Gempa Myanmar: 1.600 Orang Tewas, Korban Selamat Dicari Pakai Tangan Kosong


Myanmar, MI - Kekurangan peralatan yang parah, jaringan komunikasi yang tidak merata, serta jalan dan jembatan yang rusak telah menghambat pencarian korban selamat setelah gempa bumi magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar, pada Jumat (28/3/2025).
Sejumlah penduduk setempat di beberapa daerah mengatakan bahwa mereka harus menggali reruntuhan untuk mencari korban selamat dengan tangan kosong.
Gempa tersebut telah menewaskan lebih dari 1.600 orang dan meratakan sebagian besar Mandalay—kota terbesar kedua di Myanmar yang dihuni sekitar 1,5 juta orang dan berjarak 60 kilometer dari pusat gempa di barat laut Kota Sagaing.
Junta militer Myanmar yang merebut kekuasaan pada 2021 tidak lagi menguasai sebagian besar negara setelah perang saudara selama empat tahun melawan kelompok pemberontak.
Meskipun junta telah mengajukan permohonan bantuan internasional, mereka terus melakukan serangan udara dan serangan drone terhadap kelompok-kelompok bersenjata.
Upaya penyelamatan telah berlangsung sejak Jumat (28/32025) dan bantuan internasional telah mulai masuk ke Myanmar, namun bantuan belum mencapai daerah yang paling terdampak.
Kerusakan pada jalan raya utama penghubung Yangon, Ibu Kota Naypyidaw, dan Mandalay telah menyebabkan gangguan transportasi yang parah, kata badan kemanusiaan PBB, OCHA. Ada pula kekurangan pasokan medis termasuk peralatan P3K, kantong darah, anestesi, obat-obatan penting, dan tenda untuk petugas kesehatan, kata badan tersebut.
Pada Sabtu (29/03), tim penyelamat di Kota Sintkai di Distrik Kyaukse, Mandalay, mengeluarkan sejumlah orang yang terjebak di reruntuhan sekolah swasta. Enam orang—lima perempuan dan satu laki-laki—meninggal dunia saat tim penyelamat tiba. Di antara para korban adalah siswa, guru, dan staf sekolah.
Kurangnya peralatan sangat memperlambat upaya penyelamatan, kata seorang pekerja kepada BBC Burma. "Kami hanya mengandalkan peralatan yang kami miliki. Kami telah berusaha selama berjam-jam untuk mengeluarkan seorang perempuan yang terjebak di bawah reruntuhan sekolah."
Pekerja lain di Mandalay mengatakan kepada wartawan BBC di Yangon bahwa komunikasi hampir tidak mungkin dilakukan.
"Hal utama adalah kami tidak memiliki jaringan internet, kami tidak memiliki jaringan telepon, jadi sangat sulit untuk saling terhubung. Tim penyelamat telah tiba. Namun kami tidak tahu ke mana mereka akan pergi, karena jaringan telepon terputus."
Seorang warga Mandalay mengatakan orang-orang berusaha sebaik mungkin dalam situasi yang kacau ini.
"Tidak ada koordinasi dalam upaya penyelamatan, tidak ada yang memimpin mereka, atau memberi tahu mereka apa yang harus dilakukan. Penduduk setempat harus berjuang sendiri. Jika mereka menemukan mayat di reruntuhan, mereka bahkan tidak tahu ke mana harus mengirim mayat; rumah sakit kewalahan dan tidak mampu mengatasinya," kata warga tersebut.
Bangunan dinas pemadam kebakaran di Sagaing ambruk sehingga menimpa truk-truk pemadam kebakaran.Sumber gambar,Istimewa
Keterangan gambar,Kantor dinas pemadam kebakaran di Sagaing ambruk sehingga menimpa truk-truk pemadam kebakaran.
Junta militer memperkirakan jumlah bangunan yang rusak di wilayah Mandalay, yang merupakan episentrum gempa, mencapai lebih dari 1.500 unit.
Pemadaman listrik telah memperburuk situasi, dan menurut para pejabat Myanmar, pemulihan listrik bisa memakan waktu berhari-hari.
Bandara Mandalay tidak berfungsi karena landasan pacu rusak akibat gempa.
Dewan militer mengatakan bahwa mereka telah berupaya untuk melanjutkan operasi dan rumah sakit sementara, kamp bantuan medis, dan tempat penampungan telah didirikan di sana.
Junta militer masih melakukan serangan
Di tengah kondisi ini, junta militer masih melancarkan serangan udara terhadap kelompok-kelompok pemberontak.
Sebanyak tujuh orang tewas dalam serangan udara di Naungcho di Negara Bagian Shan. Serangan ini terjadi sekitar pukul 15:30 waktu setempat, kurang dari tiga jam setelah gempa terjadi.
Kelompok pemberontak pro-demokrasi yang berjuang untuk menyingkirkan militer dari kekuasaan telah melaporkan serangan udara di Kota Chang-U di wilayah Sagaing tengah, pusat gempa. Ada juga laporan serangan udara di wilayah dekat perbatasan Thailand.
Pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, mendesak junta untuk menghentikan serangan.
"Masalahnya masih ada operasi militer yang sedang berlangsung saat ini... Serangan oleh junta militer," katanya .
"Saya menyerukan kepada junta untuk berhenti, menghentikan semua operasi militernya. Ini benar-benar keterlaluan dan tidak dapat diterima."
Pusat gempa
Pusat gempa terletak 16 kilometer di barat laut Kota Sagaing di Myanmar, merujuk data Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS).
Lokasi itu berada dekat dengan kota terbesar kedua di Myanmar, Mandalay, yang berpenduduk sekitar 1,5 juta orang. Lokasi ini berjarak sekitar 100 kilometer di utara ibu kota Naypyidaw.
Gempa pertama terjadi 28 Maret lalu, sekitar pukul 12:50 waktu setempat, menurut data USGS. Gempa susulan terjadi 12 menit kemudian, dengan kekuatan magnitudo 6,4.
Pusat gempa kedua ini berada 18 kilometer di selatan kota Sagaing, Myanmar.
Merujuk pemodelan yang dilakukan USGS, gempa tersebut diperkirakan menewaskan ribuan orang. Perkiraan yang sama dibuat Pager, sistem otomatis dari Badan Geologi Amerika Serikat.
Dampak gempa ini terasa hingga ke negara-negara tetangga, seperti China dan Thailand.
Di Bangkok, Thailand, video yang beredar di media sosial menunjukkan air menyembur keluar dari kolam renang di atap gedung dan mengucur ke jalan-jalan di bawahnya.
Sejauh ini terdapat 11 orang meninggal dunia di Bangkok akibat gempa. Terdapat pula 32 yang terluka dan 83 orang yang hilang di kota itu, menurut Pemerintah Kota Bangkok.
Gempa juga menyebabkan sebuah gedung pemerintah yang sedang dalam proses pembangunan di dekat Taman Chatuchak di Bangkok runtuh.
Dalam sebuah unggahan di Facebook, disebutkan bahwa ada sekitar 320 pekerja di lokasi tersebut pada saat insiden terjadi, dan 20 orang terjebak di terowongan lift.
Otoritas SAR Thailand telah menemukan tanda-tanda kehidupan 15 orang yang terjebak di bawah reruntuhan. Tim penyelamat tengah berupaya memindahkan bagian yang runtuh dengan alat berat. Mereka menyatakan akan terus berusaha "untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa".
Gempa bumi relatif lebih sering terjadi di Myanmar dibandingkan dengan Thailand. Antara tahun 1930 dan 1956, terjadi enam gempa bumi dahsyat dengan magnitudo 7,0 di dekat Sesar Sagaing, yang membentang di bagian tengah negara tersebut, menurut laporan kantor berita AFP yang mengutip USGS.
Seorang pejabat Myanmar mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa sebuah rumah sakit besar di ibu kota Naypyidaw telah menjadi "daerah dengan korban berlimpah" setelah gempa.
Jalan-jalan di sekitarnya rusak akibat gempa dan rute menuju RS itu macet total.
Di RS dengan 1.000 tempat tidur itu, korban luka dirawat di jalanan di luar, infus tergantung di brankar mereka.
Beberapa orang tampak menggeliat kesakitan, sementara yang lain terbaring diam sementara kerabat berusaha menghibur mereka.
Dewan militer Myanmar juga menyatakan RS yang dikelola pemerintah di Mandalay, Sagaing, dan Naypyidaw penuh dengan pasien yang terluka akibat gempa bumi dan pemerintah meminta masyarakat untuk menyumbangkan darah bagi para pasien.
Seorang pengembang properti terkenal mengatakan bahwa banyak propertinya yang retak, sangat banyak bangunan runtuh, dan situasinya benar-benar buruk di Mandalay.
Dewan militer Myanmar menyatakan bahwa Sagaing, Mandalay, Magway, Bago, Negara Bagian Shan Timur, dan Naypyidaw berada dalam situasi darurat.
Mereka kini memprioritaskan penyelidikan kerusakan dan upaya penyelamatan di area-area tersebut.
Informasi terkini langsung dari Myanmar sulit diperoleh, utamanya karena Myanmar diperintah oleh junta militer sejak kudeta pada 2021. Pemerintahan yang ada mengendalikan hampir semua radio, televisi, media cetak, dan media daring setempat. Penggunaan internet juga dibatasi.
Topik:
Gempa Myanmar Gempa