Para Tersangka Penipuan Investasi Rp165 Miliar Tak Kunjung Diadili, Ada Apa dengan Kejati DKI?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 14 Mei 2024 13:58 WIB
Kejaksaan Tiggi (Kejati) DKI Jakarta (Foto: Dok MI/Aswan)
Kejaksaan Tiggi (Kejati) DKI Jakarta (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Sebanyak 6 tersangka kasus dugaan penipuan investasi terkait proyek pengadaan bahan makanan/ sembako di Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 165 miliar hingga saat ini tak kunjung diadili.

Keenam tersangka sebelumnya telah dijebloskan ke jeruji besi yakni, Direktur Utama PT. Green Pangan Sejahtera, Asty Setiautami; Dirut PT. Global Semesta, Yogi Hartarto; Andrew Makmuri; Alman Faluti; Rayni Hari Masud; dan Budi Herawan.

Sementara berkas perkaranya hingga saat ini diduga tak kunjung dilimpahkan oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta ke penuntut umum untuk dimejahijaukan. Bahkan beredar kabar bahwa para tersangka dikeluarkan dari tahanan, lantaran telah habisnya masa penahanan dari Kejati DKI.

Monitorindonesia.com, Selasa (14/5/2024) telah mengonfirmasi perkembangan kasus ini kepada pihak Kejati DKI Jakarta, namun belum memberikan jawaban. Begitu pun juga dengan Kajati DKI Jakarta, Rudi Margono belum berhasil dikonfirmasi. Pesan WhatsaApp yang dikirimkan pun hanya ceklis satu.

Lantas, jika tersangka berkas perkaranya belum lengkap (belum P 21) apakah bisa dilepaskan dan dibebaskan dari segala proses hukum yang menjeratnya?

Penting diketahui dan digarisbawahi bahwa P-21 merupakan kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana sebagai pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. 

Ini artinya, jika perkara belum dinyatakan P-21 (hasil penyidikan belum dinyatakan lengkap), maka perkara belum siap dilimpahkan ke kejaksaan sehingga pelaku yang diduga melakukan tindak pidana itu masih berstatus tersangka. 

Dalam hal ini, tersangka itu tidak bisa dilepaskan dan dibebaskan begitu saja dari segala proses hukum yang menjeratnya. Hal ini karena proses hukum tetap berjalan. Artinya, penyidikan tetap dilakukan. Seseorang bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan.

Mengenai “dibebaskan atau dilepaskan”, seseorang dapat dibebaskan atau dilepaskan dari jerat hukum tergantung pemeriksaan di pengadilan. Artinya, tetap harus melalui pemeriksaan di pengadilan. Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP mengatur sebagai berikut:

(1)  Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

(2)  Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Pada beberapa bulan yang lalu, Kejati DKI membantah masuk angin dalam pengusutan kasus ini. Kasipenkum (Kejati) DKI Jakarta yang kala itu dijabat oleh Ade Sofyansah menyatakan informasi yang menyebutkan bahwa Jaksa Peneliti pada Kejati DKI mengembalikan berkas perkara tanpa adanya petunjuk yang jelas kepada Penyidik Polda Metro Jaya (PMJ) adalah tidak benar.

Terkait kasus tersebut, jaksa peneliti telah melaksanakan tugasnya sesuai SOP saat mengembalikan berkas perkara (P-19) ke penyidik PMJ yang disertai dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.

"Tujuan dari petunjuk tersebut adalah untuk mendukung proses pengungkapan fakta hukum yang menjadi dasar pembuktian terhadap unsur-unsur yang disangkakan oleh penyidik PMJ," kata Ade, Rabu (7/6/2023).

"Masih terdapat beberapa petunjuk dalam P-19 dari jaksa peneliti yang belum dipenuhi oleh penyidik PMJ, sehingga konstruksi hukum yang kuat dan utuh ketika pembuktian di pengadilan belum terbentuk secara sempurna," tambahnya.

Selain itu, masih terdapat kendala dalam proses pengumpulan alat bukti yang cukup untuk membuktikan delik-delik dalam Tindak Pidana Asal. Yaitu penipuan dan/atau penggelapan, serta dalam proses asset tracing (pelacakan aset) dan asset recovery (pemulihan aset) yang belum maksimal bagi pihak korban.

"Upaya yang dilakukan oleh Kejati DKI adalah untuk memastikan bahwa semua proses hukum yang berkaitan dengan perkara ini dapat dilakukan dengan baik, termasuk memenuhi persyaratan baik formil maupun materiil guna mendapatkan bukti yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan," urainya.

Ade menambahkan bahwa Kejati DKI terus bekerja keras untuk mengungkap kebenaran dan melaksanakan tugasnya secara profesional. "Kejati DKI Jakarta mengajak semua pihak untuk tidak menyimpulkan terlebih dahulu sebelum proses hukum selesai. Karena proses tersebut harus dilakukan dengan seksama dan mengikuti prosedur yang berlaku," tandas Ade.

Duduk perkara
Kasus ini bermula dari adanya adanya penawaran investasi pembiayaan yang ditawarkan oleh Asty Setiautami selaku Dirut PT. Green Pangan Sejahtera kepada PT. Merapi Utama Pharma melalui Yogi Hartarto selaku Dirut PT. Global Semesta.

Dalam penawarannya, Asty menyebut jika PT. Green Pangan Sejahtera memiliki proyek pengadaan bahan makanan atau sembako di Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 165.000.000.000. Jika PT. Merapi Utama Pharma mau memberikan dana investais, Asty disebut menjanjikan keuntungan sebesar Rp 4.866.500.000.

Untuk meyakinkan hal itu, Asty disebut sempat memperlihatkan Surat Perintah Kerja No. 973/-077.522 tertanggal 26 Mei 2020. Singkat cerita, PT. Merapi Utama Pharma akhirnya tertarik sehingga mau menyerahkan dana pembiyaan kepada PT. Green Pangan Sejahtera melalui PT. Global Berkah Semesata sebesar Rp 137.633.500.000,-, dengan jangka waktu investasi selama 30 hari.

Namun seiring berjalannya waktu sesuai dengan yang dijanjikan tidak ada itikad baik dari PT. Green Pangan Sejahtera untuk mengembalikan dana investasi berikut keuntungan yang dijanjikan. Selain itu, diketahui bahwa Surat Perintah Kerja sebagaimana yang diperlihatkan oleh Asty pada saat penawaran adalah palsu.

Dari dana yang diterima oleh PT. Global Berkah Semestar sebesar Rp 137.633.500.000 selanjutnya diduga ditransfer kepada para tersangka, yakni:
1. Tersangka Asty Setiautami sebesar Rp 103.000.000.000.
2. Tersangka Andrew Makmuri sebesar Rp 10.600.000.000.
3. Tersangka Alman Faluti sebesar sebesar Rp 10.600.000.000.
4. Tersangka Tayni Hari Masud sebesar Rp 6.185.000.
5. Tersangka Budi Hermawan sebesar Rp 3.000.000.000.
6. Tersangka Yogi Hartarto sebesar Rp 9.800.000.000.