Pengamat Ungkap Audit PT Summarecon Agung oleh Kantor Akuntan Publik

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Juni 2022 11:00 WIB
Jakarta, MI - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria, mengungkapkan bahwa dalam Laporan Tata Kelola Perusahaan PT Summarecon Agung Tbk (Persero) dengan 60 anak perusahaannya Tahun 2020 tertulis audit terakhir dilakukan Tahun 2019 oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwantoro, Sungkono dan Surja (afiliasi Ernst & Young) dengan biaya audit sebesar 6 milyar rupiah dimana dilaporkan Dewan Direksi pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RPUST) tanggal 12 Agustus 2020. "Putusan RUPST 2020 diangkat Komite Audit Perusahaan yang diketuai Lexy Arie Tumiwa merangkap Komisaris Independen PT Summarecon Agung Tbk (Persero)," kata Kurnia kepada Monitor Indonesia.com, Rabu (29/6). Menurut Kurnia, dalam Laporan Tata kelola Perusahaan Tahun 2020 itu belum tercantum anak perusahaan PT. Java Orient Property dan tidak tercantum PT SA akan membangun apartemen di Yogyakarta. "Dalam struktur organisasi Perusahaan juga tidak terdapat posisi Vice Presiden PT SA yang dijabat Oon Nusihono," ungkapnya. "VP PT SA Oon Nusihono pernah tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi kasus OTT Tipikor Walikota Bekasi Rahmat Effendi (Pepen) sebesar 1 milyar rupiah dalam dua kali transfer ke Rekening Yayasan Pendidikan milik keluarga Pepen yang kemungkinan besar fee mempelancar proses periinan pembangunan kota Mandiri Summarecon Bekasi," jelas dia. Sehingga menurut Kurnia, fee kepada Kepala Daerah sudah menjadi modus operandi dalam mempermudah keluarnya surat ijin pembangunan property di wilayah kerja Kepala Daerah yang diminta melalui Kepala Dinas terkait. "Dan pemberian pihak swasta kepada pihak Eksekutif biasanya melalui ajudan ataupun transfer ke rekening badan usaha atau yayasan sosial milik keluarga Kepala Daerah atau orang kepercayaan (asisten pribadi) Kepala Daerah yang biasanya lebih berkuasa mengatur proyek daripada Kepala Dinas terkait," ungkapnya. Dewan Direksi juga, kata Kurnia, kemungkinan besar menyetujui pemberian fee. Apalagi Tahun 2020 saja, lanjut Kurnia, PT Summarecon Agung Tbk. (Persero) yang mempunyai anak perusahaan 60 PT lebih melebarkan sayap pengembangan property Summarecon di Yogya dengan membangun Apartemen di lokasi strategis Malioboro walaupun daerah tersebut daerah cagar budaya, perlu ijin khusus Kepala Daerah. "PT SA perlu meningkatkan omset Penjualan property di lokasi baru. Dan posisi VP PT SA yang bukan termasuk Dewan Direksi ini saya duga yang bertugas membantu memperlancar proses pengembangan property anak perusahaan PT SA yang lebih dari 60 PT," kata dia. Sementara itu, dalam laporan Audit Tahunan yang dilakukan KAP terpublikasi terakhir tahun 2019 dimana PT SA menunjukkan penjualan harga saham yang tidak menguntungkan terhitung 7 Mei 1990 ditawarkan Rp6.800,-/saham tetapi tercatat 24 Juni 2022 hanya bernilai Rp 585,-/saham dimana deviden dibagikan tahun 2019 hanya Rp5,-/saham. "Jika pemegang saham PT SA, minoritas meminta Audit Tahun 2022 pertriwulan dipublikasi dimana dilaporkan nilai pendapatan penjualan property sudah 1,4 rilyun rupiah dimana tahun 2021 hanya dibawah 1 trilyun rupiah," katanya. "Jika sebagai pemilik saham PT SA tidak berharap harga saham terus turun tetapi harus naik supaya saya mendapatkan keuntungan dari bisnis investasi saham PT SA, tidak terlalu berharap dengan deviden saham yang belum tentu ada tiap tahun," jelasnya. "Dan bila sebagai pemilik saham minoritas PT SA berharap dan memaksa pihak Direktorat Jampidsus Kejagung RI lebih mendalami hasil proses pemeriksaan Dewan Direksi PT SA dan juga memeriksa Dewan Komisaris PT SA," harapnya. "Seharusnya Komite audit perusahaan harus bisa mencegah hal ini terjadi berulang-ulang atau memang tidak bisa dicegah demi kepentingan proyek property PT SA sendiri," imbuhnya.
Berita Terkait