Fraud Menghantui, BPJS Kesehatan Temukan Klaim Palsu Nyaris Rp 1 Triliun

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 8 Desember 2023 13:05 WIB
BPJS Kesehatan (Foto: MI/Aswan)
BPJS Kesehatan (Foto: MI/Aswan)
Jakarta, MI - Kecurangan atau fraud masih menghantui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. BPJS temukan klaim palsu sebesar Rp866 miliar.

Bentuk kecurangan dalam pengajuan klaim layanan medis BPJS Kesehatan banyak jenisnya. Mulai dari modus klaim-klaim tindakan medis yang dipecah-pecah. Kwitansinya berbeda-beda, ada untuk biaya kamar, tarif obat, hingga ongkos dokter.

Selain itu, kecurangan lainnya adalah pihak rumah sakit membuat diagnosis yang dibesar-besarkan. Strategi ini berhasil mendapatkan uang klaim dari BPJS Kesehatan sangat besar, karena penyakitnya masuk kategori parah.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, menyatakan bahwa BPJS Kesehatan berusaha untuk melakukan pencegahan. Misalnya saja bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan membentuk tim anti kecurangan. Tidak hanya di pusat, namun juga tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah personil 1.947 orang. 

Ghufron menegaskan tim ini untuk membangun sistem agar tidak terjadi kecurangan. “Tidak semata-mata mencari korban,” ucapnya. 

Selain itu, BPJS Kesehatan juga sudah memiliki aplikasi yang dapat mengetahui kecurangan fasilitas kesehatan. Dia menyebut, rumah sakit sering kali tidak mengetahui kalau sedang dimata-matai. “Sampai unit terkecil di klinik rumah sakit itu kita tahu. Mana yang berlakunya agak nakal dan nakal sekali,” ungkapnya dikutip pada Jum'at (8/12).  

Bahkan BPJS Kesehatan juga sering melakukan pengecekan apakah pasien tersebut benar mendapatkan layanan kesehatan atau tidak. Sebab, BPJS Kesehatan dapat mengetahui pada saat mendapatkan layanan kesehatan itu dilayani oleh siapa dan mendapatkan perawatan apa. 

Sementara itu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan belanja kesehatan nasional di Indonesia cukup tinggi. Untuk BPJS Kesehatan sekitar Rp 200 triliun. Dia menyebukan bahwa dengan nilai yang besar ini maka ada saja kemungkinan kebocoran atau kecurangan. 

Budi pun mengajak agar ada kolaborasi yang baik antara BPJS Kesehatan dengan Kemenkes untuk menanggulangi potensi kecurangan ini.

Dia menyebut BPJS Kesehatan sudah memiliki ekosistem teknologi yang baik. “Integrasikan ke Kemenkes dan saya juga merencanakan integrasi ke OJK,” ucapnya. 

Sehingga informasi dari fasilitas kesehatan untuk proses klaim ini valid.  “Kemenkes punya kewenangan untuk membina dan menghukum rumah sakit tersebut,” tutur Budi.

Dia mencontohkan jika terjadi phantom billing yang dilakukan tenaga kesehatan atau faskes, maka pemerintah dapat mengontrol. Sebab kini untuk izin tenaga kesehatan maupun faskes melalui pemerintah.

Hal seperti ini menurutnya sudah awam dilakukan di perbankan. “Kemenkes punya regulatory power untuk bisa mengatur perizinan dari tenaga kesehatan, tenaga medis, dan faskes,” jelasnya.

Selanjutnya, dia menyarankan agar ada analisis secara rutin. Sehingga bisa melihat potensi kebocoran ada di mana. Lalu ditemukan solusi untuk mengatasinya. Budi menyebutkan jika banyak asuransi swasta yang masuk OJK. Ketika ditemukan adanya kecurangan, maka pelakunya bisa dipanggil. 

Budi mengakui bahwa dunia kesehatan tidak memiliki standar treatment yang sama antara satu penyelenggar dengan yang lainnya. Dia mencontohkan di faskes a operasi usus buntu Rp 500 ribu, tapi di tempat lain bisa Rp5 juta. “Industri ini memiliki informasi yang tidak simetris,” katanya.