbeda. "Rafael sudah ditangkap, selesai. Di laporan ini ada jaringannya. Bukan Rafael, itu kan pidana, bukan TPPU" ujar Mahfud.

Rafael Alun Divonis 14 Tahun Penjara dan Denda Setengah Miliar
Rafael Alun Trisambodo, mantan anak buah Sri Mulyani teseret kasus dugaan korupsi (Foto: Dok MI)

Kronologi
Pada Rabu (8/3/2023), di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Mahfud MD menyatakan bahwa dirinya telah menerima laporan terkait dugaan transaksi mencurigakan mencapai Rp300 triliun di Kemenkeu.

Mahfud menambahkan, pergerakan uang itu sebagai besar terjadi di Direktorat Jenderal Pajak dan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Mahfud selaku Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menambahkan, dia telah menyerahkan laporan itu ke Kemenkeu.

"Sekarang, hari ini, sudah ditemukan lagi kira-kira Rp 300 triliun. Itu harus dilacak. Dan saya sudah sampaikan ke Ibu Sri Mulyani. PPATK juga sudah menyampaikan," kata Mahfud, Rabu (8/3/2023).

Di hari yang sama, Mahfud kembali mengungkapkan pernyataan yang sama saat berada di Universitas Islam Indonesia (UII). Lebih rinci, Mahfud menyebut, transaksi mencurigakan itu terjadi dari tahun 2009 hingga 2023 di mana ada sekitar 160 laporan yang melibatkan 460 orang.

Saat dikonfirmasi oleh wartawan, Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh yang tengah melakukan konferensi pers kasus Rafael Alun, Rabu (8/3/2023) mengatakan, lembaganya belum menerima informasi terkait pergerakan uang mencurigakan itu.

Keesokan harinya, Kamis (8/3/2023), saat mendampingi kunjungan kerja Presiden Jokowi di Solo, Menkeu Sri Mulyani untuk pertama kalinya merespon dengan mengatakan tidak pernah mendapat laporan Rp300 triliun itu.

Pejabat Kemenkeu kemudian mendatangi kantor Kemenko Polhukam untuk bertemu dengan Mahfud MD pada Jumat (10/3/2023). Usai pertemuan, Mahfud menjelaskan, transaksi mencurigakan Rp300 triliun di Kemenkeu itu bukanlah dugaan korupsi, melainkan dugaan TPPU yang terdiri dari 197 laporan dengan melibatkan 467 pegawai sepanjang 2009-2023.

Mahfud juga menegaskan, selama ini laporan dugaan TPPU dari PPATK tidak pernah ditindaklanjuti, sehingga dia akan mendalami lebih lanjut untuk mengetahui tindak pidana utama di balik dugaan itu.

Keesokan harinya, Sabtu (11/3/2023), giliran Mahfud yang mendatangi kantor Kemenkeu untuk bertemu dengan Sri Mulyani. Sri Mulyani mengaku belum bisa berkomentar ke publik karena tidak kunjung mendapatkan laporan rinci yang memuat nilai transaksi janggal Rp300 triliun itu dari PPATK.

Kemenkeu sebut bukan korupsi atau TPPU
Tidak berhenti, pertemuan pun kembali berlanjut saat Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mendatangi kantor Kemenkeu, Selasa (14/3/2023). Usai berdiskusi, Ivan mengatakan bahwa laporan transaksi mencurigakan itu bukan merupakan aktivitas dari pegawai Kemenkeu.

Sementara itu, Irjen Kemenkeu Awan Nurmawan mengatakan bahwa angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi atau TPPU di Kemenkeu.

"Jadi jelas, prinsipnya angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi atau TPPU pegawai di Kementerian Keuangan," kata dia, saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023).

Mendengar itu, Mahfud yang tengah melakukan kunjungan ke Australia berkomentar dengan mengatakan, "Sesudah saya pulang ke Indonesia nanti kita jelasin. Katanya bukan korupsi, bukan TPPU, terus apa? kan sudah jelas angkanya, angkanya sekian, ada namanya, itu apa?" kata Mahfud dalam keterangan videonya, Jumat (17/3/2023).

Mahfud juga menambahkan dalam Twitternya, “Saya sarankan, lihat lagi pernyataan terbuka Ketua PPATK di kemenkeu Selasa kemarin. Beliau "tidak bilang" bahwa info itu "bukan korupsi" dan "bukan pencucian uang". Sama dengan yang saya katakan, beliau bilang itu bukan korupsi tapi laporan dugaan pencucian uang yang harus ditindaklanjuti oleh penyidik/kemkeu."

Bertambah Rp349 triliun

Mahfud, Sri Mulyani, dan Ivan kembali bertemu untuk melakukan rapat kerja, Senin (20/3/2023). Hasilnya, transaksi mencurigakan malah meningkat menjadi Rp349 triliun.

Usai pertemuan, Mahfud kembali menegaskan bahwa transaksi mencurigakan itu bukan dugaan korupsi, melainkan dugaan TPPU yang melibatkan pegawai di dalam Kemenkeu maupun pihak di luar seperti perusahaan.

Pengusutan Transaksi Janggal Rp 349 T di Kemenkeu Tak Kunjung Rampung, DPR Panggil PPATK!
Kemenkeu (Foto: Dok MI)


“Jadi jangan berasumsi bahwa 'wah Kementerian Keuangan korupsi Rp 349 triliun'. Enggak, ini transaksi mencurigakan dan itu banyak juga melibatkan dunia luar, orang yang punya sentuhan-sentuhan, dengan mungkin orang Kementerian Keuangan, tetapi yang banyak itu kan mereka," kata Mahfud.

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menegaskan, nilai transaksi janggal itu bukan nilai korupsi yang dilakukan di dalam Kemenkeu, melainkan total temuan PPATK terkait indikasi TPPU.

Nilai Rp349 triliun itu merupakan total dari sekitar 300 surat temuan PPATK terkait indikasi pencucian uang yang datanya dikirimkan ke Kemenkeu pada periode 2009-2023. Sri Mulyani membagi surat PPATK itu ke tiga jenis.

https://monitorindonesia.com/2023/03/paparan-sri-mulyani-di-dpr.jpeg
Diceritakan Sri Mulyani, bahwa alur waktu kehebohan soal Rp 349 triliun yang awalnya disebut Rp 300 triliun oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Hal itu disebut Sri Mulyani terjadi pada 8 Maret 2023

Pertama adalah 65 surat terkait indikasi TPPU yang melibatkan badan usaha atau perorangan non-pegawai Kemenkeu sebesar Rp253 triliun.

Kedua, sekitar 99 surat yang ditujukan ke aparat penegak hukum dengan nilai transaksi Rp74 triliun.

Terakhir, sebanyak 135 surat terkait temuan transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan total Rp22 triliun.

Melangkah ke DPR

Komisi III DPR kemudian melakukan rapat kerja dengan PPATK untuk membahas dugaan pencucian uang tersebut. Kepala PPATK Ivan kembali menegaskan, nilai transaksi mencurigakan itu tidak semua terkait tindak pidana yang dilakukan di Kemenkeu, tapi terkait tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.

Beberapa hari kemudian, giliran Sri Mulyani yang menghadiri rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/3/2023). Dalam kesempatan ini, Sri Mulyani menceritakan kronologi dugaan transaksi mencurigakan yang diawali oleh pernyataan Mahfud itu.

Sri Mulyani juga kembali menegaskan bahwa transaksi mencurigakan Rp349 triliun yang dilaporkan PPATK itu mayoritas tidak terkait dengan Kemenkeu

Dari temuan transaksi mencurigakan pegawai Kemenkeu dengan total Rp22 triliun, Sri Mulyani mengatakan hanya Rp3,3 triliun yang berhubungan dengan pegawai Kemenkeu, sisanya Rp18,7 triliun menyangkut transaksi korporasi.

“Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp3,3 triliun, ini 2009 hingga 2023, 15 tahun seluruh transaksi debit kredit pegawai yang di-inquiry, termasuk penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset, jual beli rumah,” kata Sri Mulyani.

"Jadi, tidak ada hubungannya dalam rangka untuk pidana, korupsi atau apa, tapi kalau kita untuk mengecek tadi profiling risk dari pegawai kita. Jadi banyak juga beberapa yang sifatnya adalah dalam rangka kita melakukan tes dari integritas dari staf kita," tuturnya.

“Bahkan dari Rp22 triliun ini, Rp18,7 triliun itu menyangkut transaksi korporasi yang enggak ada hubungan dengan Kemenkeu. Jadi yang benar-benar berhubungan dengan pegawai Kemenkeu itu Rp3,3 triliun,” katanya di DPR.

Sebelumnya, Senin (27/3/2023), Mahfud telah menghadiri rapat khusus dengan Presiden Joko Widodo. Mahfud mengatakan, Jokowi meminta dirinya untuk hadir dan menjelaskan ke DPR terkait dugaan transaksi mencurigakan ini.

"Saya diminta hadir, menjelaskan ke DPR apa itu pencucian uang. Saya akan menjelaskan sejelas-jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi, karena presiden kita ini menghendaki keterbukaan informasi sejauh sesuai dengan perundang-undangan," jelas Mahfud.

Sebagai informasi bahwa, tugas Satgas TPPU kasus ini telah berakhir sejak Desember 2023 lalu setelah dibentuk pada April 2023.

"Perkembangan yang paling signifikan dari kerja satgas TPPU adalah penanganan surat LHP no SR 205/2020 terkait kasus impor emas dengan transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 189 T," kata Mahfud di gedung Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024) lalu.

Dia mengatakan kasus ini sudah mulai diproses oleh penyidik yang memang dimulai dengan penyidik kepabeanan dan kasus emas grup SB pun sudah naik ke penyidikan. Sementara terkait kasus pajaknya kata Mahfud ditemukan ada hingga ratusan miliar kasus kurang bayar.


"Sementara terkait kasus lainnya sedang ditindaklanjuti oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK," ungkapnya.

Menkeu Sri Mulyani di MK
Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) (Foto: Dok MI)

Menurutnya, Satgas TPPU juga sudah memberikan efek positif sehingga ada kasus-kasus yang dilanjutkan dan lebih cepat berjalan. "Itu 300 surat sejak 2009 cuma ada yang belum terlaporkan dan ada yang masih berproses," ujarnya.

Sementara itu, sebelumnya Mahfud mengatakan satgas tersebut dibentuk setelah Mahfud mengungkap adanya 300 surat laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK tentang dugaan TPPU hingga Rp 349 T yang kemudian ramai di publik. 

Ada dua komisi, yakni Komisi III dan Komisi XI, yang berbeda sudut pandangnya. Adanya 300 surat transaksi mencurigakan ini menjadi sorotan lantaran disebut menyangkut tugas-tugas dan sejumlah pegawai di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Penyelesaian internal dari pemerintah dilakukan melalui pembentukan satgas dan dari berbagai institusi, PPATK, Kemenkeu, Kepolisian, Kejaksaan, dan lain-lain dan tim ahli tim independen," tandasnya. (wan)