Proyek 1 Juta Hektare Sawah di Kalteng Dinilai Hamburkan Uang Saja, Food Estate jadi Sorotan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 26 April 2024 15:36 WIB
Ilustrasi petani menggarap sawah (Foto: Getty Images)
Ilustrasi petani menggarap sawah (Foto: Getty Images)

Jakarta, MI - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LB) telah melakukan pertemuan ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism, (HDCM) RI-Republik Rakyat China (RRC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) baru-baru ini.

Dalam pertemuan itu, Luhut meminta agar Cina melakukan transfer teknologi sawah padi yang bakal diterapkan di lahan 1 juta hektare di Kalimantan Tengah (Kalteng). 

Rencana Indonesia menggandeng China ini dinilai tak realistis dan hanya akan mengulang kegagalan yang terus terjadi selama 25 tahun terakhir. Pemerintah Indonesia mengklaim telah mencapai kesepakatan dengan China untuk bekerja sama mengembangkan lahan sawah seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Ini disebut akan mengatasi masalah beras nasional, apalagi mengingat Indonesia kerap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Namun, bila pengembangan sawah yang dimaksud adalah bagian dari proyek food estate pemerintah, para pakar meragukan keberhasilannya. Apalagi, selama 25 tahun terakhir itu, berbagai proyek lumbung pangan telah diluncurkan di Indonesia oleh beberapa presiden berbeda dan berujung kegagalan.

Dalam unggahan Luhut di akun Instagramnya sebagaimana dilihat Monitorindonesia.com, Jum'at (26/4/2024), Luhut bilang ia dan Yi sempat membahas "rencana proyek penanaman padi di kawasan food estate Kalimantan Tengah".

Lalu Luhut mengklaim China bersedia "memberikan teknologi padi" yang membuat mereka sukses mencapai swasembada beras untuk diterapkan di lahan seluas satu juta hektare di Kalimantan Tengah.

"Mereka bersedia, dan kita tinggal sekarang mencari local partner-nya untuk membuat di Kalteng. Karena tanahnya itu dari zaman dulu sudah ada, itu sampai 1 juta hektare," kata Luhut.

Menurut Luhut, pengembangan sawah di Kalimantan Tengah bisa dilakukan secara bertahap, misalnya dimulai dengan lahan 100.000-200.000 hektare terlebih dahulu.

Kerja sama dengan China ini diharapkan dapat berjalan enam bulan dari sekarang dan menyelesaikan masalah beras nasional. Ini penting, kata Luhut, karena Indonesia rutin mengimpor beras antara 1,5 juta dan 2 juta ton per tahun. Bila proyek ini berjalan, kata Luhut, sudah selesai masalah ketahanan pangan kita untuk beras.

"Kita menjadi lumbung pangan nanti, yang harusnya demikian," tegas Luhut.

Meski begitu, Luhut tak menjelaskan secara mendetail teknologi apa yang akan dibawa dari China serta lokasi pasti lahan satu juta hektare yang akan ditanami padi di Kalimantan Tengah.

Unggahan di Instagram-nya itu mengindikasikan proyek ini akan berlangsung di kawasan food estate yang telah ditetapkan pemerintah di Kalimantan Tengah.

Tak masuk akal!
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa lahan 1 juta hektare itu terlalu luas untuk rencana awal. Food estate atau lumbung pangan secara sederhana adalah proyek pengelolaan lahan pangan berskala besar.

"Tidak masuk akal dan pasti gagal. Gitu aja lah kalau bicara 1 juta hektar pasti gagal. Terlalu  luas terus nanti yang garap siapa," kata Andreas dikutip pada Jum'at (26/4/2024).

Andreas lantas menyinggung soal food estate sejak zaman pemerintahan Soeharto pada 25 tahun lalu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo luas tanah yang dipakai juga berjuta hektare, namun akhirnya gagal. Menurutnya pemerintah harus konsisten dalam melakukan pembenahan.

"Kalau mau target ribuan hektar dulu lah. Puluhan ribu saja bukan sesuatu yang gampang sangat sulit. Mungkin kalau perkiraan saya sampai 50 ribu itu sudah super luar biasa," katanya.

Sampai saat ini Andreas mengaku belum tahu soal teknologi apa yang bakal diterapkan dalam adaptasi yang dilakukan Indonesia dari sawah Cina apakah benih atau irigasi. Dia menilai sebenarnya produksi padi di Indonesia jauh lebih baik dari negara lain.

Indonesia sebenarnya dari sisi kualitas benih sudah ada beberapa sudah ada yang dikembangkan Hasilnya cukup menjanjikan kalau dari sisi teknologi. "Cina mau bantu Indonesia yang mana dulu, atau bantu dari pendanaan dalam arti didanai semuanya karena pembiayaannya sangat besar".

"Apakah di sana atau pemerintah yang menyiapkan semuanya lalu Cina tinggal masuk ke Indonesia melakukan Budi daya terkait teknologi mereka kan bisa juga seperti itu kita masih belum jelas," tuturnya.

Menurutnya, yang perlu diperhatikan pemerintah jika ingin membuka lumbung pangan di Kalimantan Tengah yang perlu diperhatikan adalah proses kelola airnya. 

Andreas menyebut hal yang perhatikan dalam wilayah pembukaan baru yakni pengendalian hama dan penyakit, kelemahan lahan di Kalimantan Tengah yang merupakan gambut juga berpengaruh pada pengairannya.

"Tata kelola air sampai sekarang tidak beres nah kalau bisa diselesaikan dengan baik saya tidak melihat hal yang cukup berarti di sana. Cukup memungkinkan itu kalau tata airnya bisa dibenahi sehingga air ini bisa dikendalikan dengan baik," paparnya.

Sejak zaman Soeharto hingga sekarang menurut Andreas yang menyebabkan food estate gagal karena pemerintah melanggar kaidah akademik dan tidak konsisten soal kebijakan yang mana setiap ganti pemimpin maka ganti pula kebijakannya atau terlalu banyak pindah lokasi. 

Padahal pada permulaan setiap pemimpin langsung membuka lahan dengan skala besar.

Misal proyek di era Soeharto di Kalimantan Tengah tanah 1,45 juta hektar  gagal, 2 proyek SBY di Merauke seluas 1,2 hektar yang gagal, di Bulungan Timur seluas 300.000 hektar kembali gagal dan Ketapang Kalimantan Barat di tanah seluas 100.000 hektar tapi juga gagal. Kemudian proyek Jokowi di kawasan Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Papua Selatan.

Senada dengan Andreas, Direktur eksekutif lembaga riset The Prakarsa, Ah Maftuchan, mengatakan bahwa selama ini pemerintah kerap meluncurkan proyek-proyek food estate ambisius dengan luas lahan besar, tapi kebingungan mencari orang-orang untuk mengerjakannya.

"Yang akan mengerjakan siapa? Apa yang dilakukan dengan proyek [food estate] selama ini kan akhirnya melibatkan tentara. Tentara disuruh nanem. Apa itu? Enggak masuk akal," katanya.

Selain itu, Andreas bilang sawah yang ada mesti bisa menghasilkan setidaknya 4 ton gabah kering per hektare tiap kali panen. Bila tidak, biaya produksinya akan lebih besar daripada keuntungannya sehingga badan usaha yang terlibat akan merugi.

"Siapa yang mau bertani untuk rugi? Kalau badan usaha berusaha untuk rugi, enggak ada yang mau," jelasnya.

Bila satu saja dari empat pilar tersebut tak terpenuhi, maka proyek lumbung pangan hanya akan berujung kegagalan. Dan itulah yang terjadi pada berbagai proyek lumbung pangan di Indonesia dalam setidaknya 25 tahun terakhir.

Karena itu, bila pemerintah masih bersikeras mendorong pengembangan food estate melalui kerja sama dengan China, Andreas menilai itu akan sia-sia. "25 tahun gagal, lalu apakah kali ini kemudian berhasil? Ya jawabannya pasti gagal," tegasnya.

Maftuchan pun pesimistis melihat proyek 1 juta hektare lahan sawah di Kalimantan Tengah, meski pemerintah mengatakan akan mengembangkannya secara bertahap, dimulai dengan 100.000-200.000 hektare.

"Pemerintah jangan mengulang kegagalan yang sudah pernah terjadi terkait dengan megaproyek food estate. Meskipun bertahap, tapi 100.000-200.000 hektare itu tetap huge number untuk lahan pertanian," bebernya.

Dalam mengembangkan food estate seluas 1 juta hektare, lebih baik pemerintah memilih lahan di lokasi-lokasi tertentu dalam area itu yang memenuhi segala persyaratan, sejalan dengan empat pilar pembangunan lumbung pangan.

Lalu, pemerintah diusulkan membuka program transmigrasi untuk mendatangkan petani dari berbagai daerah untuk menggarap lahan-lahan pilihan tersebut.

"Dikembangkan mungkin hanya beberapa ratus hektare atau beberapa ribu hektare dulu di lokasi-lokasi yang betul-betul dipilih dengan saksama. Jadi, konsepnya pembangunan lahan pertanian yang berbasis petani kecil, bukan food estate," katanya lagi.

Opsi lainnya, menurut Maftuchan, pemerintah bisa fokus meningkatkan produktivitas lahan sawah yang sudah ada dibanding membuka lahan baru dengan luas "fantastis".

"Tinggal bagaimana pemerintah menemukan atau mencari teknologi dari berbagai negara, kemudian didorong produktivitasnya naik, pupuk diberesin, bibit diberesin, teknologi tepat guna diberesin, skill petani dinaikkan, dan seterusnya," kata Maftuchan.

"Itu justru akan lebih menjanjikan bagi saya dibanding mencetak lahan yang jumlahnya fantastis seperti itu. Karena siapa yang mengerjakan itu enggak jelas kan," katanya menjelaskan.

Potensi gagal
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori bukannya tidak mendukung transfer teknologi dari China. Namun, ia menegaskan jika kerja sama Indonesia-China termasuk dalam hal menyuplai benih padi dari luar negeri justru berpotensi mengalami kegagalan.

Penggunaan benih padi dari luar negeri ke Indonesia tidak selalu menjadi solusi baik dan bisa langsung diaplikasikan. Banyak hal yang perlu diperhatikan sebelum ini dilakukan, mulai dari adaptasi cuaca atau iklim, sifat tanah yang berbeda, serta hama penyakit.

Proses adaptasi ini, menurut Khudori tidak diketahui berapa lamanya. Selain itu, penanaman benih dari dari luar negeri juga belum tentu berhasil karena beberapa val, termasuk perbedaan cuaca antara Indonesia dan China. 

“Jangan lupa, China itu negara dengan empat musim, sementara Indonesia negara dengan dua musim. Perbedaan ini bakal memengaruhi karakter budidaya, karakter tanah, perilaku iklim/cuaca juga berbeda,” ujar Khudori, Jum'at (26/4/2024).

“Ahli di China bisa saja jagoan dalam pertanaman padi di sana, tapi ketika teknologi serupa diterapkan di Indonesia belum tentu berhasil. Hal ini mesti disadari para pengambil kebijakan,” imbuhnya.

Khudori mencontohkan kejadian pada 2007, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambangi China dan kepincut benih hibrida China. Negeri Tirai Bambu memang terkenal soal ini, karena di sana ada pengembangan dan penemu benih hibrida, Yuang Longping. Menurut mereka, produktivitas padi bisa mencapai 16 ton per hektare dengan menggunakan benih hibrida ini.

Tergiur dengan klaim tersebut, perusahaan Indonesia menjalin kerja sama dengan perusahaan China di bidang perbenihan. Namun menurut Khudori, belakangan diketahui ternyata benih padi hibrida yang diimpor dan dibagikan sebagai bagian dari bantuan benih kepada petani hasilnya tidak sesuai ekspektasi.

“Di beberapa tempat padi hibrida yang ditanam petani terserang penyakit. Ini menandakan, tidak mudah mengintroduksi sistem usahatani, benih salah satunya. Pasti butuh inovasi tambahan. Inovasi ketahanan penyakit misalnya,” jelas Khudori.

Ancam ekosistem gambut
Rencana Luhut mengembangkan sawah padi juga mendapat sorotan dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng Bayu Herinata. Menurut Bayu, rencana ini mengancam ekosistem gambut yang ada di Kalteng.

Buntutnya, jika ekosistem gambut rusak bisa menyebabkan efek domino karena dapat mengakibatkan kehilangan cadangan karbon, cadangan air sampai keanekaragaman hayati.

"Lahan yang disiapkan secara besar-besaran akan merusak ekosistem gambut selain itu padi sawah juga memerlukan sistem irigasi yang memerlukan lahan lebih luas," jelas Bayu, Jum'at (26/4/2024).

Menurut Bayu, sejumlah wilayah di Kalteng pernah melakukan praktik sawah padi. Namun, praktik yang dijalankan seperti program food estate di Gunung Mas dan Pulang Pisau hasilnya tak maksimal.

Selain berpotensi merusak lingkungan dan kurang menguntungkan, program sawah padi juga dikhawatirkan akan memengaruhi sosial dan budaya masyarakat lokal. 

Bayu menuturkan, masyarakat lokal di Kalteng menerapkan diversifikasi pangan, sehingga mereka mampu bertahan ketika menghadapi perubahan iklim dan cuaca esktrem karena tidak bergantung pada satu jenis pangan.

"Masyarakat lokal dari dulu terbukti mampu bertahan dengan sistem berladangnya, seharusnya cara itu tetap diapakai pemerintah," pungkasnya. (wan)

Topik:

Food Estate Sawah Kalteng Luhut