Pedangdut Tisya Erni Dipolisikan, Menilik Pasal Perzinaan dalam KUHP Baru

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Maret 2024 15:22 WIB
Ilsutrasi - Perzinaan (Foto: MI/Net/Ist)
Ilsutrasi - Perzinaan (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Pedangdut Tisya Erni dipolisikan oleh seorang ibu rumah tangga warga negara Korea Selatan, Amy, terkait dugaan perzinaan hingga menghalangi pemberian ASI eksklusif untuk bayi kandung Amy yang baru berusia empat bulan.

Laporan ini dilayangkan Amy ke Polda Metro Jaya, Selasa 6 Maret 2024. Selain Tisya Erni, Amy juga turut melaporkan seseorang berinisial WMG.

"Terkait adanya dugaan peristiwa pidana perzinaan dan atau menghalangi pemberian asi eksklusif, terlapornya dua orang saudara WMG dan saudari ES alias TE," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi kepada wartawan, Jumat (8/3/2024).

Kendati demikian, Ade Ary belum membeberkan soal duduk perkara laporan tersebut. Ia hanya menyebut laporan tersebut masih didalami penyidik.

Sekedar tahu, bahwa ketentuan perzinaan itu masuk kategori delik aduan, di mana pihak yang bisa melakukan pengaduan yakni suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. 

Kemudian orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan itu dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di pengadilan belum dimulai.

Dalam KUHP peninggalan kolonian Beladan yang digunakan saat ini, perzinaan hanya untuk orang yang terikat dalam perkawinan. 

Tapi UU Nomor 1 tahun 2023 mengatur perzinaan secara lebih luas. Pasal 411 ayat (1) KUHP menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.

Kendati, pasal perzinaan ini dipermasalahkan dalam KUHP terbaru adalah Pasal 415 dan 416. Dalam Pasal 415 ayat (1) disebutkan bahwa:

Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. 

Sementara itu, dalam Pasal 416 ayat (1) disebutkan bahwa:

Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan.

Jika membaca sekilas pasal-pasal tersebut, kekhawatiran Apindo atau PHRI dapat dimaklumi. Namun, sejatinya pidana perzinaan dalam pasal tersebut merupakan delik aduan, sebagaimana diterangkan pada ayat-ayat sesudahnya.

Pasal 415 dan 416 memiliki bunyi ayat (2) yang serupa, yaitu:

(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, perzinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 dan 416 KUHP tidak bisa diproses pidana tanpa adanya aduan terlebih dahulu, entah itu dari pasangan sahnya masing-masing bagi yang terikat perkawinan, atau dari orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan.

Masyarakat maupun penegak hukum tidak bisa asal memproses pasangan yang diduga melakukan perzinaan tanpa adanya aduan terlebih dahulu. Perzinaan juga tidak bisa diproses pidana jika aduannya berasal dari pihak-pihak selain yang telah ditetapkan dalam KUHP.

Pasangan bukan suami istri yang menginap bersama dalam satu kamar memang dapat ditindak pidana dengan ancaman hukuman yang telah disebutkan, tetapi baru bisa diproses hukum setelah adanya aduan dari pasangan sah, orang tua, atau anaknya.

Pasal perzinaan sebelum RUU KUHP 2022

Pasal perzinaan bukan hal baru dalam RUU KUHP. Sebelumnya, pasal tersebut sudah lama ada dengan substansi hampir serupa. 

Dalam KUHP peninggalan Belanda yang berlaku sekarang, pidana perzinaan diatur dalam Pasal 284. Perbuatan zina pada KUHP ini disebut dengan gendak (overspel) dan hanya mengatur gendak bagi pria atau wanita yang telah kawin. Pada ayat (2) disebutkan bahwa "tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar".

Dalam RUU KUHP 2012, pidana perzinaan ada dalam Pasal 483. Sementara itu, RUU KUHP 2018 mengatur pidana perzinaan dalam Pasal 460. Dalam rancangan keduanya, perbuatan zina diperinci ke dalam lima kategori, yang masing-masing merujuk kepada persetubuhan yang dilakukan di luar pernikahan, baik oleh pria atau wanita yang sudah kawin atau belum.

Perbedaannya sendiri terdapat di pihak-pihak yang bisa mengadukan perbuatan tersebut. Dalam RUU KUHP 2012, disebutkan bahwa “tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar”. Sedangkan RUU KUHP 2018 menulis “tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anak”.

Dalam RUU KUHP terbaru, perbuatan zina diringkas dalam kalimat “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya”, dan pidana penjaranya menjadi maksimal 1 tahun.

Namun RUU KUHP justru dinilai lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang berasaskan Pancasila, di mana Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan setiap tindakan manusia.

Berita Terkait