Hergun dan Satori Tersangka Korupsi CSR BI: Pintu Masuk seret Semua Anggota Komisi XI DPR RI 2019-2024

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Agustus 2025 10:48 WIB
Gedung DPR RI (Foto: Dok MI)
Gedung DPR RI (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Penetapan Anggota DPR RI Satori (ST) dan Heri Gunawan (Hergun/HG) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia-Otoritas Jasa Keuangan (BI-OJK) disebut sebagai pintu masuk pemeriksaan seluruh Anggota Komisi XI Periode 2019-2024.

Kasus dugaan korupsi dana CSR BI ini diduga melibatkan modus pengalihan dana yang semestinya digunakan untuk kegiatan sosial menjadi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Pun, penyidik KPK telah mengantongi bukti awal berupa dokumen transaksi, laporan keuangan, hingga keterangan saksi yang menguatkan adanya penyimpangan.

"Kalau yang dua orang itu (HG dan ST) modusnya menggunakan yayasan saudaranya atau sendiri, tidak mustahil seluruh anggota Komisi XI DPR RI yang lain begitu," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Selasa (12/8/2025).

Menurutnya, modus itu digunakan atau paling tidak yayasan anaknya, saudaranya hingga temannya. "Bisa saja seperti itu. Tidak bisa tidak, dua orang itu sebenarnya sudah ada indikasi terhadap yang lain, KPK harus adil. Semuanya harus diperiksa,, diproses semuanya," jelasnya. 

Maka, tegas dia, KPK bisa melakukan pemanggilan ataupun penahanan paksa terhadap anggota Komisi XI DPR RI yang mangkir dari panggilan KPK. "Orang dipanggil penegak hukum, sekali gak datang, dua kali gak datang, tiga kali ditangkap, dipanggil paksa. ada prosesnya. KPK bisa tangkap dan panggil paksa itu," ungkap Abdul Fickar.

Abdul Fickar pun yakni bahwa KPK saat ini tengah mempersiapkan dan memetakan langkah-langkah untuk memeriksa dan memproses anggota Komisi XI DPR RI yang lain.  "Saya kira KPK sedang mempersiapkannya," tandasnya.

Sementara Sekretaris Jenderal IM 57+ Lakso Anindito sebelumnya mengatakan perlu adanya pengawasan terhadap yayasan penerima dana CSR. Pengawasan pada yayasan-yayasan tersebut diperlukan agar dana CSR tidak mengalir ke pihak yang punya konflik kepentingan. "Jadi kuncinya adalah transparansi dan akuntabilitas penerima manfaat atau beneficial owner," kata Lakso.

Lakso mengatakan sebenarnya sudah ada aturan mengenai transparansi penerima manfaat baik korporasi termasuk yayasan. Yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Namun, menurutnya pengawasan perlu ditingkatkan. "Seharusnya perlu diperkuat sistem tersebut dalam penerapannya melalui bisa jadi berupa pengungkapan dana CSR secara berkala, analisis potensial konflik kepentingan dalam pengalokasian CSR, maupun pada sisi lain transparansi siapa pemilik manfaat dari yayasan atau lembaga sosial penerima CSR," tandas Lakso.

Diketahui bahwa penyidik KPK menemukan setidaknya dua alat bukti yang cukup dalam kasus ini sehingga menetapkan Heri Gunawan Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024 dan Satori Anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024.

“Kasus ini berawal dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang diperkuat oleh pengaduan masyarakat. Beberapa warga di daerah melaporkan bahwa bantuan sosial tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya. Berdasarkan laporan tersebut, KPK melakukan penyelidikan umum sejak Desember 2024,” dalam keterangan pers KPK pada Kamis malam (7/8/2025).

Bantahan Komisi XI DPR RI

Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng membantah dugaan semua Anggota Komisi XI menerima dana CSR BI-OJK. Mekeng mengklaim bahwa anggaran CSR tidak pernah dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, tetapi langsung dibagikan kepada pihak yang meminta. 

"Jadi, anggaran CSR itu tidak dibagikan ke anggota. Itu dibagikan langsung kepada yang minta, misalnya rumah ibadah, gereja, masjid, atau UMKM. Anggota tidak pernah megang uang sama sekali," kata Mekeng, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025) lalu. 

Mekeng mengatakan, anggota hanya menyampaikan kepada Bank Indonesia terkait rumah ibadah yang membutuhkan dana untuk renovasi. "Itu diproses langsung oleh Bank Indonesia, uangnya langsung ke masjidnya. Jadi, enggak ada anggaran dikasih ke anggota," tandas Mekeng.

Adapun Komisi XI DPR RI memiliki beberapa mitra kerja, termasuk Bank Indonesia dan OJK. Selain fungsi umum, Komisi XI juga memiliki kewenangan khusus untuk mewakili DPR dalam memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran tahunan kedua lembaga tersebut. 

Prosesnya meliputi pembahasan, evaluasi, dan persetujuan terhadap anggaran BI maupun OJK di tingkat Komisi XI. “Sebelum memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran tahunan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi XI DPR RI terlebih dahulu membentuk Panitia Kerja (Panja). Dalam panja ini, terdapat nama HG dan ST yang ikut membahas pendapatan serta pengeluaran dari rencana anggaran yang diajukan kedua lembaga tersebut,” beber Asep.

Anggaran tersebut dibahas dalam rapat, termasuk rencana pengeluaran dan pendapatannya. Rapat kerja antara Komisi XI DPR RI bersama pimpinan BI dan OJK biasanya dilaksanakan setiap bulan November. Untuk tahun 2020, 2021, dan 2022, panja menggelar rapat tertutup yang hanya dihadiri oleh perwakilan BI, OJK, dan anggota panja.

Dalam rapat tersebut, disepakati antara lain: BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI. Alokasi dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun, sementara OJK sekitar 18–24 kegiatan per tahun.

Dana CSR program sosial disalurkan melalui yayasan yang dikelola anggota Komisi XI DPR RI. Anggota bisa menunjuk yayasan yang ada di daerah pemilihan (dapil) atau yayasan pribadi untuk menampung dana tersebut.

Sementara itu teknis penyaluran dana dibahas lebih lanjut oleh tenaga ahli masing-masing anggota Komisi XI DPR dan pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.

HG menugaskan tenaga ahlinya, sementara ST menugaskan orang kepercayaannya untuk membuat dan mengajukan proposal bantuan dana sosial ke BI dan OJK. HG mengelola 4 yayasan di bawah Rumah Aspirasi Heri Gunawan. Sementara ST mengelola 8 yayasan di bawah Rumah Aspirasi Satori.

“Selain ke BI dan OJK, HG dan ST juga diduga mengajukan proposal permohonan bantuan dana sosial kepada mitra kerja lain dari Komisi XI DPR RI melalui yayasan masing-masing yang dikelolanya,” jelas Asep.

Pada periode 2021–2023, yayasan-yayasan yang dikelola HG dan ST telah menerima dana bantuan sosial namun tidak sepenuhnya melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana sesuai proposal permohonan dana sosial. Sebagian dana digunakan untuk kepentingan pribadi.

“Artinya bukan tidak ada sama sekali, ada kegiatan-kegiatan tapi tidak keseluruhan. Sebagai contoh, jika bantuan sosial ditujukan untuk program rumah tidak layak huni (rutilahu) 10 rumah, tetapi yang dipergunakan 2 rumah, kemudian di potret lalu dibuat pertanggungjawaban untuk 10 rumah, padahal yang dibuat hanya 2 rumah, jadi dana untuk 8 rumah lagi digunakan untuk kepentingan pribadinya,” lanjut Asep. 

HG menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian: Rp6,26 miliar dari BI (program bantuan sosial); Rp7,64 miliar dari OJK (kegiatan penyuluhan keuangan); dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR lainnya.

HG diduga melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan memindahkan seluruh dana yang diterima dari yayasan yang dikelolanya ke rekening pribadinya melalui metode transfer. 

Ia bahkan meminta anak buahnya membuka rekening baru untuk menampung pencairan dana tersebut melalui metode setor tunai.

Dana ini digunakan untuk kepentingan pribadi, di antaranya: Pembangunan rumah makan; Pengelolaan outlet minuman; Pembelian tanah dan bangunan; Pembelian kendaraan roda empat.

Sementara itu, ST menerima total dana sebesar Rp12,5 miliar, dengan rincian: Rp6,3 miliar dari Bank Indonesia (BI) melalui program bantuan sosial, Rp5,14 miliar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kegiatan penyuluhan keuangan, serta Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain Komisi XI DPR lainnya.

Seluruh dana yang diterima ST diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, antara lain ditempatkan di deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset-aset lainnya. 

“ST juga diduga melakukan rekayasa transaksi perbankan dengan meminta salah satu bank daerah menyamarkan penempatan deposito serta pencairannya agar tidak teridentifikasi di rekening koran miliknya,” kata Asep.

Menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. “Kami akan mendalami keterangan dari ST terkait siapa saja penerima dana bantuan sosial dari Komisi XI. Selain itu, penyidik juga akan memeriksa alasan BI dan OJK memberikan dana bantuan sosial kepada anggota Komisi XI DPR RI,” pungkas Asep.

Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 

Mereka juga dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta tindak pidana pencucian uang sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Daftar 44 Anggota Komisi XI DPR yang Diduga KPK Terima Dana CSR BI-OJK 2020-2023. Selengkapnya di sini

Topik:

KPK Bank Indonesia Otoritas Jasa Keuangan Komisi XI DPR Heri Gunawan Satori Tersangka Korupsi CSR BI