KPK Jangan Tebar Gimik Buru Harun Masiku, ICW Duga Ada Kejanggalan

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Juni 2024 17:47 WIB
DPO kasus suap PAW 2019, Harun Masiku yang juga bekas politikus PDI Perjuangan hingga saat ini tak kunjung ditangkap KPK RI (Foto: Foto: Dok MI/Aswan)
DPO kasus suap PAW 2019, Harun Masiku yang juga bekas politikus PDI Perjuangan hingga saat ini tak kunjung ditangkap KPK RI (Foto: Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK didorong agar tak hanya sekadaar gimik memburu Harun Masiku, buron kasus dugaan korupsi terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2019-2024.

"ICW mendorong agar KPK tidak sekadar menebar gimik dalam melakukan pendalaman terhadap pencarian Harun Masiku," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Diky Anandya, Rabu (5/6/2024).

Pasalnya, dalam pantauan ICW, jika dihitung sejak KPK memulai penyidikan dugaan perkara korupsi suap pergantian antar waktu calon anggota legislatif, praktis sudah 4 tahun Harun Masiku buron. Pun Diky menduga ada kejanggalan dalam perburuan Harun Masiku. 

"Bagi kami, waktu pencariannya sudah terlalu lama dan mengindikasikan kuat ada hal-hal ganjil di balik proses hukum tersebut," beber Diky.

Di luar pencarian Harun Masiku, ICW menilai ada dua hal lagi yang penting didalami oleh KPK. Pertama, apakah ada pihak lain, khususnya elite partai politik yang terlibat dalam praktik korupsi ini. "Salah satu pertanyaan kuncinya, apakah uang suap yang diberikan Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan murni uang pribadinya atau ada pihak tertentu yang mendanai proses pergantian antar waktu itu?" tanya Diky.

Kedua, ICW meminta KPK mendalami siapa saja pihak yang mengetahui, mendiamkan, bahkan membantu pelarian Harun Masiku. Hal ini penting ditelusuri guna membuka potensi penyidikan atas sangkaan obstruction of justice.

"Dalam kaitan dengan obstruction of justice, selain pihak eksternal, KPK juga mesti melihat potensi adanya aktor di internal KPK yang berupaya menghambat proses pencarian Harun Masiku," tandas Diky.

Adapun KPK telah memeriksa tiga orang saksi yang merupakan kerabat dari Harun Masiku. "Betul, ada diperiksa satu pengacara, kemudian dua mahasiswa, itu ketiganya memang ada hubungan kekerabatan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (5/6/2024).

Ali menerangkan tiga saksi tersebut adalah advokat bernama Simon Petrus yang diperiksa pada hari Rabu (29/5/2024), seorang mahasiswa bernama Hugo Ganda yang diperiksa pada hari Kamis (30/5/2024), dan mahasiswi bernama Melita De Grave yang diperiksa pada Jumat (31/5/2024).

Ketiga saksi tersebut diperiksa soal informasi adanya pihak yang sengaja menyembunyikan dan menutupi keberadaan Harun Masiku. "Informasi yang didalami lebih jauh hampir semuanya sama, terkait informasi yang KPK terima mengenai keberadaan Harun Masiku yang diduga ada pihak yang mengamankan," tuturnya.

Meski demikian Ali belum memberikan penjelasan lebih lanjut soal apa saja temuan penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.

Untuk diketahui bahwa Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019—2024 di Komisi Pemulihan Umum (KPU) Republik Indonesia.

Walau demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020. Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 yakni Wahyu Setiawan.

Wahyu Setiawan yang juga terpidana dalam kasus yang sama dengan Harun Masiku. Saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.

KPK menjebloskan Wahyu Setiawan ke balik jeruji besi berdasarkan Putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 juncto putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo. putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terpidana Wahyu Setiawan juga dibebani kewajiban membayar denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Wahyu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu Setiawan adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.