Begini Respons Sri Sultan Soal Politik Dinasti DIY yang Dilontarkan Ade Armando

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 4 Desember 2023 20:51 WIB
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X [Foto: ANTARA]
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X [Foto: ANTARA]
Jakarta, MI - Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwaono X merespons santai, pernyataan politisi PSI, Ade Armando yang menyinggung politik dinasti DIY. 

Seperti diketahui, Ade Armando menyampaikan kritik kepada para mahasiswa, khususnya BEM Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM), yang menggelar aksi protes terkait politik dinasti. 

Ade Armando menyebut BEM UI dan BEM UGM ironi lantaran, menurut dia, Daerah Istimewa Yogyakarta lah yang sebetulnya mempraktikkan politik dinasti.

Menanggapi hal itu, Sultan menilai di era demokrasi setiap orang bebas berkomentar.  "Komentar boleh wong komentar kok nggak boleh. Boleh saja," kata Sultan kepada wartawan di Kepahitan, Senin (4/12).

Ia pun menjelaskan tentang Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang juga menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Keistimewaan DIY. Saat ini DIY, kata dia, melaksanakan perundangan yang berlaku tersebut.

"Hanya pendapat saya, konstitusi peralihan itu kan ada (pasal) 18B kalau nggak keleru ya, yang menyangkut masalah pengertian Indonesia itu menghargai asal usul tradisi DIY," ujarnya.

Bunyi Undang-undang keistimewaan itu, lanjut Sultan, juga mengamanatkan Gubernur Sultan dan Wakil Gubernur Paku Alam. Namun, kalimat dinasti tidak ada dalam undang-undang.

Sultan pun menambahkan, apabila ada masyarakat yang mempersoalkan keputusan undang-undang dan menganggap DIY menjalankan politik dinasti, maka ia mempersilahkan untuk mengganti undang-undang dasarnya. 

"Ya melaksanakan itu saja. Dinasti atau tidak ya terserah dari sisi mana masyarakat melihatnya. Yang penting kita di DIY, DIY itu daerah istimewa, diakui keistimewaannya dari asal usulnya dan menghargai sejarah itu," jelasnya.

"Yang penting kita bagian dari republik dan melaksanakan keputusan undang-undang. Kalau dianggap dinasti ya diubah saja undang-undang dasarnya. Silahkan saja (masyarakat mau aksi) itu masyarakat yang penting saya tidak menyuruh," tandasnya.

Adapun UUD 1945 yang dimaksud Sultan yaitu Pasal 18B ayat 1 BAB VI tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi 'Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang'.