Prancis Dukung Pengadilan Kejahatan Perang di Ukraina atas Pejabat Rusia

John Oktaveri
John Oktaveri
Diperbarui 2 Desember 2022 05:33 WIB
Jakarta, MI - Prancis menjadi negara Barat utama yang pertama yang secara terbuka mendukung pembentukan pengadilan khusus untuk mengadili pejabat senior Rusia atas tuduhan kejahatan perang di Ukraina. Salah satu pejabat yang akan didakwa itu adalah Presiden Rusia Vladimir Putin atas kejahatan agresi di Ukraina. Kementerian luar negeri Prancis menyatakan bahwa pihaknya sedang bekerja dengan mitra Eropa dalam proposal tersebut. Pernyataan itu muncul setelah Uni Eropa dan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen memberikan dukungan untuk pengadilan tersebut dalam pidatonya tentang rencana blok tersebut untuk Ukraina. Mereka yang akan dijadikan terdakwa di pengadilan semacam itu adalah yang memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang terlibat dalam melakukan kejahatan agresi, termasuk pelanggaran perbatasan Ukraina oleh militer Rusia. Dengan demikian para terdakwa kemungkinan hanya sedikit, termasuk Putin serta tokoh lain seperti Menteri Luar Negeri, Sergei Lavrov, dan Menteri Pertahanan, Sergei Shoigu. Jika mereka dihukum, bahkan secara in absentia, hukuman itu akan merusak hubungan saat ini dengan Rusia dengan melabeli Putin dan timnya sebagai penjahat internasional. Dengan demikian, tidak mungkin baginya untuk duduk di meja perundingan. Pengumuman Prancis itu merupakan indikator kuat bahwa pihak Barat kecewa dengan prospek negosiasi dengan Rusia. Uni Eropa menginginkan pengadilan khusus karena Rusia belum menandatangani perjanjian pengadilan pidana internasional (ICC) sehingga mengabaikan pengadilan di Den Haag tanpa yurisdiksi atas "kejahatan agresi" yang dilakukan oleh pemerintah Rusia. ICC dapat menilai kejahatan perang tertentu dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Ukraina meskipun Putin dan menteri utamanya mempertahankan kekebalan dari penuntutan saat menjabat. Ukraina mulai mengkampanyekan pembentukan pengadilan khusus pada bulan April, tetapi menghadapi penolakan dari sekutu Barat-nya. Selama berbulan-bulan, negara itu mendapatkan dukungan hanya dari negara-negara Eropa timur seperti Polandia dan negara-negara Baltik. Dalam sebuah wawancara pada bulan September, Andrii Smyrnov, yang memimpin pembentukan pengadilan atas nama kantor kepresidenan Ukraina, mengatakan keengganan Barat menunjukkan bahwa pihaknya masih ingin membiarkan pintu terbuka untuk negosiasi dengan Rusia. Von der Leyen mengatakan pada hari Rabu bahwa setiap pengadilan akan memerlukan dukungan PBB. Dia mengusulkan untuk mendirikan pengadilan internasional yang independen atau pengadilan khusus dalam sistem peradilan nasional. Sedangkan Ukraina menyatakan jumlah negara yang mendukung pengadilan semacam itu adalah kunci untuk menegakkan hukuman apa pun. Keputusan Prancis itu keluar setelah kunjungan delegasi pejabat senior Ukraina. Pejabat Kepresidenan Ukraina mengatakan delegasi akan mengunjungi sekutu lain pada bulan Desember dengan harapan mengumpulkan lebih banyak dukungan publik. Mereka akan mengunjungi Berlin terlebih dahulu, diikuti oleh Washington dan berakhir di London. Para pejabat sudah mengetahui bahwa Rusia, anggota tetap Dewan Keamanan PBB, akan memveto langkah semacam itu. Namun demikian, mereka bermaksud mengajukan resolusi dan, setelah ditolak, mencari dukungan dari Majelis Umum PBB. Seorang pejabat UE mengatakan mereka mengharapkan "jumlah suara yang cukup baik" di PBB untuk mendukung gagasan tersebut.