Tragedi Berdarah 3 Polisi Way Kanan hanya Fenomena Puncak Gunung Es

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Maret 2025 14:22 WIB
Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute (Foto: Dok MI/Net/Ist)
Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute (Foto: Dok MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Setara Institute mengutuk keras kasus tiga anggota Polsek Negara Batin, Way Kanan, Lampung, tewas tertembak saat melakukan penggerebekan judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, pada Senin (17/3/2025) sore. 

Tragedi berdarah tersebut terjadi saat 17 personel anggota Polri dari Polres Way Kanan diterjunkan untuk membubarkan judi sabung ayam tersebut. Ketiga korban mengalami luka pada bagian kepala akibat penembakan oleh dua orang terduga anggota TNI. 

Dalam perkembangan terbaru, dua anggota TNI yang diduga sebagai pelaku penembakan telah berhasil ditangkap. Terduga pelaku adalah Peltu L selaku Dansubramil Negara Batin dan Kopka B, anggota Subramil Negara Batin.

Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute menegaskan bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk penembakan, apalagi hingga mengakibatkan hilangnya nyawa, secara mutlak tidak dapat dibenarkan. "Tragedi berdarah Way Kanan ini menegaskan bahwa konflik TNI-Polri bersifat laten," kata Hendardi, Selasa (18/3/2025).

Hendari pun membeberkan bahwa dalam catatan Setara Institute tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan terjadi antara tahun 2014-2024. Pada awal tahun ini, sudah terjadi 2 kekerasan terbuka di antara dua aparat negara tersebut. 

Sebelum peristiwa Way Kanan, terjadi penyerangan oleh oknum anggota TNI terhadap Mapolres Tarakan. "Fenomena tersebut hanyalah puncak gunung es. Konflik dan ketegangan yang tertutup dipastikan lebih besar dari yang mencuat ke permukaan," lanjutnya.

Atas peristiwa berdarah itu, SETARA Institute mendesak agar pelaku penembakan di Way Kanan diproses dengan penegakan hukum dengan mekanisme hukum pidana, karena tindakan pelaku tidak ada hubungan sama sekali dengan tugas-tugas kemiliteran, sebagaimana ketentuan UU TNI yang memandatkan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diproses dalam kerangka pidana umum. 

"Negara, khususnya pemerintah, mesti hadir dengan menegakkan supremasi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Supremasi anggota TNI yang sering tidak mau tunduk pada peradilan umum selama ini menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa," tutur Hendardi.

Selama ini, kehadiran negara dalam konflik TNI-Polri hanya bersifat simbolik, elitis, serta tidak mengedepankan supremasi hukum. Di tingkat elit dan kelembagaan TNI-Polri, kondusivitas dan sinergi dilakukan secara artifisial dengan terus mendengungkan “Sinergisitas atau Sinergitas TNI-Polri”. 

Secara lebih substantif, negara dan TNI-Polri sendiri harus membangun karakter dan mentalitas TNI-Polri dengan pendekatan yang lebih sistemik, struktural dan kultural sekaligus. 

Menurut Hendardi, penanganan konflik dan ketegangan antara TNI-Polri harus dilakukan secara substantif dan fundamental dengan membangun kepatuhan anggota TNI-Polri pada disiplin bernegara dan berdemokrasi yang dibangun di atas supremasi hukum dan supremasi sipil. 

"TNI-Polri harus menjalankan peran masing-masing dengan tunduk pada konstitusionalisme dan desain konstitusional yang disepakati, di mana masing-masing lembaga harus menjalankan perannya dengan tidak melampaui batas-batas tugas dan fungsi sesuai mandat konstitusionalnya," tegasnya.

Peningkatan disiplin dalam berdemokrasi juga mesti dialamatkan pada politisi-politisi sipil. Politisi tidak perlu menggoda TNI-Polri untuk memasuki arena yang bukan merupakan tugas dan fungsinya, yang justru mengekspresikan ketidakpercayaan diri dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka sebagai otoritas sipil. 

"Politisi di DPR harus disiplin untuk tidak melaksanakan fungsi legislasi yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu. Hal itu justru akan menimbulkan kekacauan konstitusional dan memicu konflik antar institusi yang semakin dalam," pungkas Hendardi.

Dua oknum TNI menyerahkan diri

Dua Oknum TNI atas nama Kopka Basar dan Peltu Lubis yang merupakan terduga pelaku penembakan yang menewaskan tiga anggota Polres Way Kanan, menyerahkan diri dan telah diamankan di Denpom 23 Lampung.

Kabar penyerahan diri dua oknum TNI tersebut dikonfirmasi langsung oleh Kepala Penerangan Kodam 2 Sriwijaya, Kolonel Inf Eko Syahputra Siregar. "Semalam keduanya sudah menyerahkan diri. Semalam dijemput tim dari Kodim/Korem dan Polisi Militer," kata Eko, Selasa (18/3/2025).

Eko mengatakakan, pihaknya bersama Polda Lampung telah membentuk tim investigasi gabungan untuk melakukan pendalaman terkait peristiwa yang menewaskan 3 anggota polisi tersebut.

"Kami bersama kepolisian melakukan investigasi bersama. Saat ini, kami bersama Polda Lampung membentuk tim gabungan untuk lebih mendalaminya. Sehingga ada pertanyaan anggota mengelola ataupun memiliki tempat, saya garisbawahi ini masih dalam proses investigasi," jelasnya.

Eko menjelaskan, saat ini tim gabungan sedang melakukan investigasi terkait siapa pelaku penembakan serta senjata yang digunakan dalam peristiwa tersebut.

"Itu yang harus dipahami, siapa yang menembak dan senjata yang digunakan apa. Itu masih diinvestigasi oleh tim," ujarnya.

Sebelumnya, tiga anggota Polres Way Kanan, Lampung tewas ditembak oknum angota TNI saat melakukan penggerebekan lokasi perjudian sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung sekitar pukul 16.50 WIB, Senin (17/3/2025).

Tiga anggota Polres Way Kanan yang gugur dalam peristiwa tersebut adalah Kapolsek Negara Batin Iptu Lusiyanto, Bintara Polsek Negara Batin Bripka Petrus Apriyanto, dan Bintara Sat Reskrim Polres Way Kanan Bripda M Ghhalib Ganta.

Topik:

Setara Institute Way Kanan Sabung Ayam