Jet Gratifikasi: Aji Mumpung Ni Ye..!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Februari 2025 09:29 WIB
Jet Gratifikasi: Aji Mumpung Ni Ye..!
Karikatur - Ilustrasi - Jet Gratifikasi (Dok MI)

Karikatur, Monitorindonesia.com - Pengusutan kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan Kaesang Pangarep, yang terkait penggunaan jet pribadi, tumpul ke atas tajam ke bawah? 

Soalnya, banyak pihak mempertanyakan mengapa KPK menghentikan investigasi dalam menangani dugaan gratifikasi terkait penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan istrinya, Erina Gudono.

Selain terkait posisinya Kaesang sebagai anak Presiden Joko Widodo, KPK perlu melihat dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). 

Bahwa, sebagai ketua partai politik, Kaesang memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan partainya, termasuk dana yang diterima dari pemerintah. 

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp126 miliar kepada partai politik tiap tahun sejak 2019. 

Bahwa dana ini merupakan pajak masyarakat yang harus dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018, bahwa partai politik menerima dana publik berdasarkan jumlah suara sah yang diperoleh pada pemilu. 

Dana tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki kaderisasi, pendidikan politik, dan mencegah praktik politik transaksional. 

Maka dengan posisi partainya sebagai penerima dana publik, PSI dan Kaesang sebagai ketua umum terikat pada prinsip transparansi keuangan dan audit oleh BPK. 

Dalam konteks ini, dugaan gratifikasi yang diterima Kaesang, meskipun dalam kapasitas pribadi, seharusnya tidak terlepas dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin partai yang mengelola dana publik dan anak Presiden yang dapat melakukan jual beli pengaruh terhadap berbagai kebijakan negara. 

Perlu digarisbawahi, bahwa partai politik merupakan institusi publik, dan ketua partai bertanggung jawab atas integritas partai, termasuk penggunaan sumber daya yang diperoleh dari pajak rakyat.

Hal ini menjadi lebih penting karena partai politik adalah objek audit keuangan negara, dan ketua partai, termasuk Kaesang, harus dapat mempertanggungjawabkan keuangan partai secara terbuka.

Oleh karena itu, KPK harus bersikap konsisten dalam menindak dugaan gratifikasi, terlepas dari apakah seseorang anak Presiden yang memegang jabatan resmi atau tidak, demi menjaga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Jika KPK tidak menyelidiki kasus Kaesang hanya karena statusnya bukan pejabat, ini akan menjadi preseden buruk. 

Hal ini bisa membuka celah hukum yang memungkinkan pejabat publik menggunakan anggota keluarga mereka untuk menerima gratifikasi, tanpa takut dijerat hukum.

Sangat bisa diusut

Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul KPK memiliki kewenangan meminta keterangan suami dari Erina Gudono terebut. 

Posisi Kaesang, ungkap Chudry, sebagai seorang anak presiden membuat KPK bisa memanggilnya.  

Dijelaskannya, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 soal Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menurut dia, presiden, istri dan anaknya masuk dalam kategori pihak yang tidak boleh menerima gratifikasi. 

“Jangan hanya pakai UU KPK dong, pakai juga UU 28 tahun 1999 tentang KKN,” kata Chudry kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (7/9/2024).

Dalam penjelasan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, tindak pidana KKN tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar-penyelenggara negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha.

Dengan demikian, KPK sangat bisa memeriksa Kaesang Pangarep yang juga Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu.

“Jadi sangat bisa KPK minta klarifikasi dari Kaesang, bisa tidak dia membuktikan kalau fasilitas itu diupayakannya sendiri, tidak dari pemberian,” tandas Chudry.

Alibi KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan penerimaan gratifikasi.

Ghufron mengatakan bahwa pertimbangan penerimaan gratifikasi sifatnya adalah pelaporan dari penyelenggara negara seperti bupati dan gubernur.

Jika seorang penyelenggara negara menerima gratifikasi, yang bersangkutan wajib melaporkannya ke KPK untuk diperiksa dan ditentukan apakah gratifikasi tersebut dirampas atau diserahkan kembali pada penerima.

"Yang Anda tanyakan tadi yang bersangkutan (Kaesang) bukan penyelenggara negara sehingga tidak ada kewajiban hukum untuk melaporkan," ujar Ghufron, Kamis kemarin.

Ia menegaskan bahwa KPK tidak ada pembatalan mengenai klarifikasi atas dugaan gratifikasi menerima fasilitas jet pribadi yang melibatkan anak bungsu Presiden RI Joko Widodo itu.

"Jadi, kalau kemudian dikait-kaitkan dengan pihak-pihak yang lain, itu sekali lagi dalam prosedur KPK, di Undang-Undang KPK, sifatnya KPK itu pasif," kata Ghufron.

Jika kemudian itu terbukti gratifikasi di beberapa tahun mendatang, pihak tersebut sudah bebas dari Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Ketika ditanya mengenai penggunaan jet pribadi Wali Kota Medan Bobby Nasution, Ghufron kembali menegaskan bahwa KPK bersifat pasif, dan menerima laporan dari penyelenggaraan negara.

"Misalnya, Anda bupati, Anda wali kota, itu Anda yang laporan kepada kami. Kami yang periksa, bukan kami yang mendatangi, ini gratif," kata dia.

Kaesang bersama istrinya Erina Gudono mendapat banyak sorotan di media sosial belakangan ini, salah satunya mengenai dugaan keduanya menggunakan jet pribadi ketika melakukan perjalanan ke Amerika Serikat. 

(Gatot Eko Cahyono/La Aswan)

Karikatur Sebelumnya

Vonis Ringan Denda Rendah

Karikatur Selanjutnya

Serius Independen Nih?