Represi Aparat dan Gagalnya Transformasi Polri di Tengah Bebalnya Elite Politik

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 29 Agustus 2025 13:31 WIB
Rantis Brimob Lindas Ojol saat Demo DPR Ricuh [Foto: Tangkapan layar]
Rantis Brimob Lindas Ojol saat Demo DPR Ricuh [Foto: Tangkapan layar]

Jakarta, MI - Pengamanan aksi demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/8/2025), yang berakhir ricuh disayangkan banyak pihak. Aparat kepolisian kembali menampilkan wajah kekerasan dalam menjalankan peran dan fungsinya, ketimbang wajah pengayom dan pelindung masyarakat. 

Puncaknya, terjadi tragedi memilukan ketika kendaraan taktis Brimob melindas seorang peserta aksi pengemudi ojol hingga tewas.

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Serata Institute, Ikhsan Yosarie menilai peristiwa tersebut bukan hanya bentuk pelanggaran prosedur keamanan, tetapi juga mencerminkan penggunaan kekuatan yang eksesif yang tidak bertujuan untuk melindungi warga negara. 

Terlebih muncul laporan terjadinya pemukulan, penganiayaan, penembakan gas air mata secara sembarangan, hingga penangkapan sewenang-wenang.

“Dalam konteks penggunaan gas air mata untuk pengendalian massa memperlihatkan ketiadaan pembelajaran dari tragedi Kanjuruhan tahun 2022 lalu. Hal ini menunjukkan minimnya implementasi konsep Presisi Polri di lapangan, terutama oleh anggota-anggota,” kata Ikhsan di Jakarta, Jumat (29/8/2025).

Dirinya mengingatkan, bahwa Pasal 28E UUD 1945 telah menjamin bahwa setiap berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 9 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum kemudian juga menegaskan bahwa unjuk rasa sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum.

“Dengan demikian, demonstrasi merupakan ruang sah bagi warga negara untuk menyampaikan aspirasi. Bahkan Pasal 13 ayat (2) UU No. 9/1998 mengamanatkan Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum,” ujarnya.

Menurutnya, penanganan demonstrasi rakyat yang marah terhadap elite politik di DPR yang bebal terhadap aspirasi dan denyut nadi rakyat, polisi harus memastikan jaminan hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi, serta melaksanakan Standard Operating Procedure (SOP) yang menjamin Hak Asasi Manusia.

“Tindakan kekerasan aparat dalam penanganan demonstrasi bukanlah insiden sporadis dan isolated (berdiri sendiri), melainkan masalah struktural dan kultural dalam tubuh Polri. Pola ini lahir dari kultur kekerasan, impunitas, dan kegagalan reformasi kepolisian yang seharusnya menegakkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia,” jelasnya.

Menurutnya, Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, hanya menjadi dokumen normatif di internal Polri. 

Peraturan internal yang sejatinya menjadi panduan etis-operasional, justru dikhianati oleh praktik lapangan yang penuh kekerasan. Kondisi ini memperlihatkan kegagalan pelaksanaan kebijakan.

“Aturan ada, tetapi tidak dilaksanakan,” tandasnya.

Kondisi ini bukan hanya pelanggaran serius terhadap hak warga negara, tetapi juga pengingkaran atas komitmen internasional Indonesia dalam penegakan HAM.

Selain menindak dan menghukum aparat yang melakukan tindak kekerasan, terutama anggota yang mengendarai Rantis Brimob yang melindas salah seorang pengendara ojek online, Kapolri perlu memberikan sanksi kepada pimpinan kepolisian terkait sesuai derajat kelalaiannya dengan menjamin keterbukaan dan akuntabilitas prosesnya.

"Kapolri hendaknya mecopot dari jabatan Pimpinan Kepolisian yang bertanggungjawab, agar menjadi preseden dan efek jera bagi pimpinan-pimpinan Kepolisian daerah yang tidak tegas mendisiplinkan anggota-anggotanya dalam bertugas," tandasnya.

Topik:

Polri Setara Institute