Keterangan 3 Saksi Ahli Meringankan Richard Eliezer

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 26 Desember 2022 21:06 WIB
Jakarta, MI - Sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J kembali digelar dengan menghadirkan saksi ahli meringankan terdakwa Bharada Richard Eliezer alias Bharada E, Senin (26/12). Ada tiga (3) ahli yang dihadirkan yaitu;  Ahli psikologi klinis dewasa, Liza Marielly Djaprie, Romo Frans Magnis Suseno sebagai Guru Filsafat Moral dan Reza Idragiri Amriel sebagai Psikolog Forensik. Liza Marielly Djaprie/Ahli Psikologi Klinis Dewasa Liza dalam sidang, mengungkapkan bahwa selama mendampingi Richard dan hasil pemeriksaan yang dilakukan diketahui Richard merupakan figur yang patut terhadap lingkungan. Penasehat hukum Richard, Ronny Talapessy kemudian bertanya perihal wawancara dengan pihak keluarga Richard yang dilakukan apakah sosok yang tidak bisa memilih saat diberikan pilihan. Ronny juga kemudian meminta penjelasan dari ilmu psikologi ketika seseorang mengalami pergolakan dalam situasi yang sulit. [caption id="attachment_511167" align="alignnone" width="300"] Ahli Psikologi Klinis Dewasa, Liza Marielly Djaprie (Foto: MI/Aswan)[/caption] “Kalau dikatakan oleh penasihat hukum apakah ada situasi keluarga atau ‘oktrin keluarga’ yang menyebabkan Richard Eliezer tumbuh menjadi individu yang patuh, sebenarnya saya tidak melihat itu dari diskusi dengan orang tua, dari diskusi dengan Richard juga,”  ujar Liza di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12). Liza kemudian menjelaskan, Richard tumbuh menjadi individu yang lebih menghindari konflik atas analisanya pada lingkungan sekitar. “Hasil pertama karakternya Richard yang memang lebih permisif dan lebih menghindari konflik. Yang kedua observasinya dia pada lingkungan,” tutur Liza. “Ada proses analisa, ada proses dia melihat melalui panca inderanya, kondisi lingkungannya seperti apa. Richard melihat kakaknya jauh lebih nakal. Jadi dia cenderung, untuk karena kakaknya sudah nakal, ‘aku jadi anak yang baik deh, kasian Papah mamah'. Itu dia terlatih untuk menjadi individu yang patuh,” sambungnya. Individu yang cenderung menghindari konflik tersebut kemudian membuat Richard menjadi pribadi yang dekat dengan agama soal patuh pada orang tua, yang kemudian diterapkannya dalam pengalaman dia sehari-hari. “Kemudian dari sisi agama juga dia cenderung banyak mendengar bahwa anak patuh pada orang tua. Jadi itu semakin terasa, bibitnya sudah ada. Tapi kemudian itu semakin terasa dalam pengalaman dia sehari-hari,” tandasnya. Liza juga memaparkan emosi dari Richard yang awalnya terlihat jelas ketakutan, dari gestur di tubuh yang cemas, takut, hingga memainkan tangan saat diperiksa dan menghindari kontak mata. “Ketika pertama kali bertemu, jelas sekali ada gestur takut, gestur cemas, gestur dia bagaimana ini ke depannya, nanti ini harus seperti apa, dan itu banyak menampilkan gestur-gestur tubuh yang cemas dan takut seperti itu. Bermain-main tangan, menghindari kontak mata, hal-hal demikian itu terlihat sekali,” ujar Liza. Seiring berjalannya waktu, ketakutan di Richard perlahan berubah dan bertransformasi melalui proses adaptasi, pembelajaran yang menimbulkan kepercayaan diri. “Kalau berkaitan dengan yang sebelumnya, ketika yang banyak berperan adalah amigdala, otak emosi, jadi dia lagi takut sekali, cemas sekali, khawatir sekali. Tapi seiring dengan waktu, ketika perlahan-lahan mulai ada dukungan baik dari orang tua, dari para penasihat hukum, dari banyak hal, analisanya mulai jalan apa yang harus dia lakukan,” ucap Liza. Dari hasil tes, transformasi emosi dari Richard memiliki kecenderungan hipomania, yakni kondisi psikologis seseorang yang tampak sangat berenergi dan bersemangat berbeda dari biasanya. “Jadi setelah takut, sepertinya kemudian Richard memutuskan untuk ‘oke saya harus melakukan sesuatu atas kondisi ini’. Jadi terlihat semangatnya tersebut,” kata Liza. Namun, di sisi lain, hipomania masih menutupi kecemasan dalam diri atas perubahan emosi yang terlihat dalam tes MMPI (Minessota Multiphasic Personality Inventory) yang memiliki 10 parameter. “Nah paling tinggi parameter Richard Eliezer adalah hipomania, di mana hipomania sudah jelas berarti ada kecemasan yang ditutupi olehnya dengan cara mencoba berenergi dan bersemangat sekali. Apakah kemudian dikatakan kalau tadi pertanyaan berkaitan emosi, takut, takut dan cemas adalah emosi yang dekat,” jelas Liza. Reza Idragiri Amriel/Psikolog Forensik Reza Idragiri Amriel sebagai Psikolog Forensik yang juga hadir dalam sidang menyinggung perihal jiwa korsa dalam diri Ferdy Sambo dan Richard yang dinilai menyimpang, dimana jiwa korsa merupakan instrumen vital, penting serta krusial yang harus dimiliki anggota polisi. “Jiwa korsa adalah sumber stamina, energi, sumber eksistensi bagi setiap insan kepolisian,” ujar Reza. Reza menuturkan, jiwa korsa diterapkan dalam perilaku kesetiaan dengan menunjukkan ketaatan, kepatuhan hingga keseragaman yang harus dimiliki anggota Polisi. [caption id="attachment_511177" align="alignnone" width="300"] Reza Indragiri Amriel sebelum masuk ruang sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Yosua, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12) (Foto: MI/Aswan)[/caption] “Jiwa korsa dimanifestasikan dalam perilaku setia kawan, mereka menggunakan kosa kata yang sama, cara berpikir yang sama, mereka menunjukkan ketaatan, mereka menunjukkan kepatuhan, ketundukan dan keseragaman, itulah jiwa korsa yang harus dimiliki insan kepolisian,” imbuhnya. Meski begitu, Reza mengatakan bahwa dalam beberapa studi yang ada, terdapat bentuk penyimpangan jiwa korsa menjadi ‘Kode Senyap’ atau code of silent, di mana salah satunya yakni perintah Ferdy Sambo kepada Richard untuk menembak Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. “Kode senyap adalah istilah untuk menunjuk bahwa jiwa korsa sekali lagi tempo-tempo termanifestasikan dalam bentuk penyimpangan, misalnya menutup-nutupi penyimpangan sejawat, ketaatan, kepatuhan atau tidak memberi koreksi kepada siapa pun yang sudah memberi perintah. Itu contoh jiwa korsa yang menyimpang,” papar Reza. “Konsekuensinya ketika kita menyoroti Richard atau Sambo, menurut kita tidak bisa abai terhadap jiwa korsa ini termasuk dengan jiwa korsa yang menyimpang yang mereka lakukan,” tandasnya. Romo Franz Magnis Suseno/Filsafat Moral  Guru Besar Filsafat Moral Romo Franz Magnis Suseno mengungkapkan sejumlah faktor yang dapat meringankan hukuman Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Salah satu faktor itu adalah kedudukan tinggi yang memberikan perintah untuk menembak. Penasihat hukum Bharada E, Ronny Talapessy mulanya bertanya kepada Romo Magnis ihwal unsur-unsur yang dapat meringankan hukuman Bharada E jika dilihat dari sudut pandang kajian filsafat moral. "Terkait dengan peristiwa penembakan terhadap Yosua oleh Eliezer dari sudut kajian filsafat moral apa saja unsur-unsur yang dapat meringankan Eliezer?" kata Ronny. Menurut Romo Magnis, faktor yang paling meringankan hukuman Bharada E adalah kedudukan tinggi seseorang yang memberi perintah untuk menembak Brigadir J. Dalam kasus ini, Bharada E mengaku diperintah oleh Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri. Romo Magnis mengatakan budaya 'laksanakan' di kepolisian menjadi unsur paling kuat yang mendorong Bharada E tidak menolak perintah tersebut. "Tentu paling meringankan adalah kedudukan yang memberikan perintah. Itu kedudukan tinggi yang jelas memberi perintah yang di dalam kepolisian tentu akan ditaati. Tidak mungkin katanya Eliezer 24 umurnya jadi masih muda itu budaya laksanakan itu adalah unsur yang paling kuat," katanya. Romo Magnis menyebut faktor kedua yang meringankan hukuman Bharada E adalah keterbatasan situasi saat peristiwa penembakan 8 Juli lalu. Menurutnya, dalam situasi itu Bharada E tak memiliki waktu untuk mempertimbangkan perintah menembak Brigadir J. "Saya kira semua itu dimana dia saat itu harus menentukan laksanakan atau tidak, tidak ada waktu untuk melakulan pertimbangan matang di mana kita umumnya kalau ada keputusan penting coba ambil waktu tidur dulu, dia harus langsung bereaksi," tegasnya. "Menurut saya itu tentu dua faktor yang secara etis sangat meringankan," tambah Romo Magnis. Lebih lanjut, Romo Magnis menyebut perintah menembak di institusi kepolisian sangat tidak masuk akal. [caption id="attachment_511242" align="alignnone" width="300"] Guru Besar Filsafat Moral Romo Franz Magnis Suseno (Foto: MI/Aswan)[/caption] "Tambahan satu poin dalam kepolisian seperti di dalam situasi pertempuran militer, di dalam kepolisian memang bisa ada situasi di mana atasan memberi perintah tembak itu, di dalam segala profesi lain tidak ada. Jadi bahwa seorang atasan polisi memberi perintah tembak itu tidak total sama sekali, enggak masuk akal," pungkasnya Diketahui, ada 5 terdakwa di kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang diduga melanggar Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 56 ke-1 KUHP. Selain Bharada E, tersangka lain adalah Ferdy Sambo, Bripka RR atau Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Putri Candrawathi. [caption id="attachment_511078" align="alignnone" width="300"] Para Terdakwa Kasus Pembunuhan Brigadir Nofiansyah Yosua Hutabarat (J) (Foto: MI/Aswan)[/caption] Sementara untuk perkara obstruction of justice di penyidikan Brigadir J telah ditetapkan tujuh tersangka, termasuk Ferdy Sambo. Sedangkan 6 tersangka lain adalah Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rahman, Kompol Baiquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto. Para tersangka obstruction of justice itu diduga melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 32 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 55 ayat (1) dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP. #Saksi Ahli Meringankan Richard Eliezer # Saksi Ahli Meringankan Richard Eliezer