Usai Eks Dirut PLN Fahmi Tersangka di Polri, Muncul Desakan Kejagung Tuntaskan Korupsi Tower Transmisi PLN Rp 2,2 T

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 Oktober 2025 2 jam yang lalu
Penggeledahan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Rp 2,2 triliun (Foto: Dok MI)
Penggeledahan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Rp 2,2 triliun (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Apa kabar kasus korupsi pengadaan tower transmisi pada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang diusut Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dengan dugaan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang pada proyek tahun 2016 senilai Rp2,2 triliun, yang melibatkan pengadaan 9.000 set tower?

Penyidikan kasus ini berlanjut pada tahun 2022 dengan adanya penggeledahan di beberapa lokasi, seperti PT Bukaka dan rumah pribadi SH, serta temuan dokumen dan bukti elektronik, namun perkembangan lebih lanjut terkesan lamban.

Adapun kasus ini diusut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-39/F.2/Fd.2/07/2022 tertanggal 14 Juli 2022.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna saat dikonfirmasi soal perkembangan kasus ini belum merespons.

Sementara Kapuspenkum terdahulu Harli Siregar mennyatakan pihaknya akan mengeceknya apakah kasus ini masih diusut atau sudah dihentikan. 

"Nanti kita cek ya," kata Harli yang kini menjabat sebagai Kajati Sumut kepada Monitorindonesia.com pada 31 Mei 2025 lalu.

Menyoal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Borobudur (Unbor) Hudi Yusuf mendesak Kejagung agar memperjelas status hukum pengusutan kasus tersebut. Dia juga mendesak Kejagung mengusut tuntas dan segera menetapkan tersangkanya.

"Jika memang Kejagung menemukan dua alat bukti cukup usai memeriksa saksi-saksi hingga penggeledahan sejumlah lokasi, maka harus segera menetapkan tersangkanya. Kasus itu jangan berhenti di jalan, ada awal harus ada akhirnya juga. Jadi harus ada kejelasan itu, nasib seseoarng kan harus ditentukan, jangan ngegantung. Kasian juga belum jelas kasus ini. Maju atau mundur. Terbukti dihentikan misalnya, harus diumumkan juga, jadi digantung-gantung juga tuh. Apa lagi tahun 2022 kasus ini diusut masa enggak bisa-bisa," kata Hudi saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Selasa (7/10/2025).

Hudi Yusuf
Pakar hukum pidana Unbor Hudi Yusuf (Foto: Dok MI)

Hudi pun heran dengan Kejagung yang begitu bernyali mengusut kasus korupsi di PT Pertamina hingga PT Timah yang merupakan perusahaan BUMN, sementara di PT PLN tidak berani.

"Jangan sampai ada sesuatu tuh di PLN. Jadi memang harus segera tuh diusut tuntas. Jadi khawatirnya juga sudah menemukan alat bukti tapi tidak menentukan tersangka, dikhawatirkan masuk angin juga. Oleh karena itu, untuk menghindari asumsi-asumsi liar ya seyogyanya kasus itu dituntaskan. Jangan didiamkan. Karena itu ada awal, harus ada akhir," tegas Hudi.

Di lain sisi, Hudi mengapresiasi Kortas Tipikor Polri yang baru saja menetapkan 4 tersangka di kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar) 2008-2021 yang merugikan negara Rp 1,35 triliun. 

Empat tersangka itu adalah mantan Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), FM (Fahmi Mochtar); Presiden Direktur PT Bumi Rama Nusantara (BRN), Halim Kalla (HK), Dirut PT BRN, RR dan Direktur PT Praba Indopersasa, HYL.

"Patut diapresiasi Polri menetapkan tersangka kasus lama ini. Dan saya kira aparat penegak hukum (APH) lainnya dapat bertindak seperti ini juga. Namun semua tergantung pada alat bukti yang didapatkan penyidik yang kemudian berujung pada penetapan tersangka," tandas Hudi.

Adapun kasus korupsi  tower transmisi pada PLN itu bermula dari proyek pengadaan 9.085 set tower transmisi oleh PT PLN pada tahun 2016, dengan anggaran fantastis senilai Rp2,25 triliun. Proyek tersebut melibatkan PLN, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo), serta 14 penyedia tower, termasuk PT Bukaka.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung sebelumnya, Ketut Sumedana mengatakan, dalam pelaksanaan proyek ini terdapat dugaan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi menimbulkan kerugian negara.

“PLN diduga melakukan penyimpangan dalam proses pengadaan, termasuk tidak membuat dokumen perencanaan serta menggunakan daftar penyedia tahun 2015 alih-alih DPT 2016 yang seharusnya berlaku,” kata Ketut yang kini menjabat Kajati Bali pada 26 Juli 2022.

Diketahui bahwa salah satu sorotan dalam perkara ini adalah adanya dugaan monopoli dalam proyek oleh PT Bukaka, perusahaan yang direksi operasionalnya juga menjabat sebagai Ketua Aspatindo. Dalam masa kontrak Oktober 2016 hingga Oktober 2017, pekerjaan yang terealisasi hanya mencapai 30 persen.

Ironisnya, meskipun kontrak telah berakhir, pekerjaan tetap dilanjutkan oleh penyedia tower hingga Mei 2018 tanpa dasar hukum yang sah. Hal ini kemudian mendorong PLN untuk membuat adendum kontrak, memperpanjang masa kerja selama satu tahun.

Tak berhenti di sana, adendum kedua dilakukan untuk menambah volume pekerjaan dari 9.085 menjadi sekitar 10.000 set tower. Bahkan, ditemukan tambahan 3.000 set tower yang dikerjakan di luar kontrak dan adendum.

Jaksa Agung ST Burhanuddin pernah menyampaikan bahwa penyidikan telah mencapai tahap penggeledahan. Tiga lokasi telah digeledah, termasuk kantor PT Bukaka, rumah pribadi, dan sebuah apartemen milik seseorang berinisial SH.

“Sudah ada tiga titik yang digeledah, termasuk PT Bukaka, rumah, dan apartemen pribadi. Kami juga telah menyita sejumlah dokumen dan bukti elektronik,” kata Burhanuddin, Senin (25/7/2022). (an)

Topik:

PT PLN Korupsi Tower Transmisi PLN Korupsi PT PLN Kejagung Kortas Tipikor Polri