Kejagung Diduga "86" Kasus Pagar Laut Bekasi, Polri di Tangerang


Jakarta, MI - Sejak Januari 2025, publik diramaikan dengan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten. Dugaannya, yang memasang pagar laut itu adalah orang-orang “kuat” di Indonesia.
Namun, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, pihaknya yakin kasus ini masih berfokus pada dugaan pemalsuan surat, bukan tindak pidana korupsi.
“Dari penyidik Polri, khususnya melihat bahwa tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud dalam rumusan pasal 263 KUHP menurut penyidik, berkas yang kami kirimkan itu sudah terpenuhi unsur secara formal maupun materiil. Artinya, kita sudah hari ini kembalikan dengan alasan-alasan yang tadi kami sampaikan,” katanya saat konferensi pers di Lobi Bareskrim Polri belum lama ini.
Sangat jelas bahwa berlama-lamanya penanganan kasus ini disebabkan polisi dan jaksa belum sepakat terhadap jenis tindak pidana yang dilakukan dalam kasus pagar laut. Jaksa menilai kasus pagar laut adalah kasus korupsi. Sebaliknya, polisi tetap pada pendapatnya bahwa kasus ini hanya sebatas tindak pidana pemalsuan dokumen itu.
Tak hanya kasus pagar laut di Tangerang, tapi juga kasus pagar laut di Bekasi. Konstruksi hukum atas dua kasus sama namun berbeda lokasi itu. Adalah sama-sama berbasis pada penjeratan Pasal 263 KUH Pidana, terkait pemalsuan dokumen.
Akan tetapi pihak Kejaksaan Negeri Cikarang, menghentikan penyelidikan korupsi terkait pagar laut di Bekasi itu.
"Pihak Kejaksaan Negeri Cikarang telah menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam jual beli wilayah laut di Desa Babelan Kecamatan Tarumajaya," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro dikutip pada Minggu (27/4/2025).
Sementara hasil penyidikan Dittipidum Bareskrim Polri terkait jual beli wilayah laut di Desa Babelan, Kecamatan Tarumajaya dan proses pensertifikatan telah terjadi dugaan tindak pidana pemalsuan surat dengan modus operandi yang sama dengan perkara di Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten.
"Sehingga hal ini kontradiktif dengan petunjuk JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang menyatakan bahwa perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi,” lanjutnya.
Inkonsistensi kejaksaan tersebut, menurut Djuhandani yang membuat tim penyidikannya tetap mengacu pada Pasal 263 KUH Pidana sebagai dasar penjeratan para tersangka kasus pagar laut di Tangerang, Banten.
Djuhandani memilih mengabaikan petunjuk-petunjuk JPU dalam dua kali pemulangan berkas perkara yang meminta penyidik kepolisian menjadikan pasal-pasal korupsi dalam UU Tipikor sebagai basis konstruksi perkara empat tersangka tersangka dalam kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten.
Djuhandani mengatakan, sedikitnya lima alasan mengapa tim penyidiknya mengambil jalan pengabaian atas petunjuk JPU tersebut.
Penyidiknya mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 256/PUU-XIV/2026 yang pada intinya menyatakan tindak pidana korupsi harus memiliki kerugian negara yang nyata.
Kerugian negara yang nyata tersebut harus berdasarkan dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Dan berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU 31/1999 dan UU 20/2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara eksplisit menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar UU Tindak Pidana Korupsi atau yang melanggar UU lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi,” jelas Djuhandani.
Menurutnya, adanya indikasi pemberian suap dan atau gratifikasi terhadap penyelenggara negara yang menjadi salah-satu petunjuk JPU dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten, pun saat ini sudah dalam proses penyelidikan di Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Mabes Polri.
“Dan terhadap kejahatan atas kekayaan negara berupa pemagaran wilayah laut di Desa Kohod tanpa izin dari pihak berwenang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan atau kerugian masyarakat yang JPU nyatakan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, saat ini juga sedang dilakukan penyelidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri,” beber Djuhandani.
Djuhandani menilai, semestinya Kejagung mengacu pada penerapan asas Lex consumen derograt legi konsumte.
“Yang berarti aturan yang digunakan adalah berdasarkan fakta-fakta dominan dalam suatu perkara. Sehingga melihat dari posisi kasusnya, fakta yang dominan dalam kasus pemagaran laut tersebut adalah terkait dengan pemalsuan dokumen dimana tidak menyebabkan kerugian nyata terhadap keuangan negara, atau perekonomian negara."
"Sehingga penyidik tetap berkeyakinan bahwa perkara tersebut bukan merupakan perbuatan tindak pidana korupsi. Karena yang mengalami kerugian adalah masyarakat nelayan,” tambah Djuhandani.
Pada pekan lalu Kejagung mengingatkan Polri untuk memenuhi semua petunjuk JPU agar berkas perkara kasus pemagaran laut di Tangerang, Banten dapat diajukan ke pengadilan.
Tim JPU Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menilai kasus tersebut, bukan cuma menyangkut soal pemalsuan dokumen dan surat-surat dalam Pasal 263.
Direktur A Jampidum, Nanang Ibrahim Soleh menegaskan, kasus pemagaran laut sepanjang 30-an Kilometer (Km) di Desa Kohod tersebut, masuk dalam kualifikasi tipikor.
“Bahwa petunjuk dari kita (jaksa), bahwa perkara tersebut (pagar laut) adalah perkara tindak pidana korupsi. Karena di situ ada suapnya, ada pemalsuannya, juga ada penyalahgunaan kewenangan, dan juga terindikasi merugikan negara,” kata dia di Kejagung, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
Petunjuk dari JPU tersebut seperti diabaikan oleh penyidik pada pengembalian berkas pertama atas tersangka Kades Kohod Arsin, Maret 2025 lalu.
Sebab itu pada pelimpahan berkas kedua oleh tim peyidik Dittipidum baru-baru ini, JPU pun memulangkan berkas perkara tersebut.
“Mengingat petunjuk-petunjuk dari kita tidak dipenuhi, akhirnya kemarin tetap kita kembalikan. Mengapa kita kembalikan? Karena memang berkas perkara tersebut, tidak sesuai dengan petunjuk yang sudah kita sampaikan pada saat pengembalian berkas pertama,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum), Harli Siregar.
Harli Siregar menjelaskan, ada tiga alasan mengapa berkas kasus perkara pagar laut tersebut kembali dipulangkan ke penyidik.
Menurutnya, pada saat pengembalian berkas perkara pertama pada 24 Maret 2025 lalu, JPU sudah menebalkan beberapa catatan kepada penyidik di kepolisian agar kasus pagar laut tersebut turut menyertakan pasal-pasal yang mengacu pada UU Tipikor.
“Bahwa jaksa penuntut umum setelah membaca, mempelajari, meneliti berkas perkara yang telah diserahkan, setidaknya satu berkas yang sudah diserahkan atas nama tersangka Arsin bin Arsip, ada indikasi suap, atau gratifikasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 atau Pasal 12 Undang-undang Tipikor,” kata Harli, Rabu (16/4/2025).
Harli mengatakan, berdasarkan penelitian berkas perkara oleh tim JPU di Jampidum ada juga indikasi pemalsuan-pemalsuan dokumen dan surat-surat.
Tapi menurut JPU, ragam delik imitasi tersebut tak cukup hanya dengan penyangkaan dengan KUH Pidana.
“Karena hal tersebut juga diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Tipikor. Dan ketiga ada indikasi perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor,” kata Harli.
Dalam asas-asas pidana, suatu perbuatan melawan hukum yang diatur dalam perundangan khusus, harus lebih diutamakan ketimbang yang umum untuk penjeratan terhadap pelaku.
Dalam kasus pemagaran laut tersebut, kata Harli ada perbuatan yang sesuai dengan klasifikasi UU Tipikor sebagai aturan yang khusus, ketimbang KUH Pidana yang umum.
Harusnya sepaham
Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo menyatakan, sejatinya Polri dan Kejaksaan bisa sepaham dalam memproses hukum para tersangka kasus pagar laut di perairan Tangerang.
"Kan sedang ditangani oleh penegak hukum kita, kita berharap polisi dan kejaksaan bisa bersepakat atau bersepaham ya dalam penegakan hukumnya sehingga kasus ini ada titik terangnya," kata Rudiant, Minggu (27/4/2025).
Legislator dari Fraksi Partai NasDem itu meyakini, ditangguhkannya penahanan para tersangka Kades Arsin dan kawan-kawan lantaran berkas perkara dari Kejaksaan belum rampung atau P21. Sehingga, para tersangka yang selama ini ditahan oleh polisi harus dibebaskan karena sudah melebihi batas waktu penahanan selama 60 hari.
"Sudah habis memang demi hukum harus dikeluarkan ya baru berharap ini ada kesamaan persepsi antara kejaksaan dan kepolisian biar kasus ini bisa ada titik terangnya," jelasnya.
Soal adanya potensi para tersangka ini melarikan diri, Rudianto meyakini kalau hal itu tidak akan terjadi. Kata dia, polisi pasti sudah memiliki pertimbangan hukum yang matang dan mengantongi identitas dari para tersangka.
"Saya kira kepolisian sudah punya pertimbangan-pertimbangan khusus ya, apalagi keterangan nya sudah diketahui semua, potensi untuk melarikan diri jauhlah, karena ini kan levelnya kepala desa kan, kita tahu lah kepala desa. Kedua, untuk mengulangi tindak pidana kan saya kira bukti-bukti sudah dimiliki semua oleh pihak kepolisian saya kira jauh lah," tandas Rudianto.
Sebaiknya KPK saja yang usut!
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar, bahwa penyidik kepolisian seharusnya memenuhi setiap petunjuk jaksa dalam kasus tindak pidana, karena yang bertanggung-jawab dalam pembuktian nantinya di persidangan adalah jaksa selaku penuntut umum bukan penyidik.
“Karena itu jika penyidik polisi tidak memenuhi petunjuk jaksa seperti dalam kasus pagar laut Tangerang itu merupakan tindakan pembangkangan,” ujar Fickar begitu disapa Monitorindonesia.com, Senin (28/04/2025).
Dia menegaskan penyidik tidak boleh marah, emosional dan menilai jaksa inkonsisten dengan memperbandingkan sikap jaksa dalam kasus pagar laut Tangerang dengan kasus pagar laut Bekasi. “Karena masing masing perkara punya karakter masing-masing. Jadi tidak bisa pukul rata,” tegasnya.
Menurutnya, jika penyidik bersikap seperti itu maka kejaksaan sebaiknya untuk mengambilalih penanganan kasus pagar laut Tangerang. "Atau jika sudah ada nota kesepahaman atau MoU soal penanganan perkara antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK maka sebaiknya kasus pagar laut Tangerang diserahkan kepada KPK," jelasnya.
Namun yang harus diwaspadai dan diawasi dalam kasus kedua pagar laut tersebut apakah para penegak hukum mendapat suap atau justru mau melakukan pemerasan terhadap pihak-pihak yang diduga tersangkut atau terlibat.
Jika ini yang terjadi maka sebaiknya KPK turun tangan untuk mengatasi para penegak hukum yang coba bermain-main. “Memang rawan dalam kasus pidana, baik pidana umum maupun tipikor. Sulit dihindari ada korupsinya. Jadi tugas masyarakat juga mengawasi, yang jika ada indikasinya lebih baik dilaporkan kepada KPK,” ungkapnya. (an)
Topik:
Pagar Laut Bekasi Pagar Laut Tangerang Kejagung Bareskrim PolriBerita Terkait

Penerima Dana Korupsi BTS Rp243 M hampir Semua Dipenjara, Dito Ariotedjo Melenggang Bebas Saja Tuh!
2 jam yang lalu

Penyidikan Baru Kasus Gagal Ginjal Akut bak Ditelan Bumi, BPOM Lolos?
15 jam yang lalu

Kejagung Periksa Dirut PT Tera Data Indonesia terkait Kasus Chromebook
30 September 2025 12:29 WIB