AS: Mahkamah Internasional PBB Seharusnya Tak Keluarkan "Advisory Opinion” soal Israel Harus Tinggalkan Wilayah Pendudukan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Februari 2024 19:18 WIB
Tentara Israel di kota Hebron, Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel (Foto: Ist)
Tentara Israel di kota Hebron, Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Amerika Serikat hari Rabu (21/2) mengatakan Mahkamah Internasional PBB seharusnya tidak mengeluarkan “advisory opinion” yang mengatakan bahwa Israel harus "segera dan tanpa syarat” menarik diri dari wilayah-wilayah yang diupayakan sebagai negara Palestina, tanpa mendapat jaminan keamanan sebagai imbalannya.

Penjabat penasihat hukum Departemen Luar Negeri Amerika, Richard Visek, mengatakan kepada panel 15 hakim di Mahkamah Internasional PBB di Den Haag bahwa mahkamah itu tidak boleh berusaha menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung selama beberapa dekade "lewat advisory opinion yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berfokus pada tindakan satu pihak saja," yaitu Israel.

"Setiap gerakan menuju penarikan Israel dari Tepi Barat dan Gaza membutuhkan pertimbangan kebutuhan keamanan Israel yang sangat nyata," katanya.

Pembelaan Amerika terhadap Israel muncul pada hari ketiga sidang dengar pendapat yang berlangsung selama satu minggu.

Majelis Umum PBB meminta advisory opinion yang tidak mengikat tentang legalitas kebijakan Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem timur dan Jalur Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967.

Lima puluh dua negara memberikan pandangan mereka mengenai pendudukan Israel, di mana sebagian besar menuntut agar Israel menyerahkan kendali kepada Palestina.

Visek mengatakan Mahkamah Internasional PBB "dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di hadapannya dalam kerangka kerja yang telah ditetapkan berdasarkan prinsip tanah untuk perdamaian dan dalam parameter prinsip-prinsip hukum pendudukan yang telah ditetapkan."

Namun pendapat apapun yang diberikan "akan memiliki konsekuensi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan bagi upaya yang sedang berlangsung dari semua pihak yang bekerja untuk mencapai perdamaian yang langgeng."

Menlu Palestina Minta PBB Tegakkan Hak Rakyat Palestina

Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki meminta pengadilan itu untuk menegakkan hak Palestina guna menentukan nasib sendiri, dan menyatakan "bahwa pendudukan Israel adalah ilegal dan harus diakhiri dengan segera, secara total dan tanpa syarat."

Dengan perang Israel melawan militan Hamas di Gaza yang kini memasuki bulan kelima, Amerika terus memajukan gagasan negara Palestina, meskipun para pemimpin Israel tetap menentangnya.

Konsep wilayah untuk perdamaian telah senantiasa digaungkan dalam diplomasi yang dipimpin Amerika selama beberapa dekade dan merupakan dasar dari Perjanjian Camp David tahun 1979 antara Israel dan Mesir, di mana Israel menarik diri dari Semenanjung Sinai dengan imbalan perdamaian dan pengakuan diplomatik dari Mesir.

Namun upaya perdamaian Israel-Palestina telah sejak lama digagalkan karena serangan kelompok militan Palestina, perluasan pemukiman Israel di wilayah pendudukan, dan ketidakmampuan kedua belah pihak untuk menyepakati isu-isu pelik, seperti perbatasan akhir, status Yerusalem, dan nasib para pengungsi Palestina.

Perang Israel-Hamas berkecamuk sejak tanggal 7 Oktober lalu ketika kelompok militan Hamas menyerang bagian selatan Israel dan menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menculik dan menyandera 250 orang lainnya. Israel melancarkan balasan dengan serangkaian serangan darat dan udara, yang hingga hari Rabu (21/2) telah menewaskan lebih dari 29.000 orang. Lebih dari 70% korban tewas itu adalah perempuan dan anak-anak.

Amerika menyampaikan pandangannya sehari setelah memveto resolusi PBB yang didukung luas negara-negara Arab dan sejumlah negara lain yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera dalam perang Israel-Hamas itu. Amerika mengatakan resolusi itu akan mengganggu perundingan untuk membebaskan sekitar 100 sandera yang tersisa.