MK Terima Sahabat Pengadilan dari Ratusan Guru Besar dan Masyarakat Sipil, Ini Isinya

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 29 Maret 2024 18:57 WIB
MK Terima Sahabat Pengadilan dari Ratusan Guru Besar dan Masyarakat Sipil (Foto: Ist)
MK Terima Sahabat Pengadilan dari Ratusan Guru Besar dan Masyarakat Sipil (Foto: Ist)
Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima pengajuan Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk majelis hakim yang mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres Tahun 2024 dari aliansi akademisi dan masyarakat sipil pada Kamis (28/3/2024) kemarin.
 
Amicus Curiae itu diterima oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol MK Budi Wijayanto serta Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama dalam Negeri Andi Hakim, Jum'at (29/3/2024).
 
Budi mengatakan, pihaknya akan menyampaikan Amicus Curiae ini kepada Ketua MK Suhartoyo dan hakim lainnya. Ia juga mengapresiasi atas perhatian yang disampaikan aliansi akademisi dan masyarakat sipil.
 
Sebelumnya, Sebanyak 300 orang yang terdiri dari akademisi, lembaga, dan warga sipil mengirimkan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan sengketa hasil Pilpres yang tengah diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan 03 Ganjar Pranowo-Mahfud Md. 
 
Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengonfirmasi pemberian amicus curiae itu kepada MK.  "Prof  Sulistyowari Iriani (Guru Besar UI) dan saya yang akan hadir," kata Ubedilah.
 
Berdasarkan dokumen yang diterima, Amicus curiae ini terdiri dari 27 halaman. Dalam dokumen, ada 300 orang yang membubuhkan nama dalam berkas tersebut.
 
Isinya membahas mengenai Komisi Pemilihan Umum atau KPU yang salah menilai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam menentukan penetapan cawapres.
 
Secara rinci, ada tiga kesimpulan dan rekomendasi dalam amicus curiae ini. Pertama, KPU salah memaknai Putusan 90 yang merupakan putusan pluralitas dalam menetapkan cawapres nomor urut 02 Gibran Rakabuming Raka.
 
Kedua, kesalahan KPU dalam memaknai Putusan 90 menyebabkan penetapan cawapres nomor urut 02 dalam Keputusan KPU 1632/2023 adalah perbuatan yang batal demi hukum (null and void).
 
Sebab, Gibran dinilai sejak awal tidak memenuhi persyaratan menurut Putusan 90 yang memperluas persyaratan pencalonan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 hanya untuk yang berpengalaman sebagai gubernur.
 
Ketiga, dengan tidak dipenuhinya persyaratan sebagai cawapres, seharusnya menjadikan MK dengan segala kebijaksanaannya tidak ragu untuk menyatakan diskualifikasi Gibran, sebagaimana preseden pendirian MK dalam putusan-putusan sebelumnya yang mendiskualifikasi paslon yang tidak memenuhi syarat pencalonan.

 

Berita Terkait