Sofifi Masih Menjadi ‘Ibu Kota Bayangan’ di Maluku Utara


Sofifi, MI - Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak Sofifi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999. Namun hingga kini, status administratif Sofifi masih menggantung. Padahal, sebagai pusat pemerintahan, namun belum berdiri sebagai kota otonom.
Aspirasi yang telah lama terpendam itu kini kembali menjadi-jadi, menyusul menguatnya gerakan masyarakat sipil, yang menuntut pemekaran dan pengakuan formal terhadap Sofifi sebagai kota definitif.
Perjuangan ini ditandai dengan Rembuk Akbar Sesepuh dan Tokoh Bacarita Kota Sofifi yang berlangsung di Gedung Serbaguna Desa Balbar, pada Rabu (25/6/2025).
Dalam forum yang dihadiri berbagai tokoh lintas generasi, dari sesepuh adat, tokoh agama, akademisi, pemuda hingga pemerhati pembangunan, semangat kolektif untuk memperjuangkan status administratif Sofifi berpadu dalam satu komitmen, yaitu mendirikan kota Sofifi secara sah dan sesuai konstitusi.
Hasil utama dari rembuk akbar itu adalah pembentukan wadah perjuangan bersama, yang dinamai Majelis Rakyat Kota Sofifi (Markas). Organisasi ini diharapkan menjadi penghubung vital masyarakat dalam mengawal, memperjuangkan, dan mengadvokasi pembentukan Kota Sofifi secara resmi melalui prosedur pemerintahan yang berlaku.
Markas dipimpin oleh Muhammad Imam, sebagai Koordinator dan Andry Teny sebagai Sekretaris, yang dipilih secara aklamasi oleh peserta rembuk. Keduanya akan mengemban tanggung jawab memobilisasi semangat perjuangan masyarakat menuju pengakuan administratif kota ini.
“Kita tidak bisa terus menunggu. Sofifi punya hak untuk berdiri sebagai kota yang mandiri. Ini bukan sekadar keinginan masyarakat, tapi amanat undang-undang yang sudah sangat jelas,” ujar Muhammad Imam dalam kesempatan tersebut.
Ia menegaskan bahwa gerakan ini lahir dari kesadaran sosial dan bukan sekadar agenda politik. “Ini adalah langkah nyata dan serius,” tegasnya.
Tak hanya kepemimpinan, struktur Markas juga di isi oleh berbagai tokoh penting seperti Irfan Soekonae, Mahfud Do Muhammad, Muhammad Alting, Djafar Alkatiri, Ismail Harun, Pendeta Portinatus Selong, Yus Maer, Karim, Amir Abdullah, dan lainnya. Kehadiran mereka memberikan legitimasi moral dan sosial terhadap perjuangan yang telah lama diperbincangkan namun minim progres.
Acara rembuk akbar diakhiri dengan prosesi simbolik penyerahan obor perjuangan oleh sesepuh Sofifi yang diwakili Irfan Soekonae, anggota DPRD Provinsi Malut, kepada Koordinator Markas.
Obor ini dimaknai sebagai simbol penerangan atas jalan terjal perjuangan pemekaran, sekaligus penanda bahwa Sofifi tak akan tinggal diam di bawah bayang-bayang ketidakpastian.
Forum tersebut juga menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, diantaranya: Menggalang dukungan masyarakat Sofifi secara luas, Membangun koordinasi formal dengan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan sebagai daerah induk, Menjalin komunikasi strategis dengan Pemprov Malut, Melibatkan elemen kesultanan sebagai institusi kultural, Menggalakkan kampanye kesadaran publik tentang pentingnya status Sofifi sebagai ibu kota definitif.
Sementara itu, di tengah meningkatnya aspirasi pemekaran, Sekda Malut Samsuddin A. Kadir turut memberikan tanggapan. Dalam wawancara pada Kamis (26/6) di Kantor Gubernur Malut, Sofifi, Samsuddin menyatakan bahwa usulan DOB bukan hal baru. Sejumlah wilayah di Maluku Utara telah lama menyampaikan dokumen pemekaran ke Pemprov Malut, bahkan sebagian berkasnya telah dikirim ke Jakarta.
“Usulan-usulan seperti Gane Raya, Obi, Wasilei itu sudah lengkap dari dulu. Bukan barang baru. Bahkan berkas-berkasnya sudah menumpuk di Jakarta,” ungkap Samsuddin.
Ia menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Maluku Utara hanya berperan sebagai penghubung. Jika pemerintah kabupaten/kota induk dan DPRD setempat memberikan rekomendasi, maka Pemerintah Provinsi akan menindaklanjuti dengan melakukan kajian dan meneruskan usulan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Namun, ia menggarisbawahi bahwa hingga saat ini belum ada rekomendasi dari Pemerintah Kota Tidore maupun DPRD-nya terkait pemekaran Kota Sofifi. Tanpa rekomendasi tersebut, Pemerintah Provinsi tidak dapat mengambil langkah apapun.
“Silakan tanyakan ke Kota Tidore, karena kami di provinsi tidak punya kewenangan inisiatif. Yang punya kewenangan adalah pemerintah daerah induk,” tegasnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, kebijakan moratorium pemekaran daerah diberlakukan oleh pemerintah pusat untuk menghentikan sementara pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota baru. Moratorium ini ditujukan untuk mengevaluasi efektivitas DOB sebelumnya, terutama dari sisi kemandirian fiskal.
Banyak DOB dinilai belum mandiri secara keuangan dan masih sangat bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat. Selain itu, pertimbangan krisis ekonomi global, dampak pandemi, serta stabilitas birokrasi turut menjadi alasan utama.
Namun, pengecualian diberikan untuk wilayah Papua, yang dinilai membutuhkan pemekaran sebagai bagian dari upaya mempercepat pembangunan dan mendekatkan pelayanan di wilayah yang luas dan sulit dijangkau.
Di luar Papua, termasuk di Maluku Utara, kebijakan moratorium tetap berlaku. Ini menyebabkan berbagai usulan DOB, termasuk Sofifi, Makian Kayoa, Obi, Gane Raya, Galela-Loloda (Galda) dan Wasilei, tertahan tanpa kepastian waktu pencabutan.
“Moratorium ini belum dicabut oleh Kemendagri dalam hal ini pemerintah pusat,” tutup Samsuddin. (Jainal Adaran)
Topik:
Sofifi