Mengapa KPK Sebelumnya Tak Pernah Pamer Tumpukan Uang Rampasan Kasus Korupsi?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 November 2025 22:22 WIB
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu (Foto: Dok MI)
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Momen tak biasa ditampilkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Ruang Konferensi pada Kamis (20/11/2025) kemarin. Bahwa komisi antirasuah itu memajang uang rampasan dari kasus investasi fiktif PT Taspen sebesar Rp 300 miliar dari total Rp 883 miliar.

Tumpukan uang pecahan Rp 100.000 itu memenuhi panggung ruangan konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK. Tampak uang itu dibungkus plastik putih disusun menjulang tinggi seperti tembok bata. Bahkan, hampir seluruh sisi depan ruang konferensi pers. Setiap bal plastik berisi uang senilai Rp 1 miliar.

KPK meletakkan sebuah papan kecil bertuliskan jumlah rampasan yang berhasil diamankan, yakni Rp 300 miliar dari total kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp 883 miliar.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, uang tersebut berasal dari terdakwa sekaligus eks Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto. Dia mengatakan, uang itu diserahkan kepada PT Taspen yang diwakili Direktur Utama PT Taspen, Rony Hanityo Aprianto.

Mengapa baru sekarang uang hasil korupsi dipamerkan?

KPK telah mengungkapkan, alasan memamerkan tumpukan uang sebesar Rp 300 miliar dari kasus investasi fiktif PT Taspen.

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, langkah tersebut sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas komisi antirasuah kepada masyarakat. 

“Yang pertama tentu sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada publik sehingga masyarakat bisa betul-betul melihat bahwa barang rampasannya,” kata Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Budi juga yakin bahwa acara serah terima uang hasil rampasan tersebut membuat para ASN yang paling dirugikan menjadi lebih lega. Sebab, kata dia, sejumlah yang dikelola oleh PT Taspen berasal dari iuran bulanan oleh para pegawai negeri.

“Artinya dengan adanya korupsi itu tentu kemudian menimbulkan keresahan bagi para pegawai negeri, bagaimana masa tuanya nanti, apakah masih bisa mendapatkan pensiunan atau tidak,” katanya.

Budi berharap serah terima uang hasil rampasan ke PT Taspen dapat membangkit semangat para ASN. “Sekaligus ini juga jaminan sosial negara kepada para pegawai negeri dan keluarganya di masa tua nanti,” tandasnya.

Kemana hasil uang korupsi yang disita selama ini?

Apabila mengacu dari laman resmi KPK, aset-aset hasil tindak pidana korupsi dikelola oleh KPK. Terutama hasil tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh penyelenggara negara maupun pegawai negeri kepada pihak penyelidik.

Meskipun KPK memiliki tanggung jawab dalam mengelola seluruh aset hasil tindak pidana korupsi, ternyata ada regulasi tersendiri dalam aturan resmi yang berkaitan dengan pengelolaan aset-aset tersebut. Lantas, uang hasil korupsi dikemanakan? Berikut akan dijelaskan mengenai aturan dan ketentuan yang didasarkan pada hukum.

Lantas benarkah uang hasil korupsi dikembalikan ke Negara? Dalam teori pengembalian aset yang sering kali digunakan oleh sebuah negara dengan tingginya angka korupsi hingga memicu kerugian dari segi keuangan maupun perekonomian negara itu sendiri. 

Seperti diungkap dalam buku 'Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi: Pendekatan Hukum Progresif' karya Ade Mahmud, bahwa teori pengembalian aset adalah sebuah konsep yang membuat negara segera mengambil aset yang telah dikuasai oleh para koruptor.

Melalui pengembalian aset tujuannya agar mencegah seluruh aset hasil korupsi tidak lagi digunakan yang nantinya bisa memicu tindak pidana lainnya. Kemudian pengembalian aset juga bertujuan supaya negara bisa menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah yang bukan menjadi hak dari pelaku tindak pidana tersebut.

Kemudian masih mengacu dari laman resmi KPK, dijelaskan bahwa aset hasil korupsi akan dikelola oleh KPK. Setidaknya ada dua jenis aset hasil korupsi yang pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab pihak KPK.

Pertama, ada aset hasil gratifikasi yang melibatkan pemberian uang, barang, komisi, rabat, pinjaman tanpa bunga, fasilitas penginapan, tiket perjalanan, pengobatan cuma-cuma, hingga fasilitas lainnya. Gratifikasi ini bisa melibatkan penyelenggara negara maupun pegawai negeri.

Kemudian aset hasil korupsi yang kedua adalah perampasan dan penyitaan. Biasanya perampasan dan penyitaan terhadap aset hasil korupsi ditujukan untuk mengadili para koruptor. Langkah ini juga dilakukan KPK agar mampu mengembalikan seluruh aset yang telah dikorupsi oleh pelaku kepada negara.

Masih dijelaskan dari laman resmi KPK, bahwa seluruh aset hasil korupsi yang diterima KPK akan disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berada di bawah pantauan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI.

Adapun regulasi pengembalian aset atau uang hasil korupsi didasarkan pada proses penindakan itu sendiri. Saat proses selesai dilakukan, maka seluruh aset baru bisa diserahkan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Nantinya aset-aset tersebut akan dilelang secara umum.

Selanjutnya, hasil lelang aset-aset dari hasil tindak korupsi tersebut akan disalurkan dalam wujud hibah untuk dikembalikan kepada negara. Tepatnya disalurkan kepada kementerian maupun lembaga RI dan juga pemerintah daerah.

Lebih lanjut dijelaskan dalam laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, bahwa aturan mengenai benda hasil sitaan yang dijual melalui pelelangan telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Melalui Pasal 47A ayat (1) dan (2) Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa:

"(1) Hasil penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan pelelangan.
(2) Ketentuan mengenai pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah."

Kendati, hingga kini publik masih bertanya-tanya, mengapa KPK sebelumnya tidak pernah memerkan hasil uang korupsi? Apakah mengikuti Kejaksaan dan Polri?

Topik:

KPK