Proses Mewujudkan RUU PKS Jadi UU, Terganjal Penolakan Masif

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 29 Juli 2021 10:12 WIB
Monitorindonesia.com - Dalam proses mewujudkan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU PKS), banyak diwarnai gerakan penolakan yang masif dari kelompok-kelompok yang menyuarakan penolakan atas pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut oleh DPR dan Pemerintah. Hal ini diungkap Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI)/Pemerhati Isu Gender, Endah Triastuti kepada wartawan di Jakarta, Kamis (29/7/2021) terkait kelanjutan pembahasan RUU PKS tersebut. Menurut Endah, gerakan penolakan RUU PKS itu, ditopang adanya framing sejumlah media digital dan gerakan sejumlah institusi yang gencar menyuarakan penolakan RUU PKS. “Media digital, dengan segala proses sosial yang mengikutinya membentuk persepsi banyak orang. Sehingga gerakan-gerakan tersebut, menjadi kontraproduktif terhadap berbagai upaya dalam pengesahan RUU PKS hingga saat ini,” sebutnya. Sebelumnya dalam sebuah diskusi Hakim Pengadilan Tinggi Bali, Ihat Subihat menilai makna frase kekerasan adalah dilakukan sepihak dengan pemaksaan, jadi upaya kriminalisasi terhadap rumusan delik yang diurai dalam definisi RUU tentang kekerasan seksual memudahkan hakim dalam merumuskan fakta persidangan. “Mengapa demikian? Karena seringkali terjadi kasus kekerasan seksual bila dianggap tidak dilakukan dengan kekerasan, tidak bisa dijatuhi pidana dan bukan perbuatan melawan hukum,” sebut dia. Pada kondisi saat ini, sejumlah fakta persidangan perlu diidentifikasi dengan benar seperti antara lain ketidaksetaraan status sosial para pihak yang berperkara, adanya diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban, dan relasi kuasa yang menyebabkan korban/saksi tidak berdaya, demikian Ihat Subihat. (Ery)

Topik:

nasib ruu pks