APNI Dorong Pemerintah Revisi Formula Harga Patokan Mineral, Ini Sebabnya


Jakarta, MI - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyoroti pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Royalti Mineral dan Batubara.
APNI menilai kebijibakan yang resmi diundangkan pada 11 April 2025 itu berpotensi menambah beban berat bagi pelaku industri nikel nasional, terutama di tengah tekanan ekonomi global dan anjloknya harga nikel internasional.
Pun kenaikan tarif royalti sebesar 14–19% untuk bijih nikel dan 5–7% untuk produk olahan seperti ferronickel dan nickel pig iron (NPI) dinilai APNI tidak realistis.
"Kondisi industri saat ini tengah terhimpit berbagai tekanan, mulai dari harga global yang menurun, biaya operasional yang melonjak, hingga kewajiban fiskal dan non-fiskal yang terus bertambah,” kata Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, Meidy Katrin, Rabu (16/4/2025).
Lonjakan royalti di tengah turunnya harga nikel dunia, yang dalam 12 bulan terakhir merosot signifikan di pasar London Metal Exchange (LME), ungkao dia, akan semakin mempersempit margin usaha dan melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
“Ini bisa berdampak langsung terhadap potensi PHK massal di sektor hilir dan menurunnya minat investasi, baik dari dalam maupun luar negeri,” jelasnya.
APNI menyebutkan bahwa sektor tambang saat ini menghadapi setidaknya 13 jenis beban kewajiban, termasuk PPN 12%, PBB, iuran tetap, biaya reklamasi pascatambang, hingga Global Minimum Tax 15%. Di sisi lain, biaya pembangunan smelter yang bisa mencapai US$2 miliar per proyek, belum sebanding dengan potensi imbal hasil di tengah situasi pasar yang lesu.
Meidy juga menyoroti bahwa kenaikan tarif royalti dapat mendorong penambang menaikkan cut-off grade, yang pada akhirnya menyusutkan volume cadangan dan memperpendek umur tambang. “Alih-alih meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini bisa berujung pada penurunan kontribusi jangka panjang,” jelasnya.
Alternatif solusi
APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM). Pasanya, menurut APNI, formula saat ini terlalu rendah dibandingkan indeks global seperti Shanghai Metals Market (SMM), yang dalam dua tahun terakhir menyebabkan potensi kerugian nilai pasar hingga US$6,3 miliar.
APNI mengusulkan agar formula HPM memperhitungkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada limonit, yang selama ini belum dimonetisasi.
Menurut Meidy, dengan penyesuaian tersebut, HPM diproyeksikan bisa naik lebih dari 100%, tergantung jenis bijih dan efisiensi ekstraksi.
“Revisi formula HPM bisa menjadi solusi win-win. Negara tetap mendapat peningkatan penerimaan tanpa harus menaikkan tarif, sementara pelaku usaha bisa menjaga margin dan berkontribusi pada eksplorasi serta pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan,” lanjut Meidy.
Tak hanya itu, APNI juga mengusulkan penghapusan corrective factor (CF) untuk ferronickel dan penyesuaian satuan transaksi menjadi USD per ton nikel murni atau per unit nikel sesuai praktik pasar global.
Meski PP No. 19/2025 telah diundangkan, APNI tetap berharap adanya ruang dialog dengan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini secara lebih komprehensif.
“Kami mengapresiasi pelibatan aktif dalam forum-forum strategis dan berharap implementasi kebijakan dapat dilakukan secara adaptif dan kolaboratif,” demikian Meidy.
Topik:
APNI Harga Patokan Mineral