Eksploitasi dan Politisasi El Nino Melalui Bansos Rugikan Keuangan dan Perekonomian Negara serta Langgar Konstitusi

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 11 April 2024 18:47 WIB
Anthony Budiawan (Foto: MI/Aswan)
Anthony Budiawan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Habis gelap, terbitlah terang. habis Covid-19, muncullah El Nino, kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan.

Bukan tanpa alasan ekonom ini menyatakan demikian, soalnya menurut dia El Nino cukup memprihatinkan. Setidak-tidaknya itu menurut pemerintah, atau tepatnya menurut Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintah.

"El Nino digembar-gemborkan menyebabkan produksi padi turun. Gagal panen. Tetapi, faktanya, menurut BPS, produksi beras 2023 hanya turun 440 ribu ton, dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,10 juta ton pada 2022".

"Atau turun hanya 1,39 persen. Tidak signifikan. Bahkan dapat dikatakan stabil," ujar Anthony dalam opininya terbuka yang masuk ke dapur redaksi Monitorindonesia.com, Kamis (11/4/2024).

Menurtunya, El Nino dieksploitasi dan dipolitisasi. El Nino direspons dengan kebijakan yang sarat kepentingan politik, kebijakan aji mumpung, yaitu memberi bansos El Nino. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menggelontorkan bansos beras, ditambah Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino. bansos beras diberikan kepada sekitar 22 juta keluarga, dan BLT El Nino kepada sekitar 18,8 juta keluarga.

Kebijakan bansos beras dan BLT El Nino, untuk merespons dampak sosial El Nino yang sebenarnya sangat tidak signifikan, merupakan kebijakan yang sangat tidak masuk akal, kebijakan sarat kepentingan politik, merugikan keuangan masyarakat, merugikan keuangan negara, serta perekonomian negara.

Alasannya, kata dia, El Nino, kalau memang ada, akan menyebabkan gagal panen. Kalau itu terjadi, yang sangat dirugikan tentu saja kelompok masyarakat petani. Bukan hanya petani padi, tetapi seluruh petani. 

"Termasuk petani bawang merah, singkong, jagung dan lainnya. Oleh karena itu, bantuan terkait El Nino seharusnya diberikan kepada para petani yang terdampak El Nino. Bukan kepada masyarakat umuu," bebernya.

Kemudia, tambah dia, gagal panen membuat pasokan beras (pangan) berkurang, sehingga memicu harga beras melonjak. Kebijakan yang tepat seharusnya mencukupi pasokan beras. "Termasuk melalui impor. Kalau pasokan cukup, maka harga pangan (beras) akan stabil, dan daya beli masyarakat terjaga," jelasnya.

Kebijakan menjaga daya beli yang benar sehasusnya seperti itu. Mencukupi pasokan, membuat harga stabil, dan inflasi terjaga.

"Bukan sebaliknya. Pemerintah malah menyedot pasokan yang ada, untuk memberi bantuan sosial beras kepada 22 juta keluarga, selama berbulan-bulan, dengan alasan menjaga daya beli masyarakat. Alasan yang tentu saja sangat mengada-ada, yang sebenarnya untuk kepentingan politik, mengeksploitasi dan mempolitisasi El Nino," tuturnya.

Dampaknya sudah dapat diduga. "Bansos beras El Nino membuat pasokan beras menjadi langka, seperti yang terjadi di sejumlah pasar ritel modern. Harga melonjak".

"Meskipun pemerintah sudah mengimpor beras sangat besar, terbesar sepanjang 25 tahun terakhir, mencapai 3,06 juta ton pada 2023. Tetapi harga beras tidak kunjung turun, mencapai harga tertinggi pada Februari / Maret 2024," katanya melanjutkan.

Artinya, ungkap dia, kebijakan bansos beras El Nino, eksploitasi dan politisasi El Nino, malah membuat daya beli mayoritas masyarakat Indonesia turun, merugikan keuangan masyarakat, merugikan keuangan negara, dan merugikan perekonomian negara.

"Selain juga melanggar konstitusi dan sejumlah undang-undang, karena eksploitasi dan politisasi bantuan sosial El Nino tersebut diberikan tanpa mendapat persetujuan DPR, dan tidak ditetapkan dengan undang-undang," kunci Anthony Budiawan. (wan)

Topik:

el-nino bansos blt