Ferdy Sambo Minta Maaf, Tapi Kok Ajukan Banding?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 Agustus 2022 17:46 WIB
Jakarta, MI - Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menilai permintaan maaf tersangka pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (J), Ferdy Sambo kepada institusi Kepolisian Republik Indonesi (Polri) tak berguna lagi. Bagaiman tidak, Ferdy Sambo memilih mengajukan banding, setelah diberhentikan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terkait kasus meninggalnya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang digelar pada hari Kamis (25/8) kemarin. "Kalau dia banding apa makna surat permintaan maaf kemarin itu nggak ada gunanya donk, ada surat itu tapi kok banding, ini maksudnya apa?," tanya Pohan saat dihubungi Monitorindonesia.com, Jum'at (26/8). Lantas Pohan menduga, banding Ferdy Sambo hanya untuk memberikan kesempatan terhadap dirinya, namun juga dikhawatirkan banding ini disalahgunakan. "Dia bandingnya ke Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), mungkin maksudnya Polri hanya memberikan kesempatan, namun banding juga kan bisa saja disalahgunakan, kemungkinan bandingnya ke Kapolri, saya menduga Sambo ngapain banding coba, dia kan sudah mengajukan pengunduran diri, artinya dia tau bahwa ini dia pasti di pecat," jelasnya. "Mungkinkah dipecat dengan hormat kan ga mungkin, jadi saya tidak mengerti, saya menduga bahwa dia ini ingin diputus dan dinyatakan oleh Kapolri, tujuannya apa saya ga tau, kalau saya jadi lawyer Sambo putusan itu, jangan lakukan banding itu," sambungnya. Atas hal inilah, Pohan juga mempertanyakan apa motif Ferdy Sambo yang berencana mengajukan banding ke Polri, padahal sudah jelas Ferdy Sambo dipecat atau diberhentikan dengan tidak hormat (PTDH). "Motif dibalik ini apa? dia minta maaf tapi kok dia banding, padahal dia tau dipecat, tidak mungkin juga dia nanti akan diberhentikan dengan hormat," imbuhnya. Namun demikian, Pohan juga menjelaskan bahwa memang setiap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang dijatuhi hukuman disiplin berhak mengajukan keberatan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pasal 30 (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin berhak mengajukan keberatan. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan tertulis kepada atasan Ankum melalui Ankum dengan mencantumkan alasan keberatan. (3) Tenggang waktu pengajuan keberatan paling lama 14 (empat belas) hari setelah terhukum menerima putusan hukuman disiplin. (4) Ankum wajib menerima pengajuan keberatan dari terhukum dan meneruskannya kepada atasan Ankum. Pasal 31 (1) Apabila keberatan terhukum ditolak seluruhnya, maka atasan Ankum menguatkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin. (2) Apabila keberatan terhukum diterima seluruhnya, maka atasan Ankum membatalkan putusan yang telah dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin. (3) Apabila keberatan terhukum diterima sebagian, maka atasan Ankum mengubah putusan yang dibuat oleh Ankum yang menjatuhkan hukuman disiplin. (4) Atasan Ankum berwenang menolak atau mengabulkan seluruh atau sebagian keberatan dengan memperhatikan pendapat dan saran dari satuan fungsi pembinaan hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia. (5) Putusan atasan Ankum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. (6) Surat Keputusan atasan Ankum terhadap pengajuan keberatan terhukum sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), dan (3), disampaikan kepada pemohon keberatan. (7) Putusan atasan Ankum atas keberatan terhukum, merupakan keputusan akhir. Pasal 32 (1) Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 berlaku : a. apabila dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhukum tidak mengajukan keberatan, maka putusan yang dijatuhkan Ankum berlaku pada hari ke-15 (kelima belas); b. apabila ada keberatan dari terhukum, maka putusan hukuman mulai berlaku sejak tanggal putusan atas keberatan itu diputuskan. (2) Dalam hal terhukum tidak hadir dalam sidang disiplin dan/atau setelah dilakukan pencarian terhadap terhukum untuk menyampaikan hasil putusan hukuman disiplin tidak ditemukan, maka putusan hukuman disiplin tersebut berlaku sejak hari ke-30 (ketiga puluh) terhitung mulai tanggal keputusan itu diputuskan. Sebagimana diketahui, bahwa Eks Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo memilih mengajukan banding, setelah diberhentikan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terkait kasus meninggalnya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Ferdy Sambo diduga melakukan pelanggaran prosedur penanganan tindak pidana meninggalnya Brigadir J. Pelanggaran prosedural yang dilakukan, seperti tidak profesional penanganan tempat kejadian perkara (TKP) dan mengambil Closed Circuit Television (CCTV) di kawasan Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan.“Kami mengakui semua perbuatan dan menyesali semua perbuatan yang kami telah lakukan terhadap institusi Polri. Namun mohon izin, izinkan kami mengajukan banding,” kata Sambo dalam sidang etik lewat keterangan virtual, Jakarta, Kamis (25/8). Permohonan banding itu tertuang dalam BAB V Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Banding Peraturan Kepolisian RI (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Indonesia. Pasal 69 ayat (1) Perpol 7/2022 menjelaskan pemohon banding, yang dijatuhkan sanksi administratif berhak mengajukan Banding atas putusan sidang kepada pejabat pembentuk KKEP Banding melalui Sekretariat KKEP. Dalam Ayat (2) Pernyataan banding ditandatangani oleh pemohon banding dan disampaikan secara tertulis melalui Sekretariat KKEP dalam jangka waktu paling lama tiga hari kerja setelah putusan Sidang dibacakan KKEP. Sambo juga dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran perbuatan tercela. Selain itu, dijatuhkan sanksi penempatan khusus (patsus) di Markas Komando Korps Brigade Mobile (Mako Brimob), Kelapa Dua, Kota Depok, Jawa Barat selama 21 hari. Sidang etik Ferdy  Sambo itu diketahui dipimpin oleh Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Komisaris Jenderal (Komjen) Ahmad Dofiri. Sementara anggota sidang komisi terdiri dari Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri. Sekain itu, Kepala Divisi Propam, dan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Juga dihadiri Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai pengawas eksternal Polri. Timsus internal Polri telah menetapkan lima tersangka kasus pembunuhan Brigadir J yaitu Bhayangkara Dua (Bharada) Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Brigadir Polisi Kepala (Bripka) Ricky Rizal atau Bripka RR, Kuat Ma’ruf, Irjen Ferdy Sambo dan terbaru ialah Putri Candrawathi. [Aan]