Pakar soal Korupsi Whoosh: KPK Bisa Periksa Bekas Presiden-Pejabat Negara, Kecuali "Iblis"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Oktober 2025 3 jam yang lalu
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI/Pribadi)
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar (Foto: Dok MI/Pribadi)

Jakarta, MI - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar, mengaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memanggil atau memeriksa siapa saja yang diduga mengetahui atau terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh).

"KPK bisa memanggil siapa saja yang diindikasikan korupsi. Jangankan bekas presiden, pejabat negara yang aktif pun bisa dipanggil, kecuali memanggil "iblis", itu yang tidak bisa," kata Abdul Fickar Hadjar, Rabu (29/10/2025).

Penyimpangan dalam proyek Whoosh, tegasnya, merupakan hal yang nyata. Pun, Abdul Fickar menduga bukti-bukti terkait dugaan korupsi tersebut sudah melekat pada pihak-pihak tertentu, baik pengambil kebijakan maupun pelaksana proyek.

“Yang penting ada indikasi bukti bahwa memang mereka diuntungkan atau menerima sesuatu dari pemilihan Whoosh pada KCIC, baik yang diterima langsung maupun melalui keluarga atau atas nama orang lain,” lanjut Abdul Fickar

Lantas Abdul Fickar menyinggung kabar yang menyebut harga proyek Whoosh mencapai tiga kali lipat dari nilai riilnya. “Karena kabarnya harga whoosh itu tiga kali lipat dari harga real-nya” tandasnya.

Sementara Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, menegaskan bahwa proyek tersebut menunjukkan lemahnya tata kelola pemerintahan dan dugaan adanya transaksi besar yang belum pernah diungkap ke publik. 

“Persoalan besar dari kereta cepat itu adalah tidak adanya good governance KPK jangan menunggu laporan masyarakat. Jokowi adalah salah satu yang harus diperiksa. Apakah ada transaksi besar antara Joko Widodo dengan China Development Bank? Itu perlu dibongkar,” ujarnya.

Menurut Ubedillah, sejak awal proyek ini dirancang sebagai kerja sama bisnis antar perusahaan atau business to business (B2B) antara konsorsium BUMN Indonesia dan Tiongkok. 

Namun, dalam perkembangannya, proyek tersebut justru melibatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui perubahan Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021. 

Menurutnya, perubahan kebijakan dari awal yang murni B2B menjadi melibatkan APBN mengindikasikan adanya motif tertentu di balik pergeseran itu. 

“Ada sesuatu yang disembunyikan. Harusnya KPK menyelidiki mengapa peraturan itu berubah dan kenapa biaya proyek bisa membengkak hingga triliunan rupiah,” lanjutnya menambahkan. 

Lebih lanjut, Ubedillah mengungkapkan bahwa biaya pembangunan per kilometer proyek kereta cepat di Indonesia mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan biaya pembangunan di Tiongkok. 

Dari rencana awal sekitar Rp86 triliun, proyek tersebut membengkak menjadi Rp118 triliun. Ia juga menyoroti keterlibatan sejumlah pejabat yang disebutnya harus dimintai pertanggungjawaban, termasuk Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri BUMN Erick Thohir, serta Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. 

“Luhut juga perlu dimintai keterangan. Kalau dia sendiri pernah menyebut proyek ini ‘sudah busuk dari awal’, maka pernyataan itu harus dipertanggungjawabkan. Apa yang dimaksud busuk itu? Apakah sistemnya, kontraknya, atau justru kebijakan presidennya?” jelas Ubedillah. 

Ubedillah lantas menyinggung pola kekuasaan era Joko Widodo yang menurutnya berorientasi pada pencitraan populis dan tidak transparan. Ia bahkan menyebut sejak awal kekuasaan Jokowi sudah menunjukkan gejala kleptokrasi dan haus kekuasaan. 

“Keluarga ini menggunakan strategi populisme untuk menutupi praktik korupsi dan nepotisme. Sudah terlihat sejak awal berkuasa. Bahkan dulu pernah bertanya kepada almarhum Rizal Ramli: ‘Bagaimana caranya jadi presiden dan bisa kaya?’ Itu menggambarkan motif kekuasaan yang salah arah,” tegasnya. 

Ubedillah menilai pembangunan proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat dan Ibu Kota Negara (IKN) sebagai bentuk kesesatan berpikir dalam tata kelola negara. “Memaksakan diri membangun sesuatu yang mercusuar di tengah rakyat yang susah itu cara berpikir yang sesat. Ini bukan soal kebanggaan, tapi tentang beban utang negara dan kesejahteraan rakyat yang terabaikan,” jelasnya. 

Maka dari itu, dia mendesak agar KPK segera memeriksa semua pihak yang terkait, termasuk Presiden Joko Widodo dan Luhut Binsar Pandjaitan, untuk mengungkap dugaan penyimpangan dalam proyek strategis nasional tersebut.

Apa kata KPK?

Juru bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan lembaga antirasuah saat ini masih fokus untuk merampungkan penyelidikan. Sehingga, KPK belum bisa membeberkan substansi perkara dan pihak yang akan dimintai keterangan. 

"Kita fokus dulu, ini penyelidikan masih progres, jadi memang secara detail substansinya, pihak-pihak yang dimintai keterangan siapa saja, materinya apa, memang belum bisa kami sampaikan secara rinci," kata Budi, Selasa (28/10/2025). 

Luhut memang memainkan peran vital dalam pembangunan proyek di era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo itu. Kala itu, Luhut yang menjabat Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi ditunjuk Jokowi menjadi Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta–Bandung.

Penugasan tersebut termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.

Belakangan, Luhut meminta utang yang dihasilkan dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) agar direstrukturisasi. 

Permintaan itu disampaikan Luhut lantaran saat proyek dibangun di Indonesia memang sudah dalam kondisi bermasalah. Dengan kata lain, awal mula proyek tersebut sudah dipastikan menimbulkan beban.

"Itu kan tinggal restructuring saja. Siapa yang minta APBN? Tak ada yang minta APBN. Restructuring saja. Saya sudah bicara dengan China. Karena saya yang dari awal mengerjakan itu karena saya terima sudah busuk itu barang," kata Luhut di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

KPK mengatakan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek Whoosh sudah dimulai sejak awal 2025. Budi mengatakan secara umum lembaga antirasuah tengah mencari keterangan-keterangan yang dibutuhkan untuk membantu mengungkap perkara ini. 

Kendati demikian, KPK belum mengelaborasi jumlah dan identitas pihak yang sudah dimintai keterangan. KPK juga belum mau menjelaskan jenis praktik lancung yang ada dalam proyek era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo ini. 

"Memang masih di tahap penyelidikan, informasi detail terkait dengan progres atau perkembangan perkaranya, belum bisa kami sampaikan secara rinci," tandas Budi.

Topik:

KPK Korupsi Kereta Cepat Korupsi Whoosh Jokowi Luhut Mark Up Kereta Cepat Whoosh